Archive for islam

Ikhlas Tausyiah Aa Gym

Ikhlas K.H. Abdullah Gymnastiar Semoga Allah mengaruniakan kepada kita hati yg ikhlas. krn betapapun kita melakukan sesuatu hingga bersimbah peluh berkuah keringat habis tenaga dan terkuras pikiran kalau tak ikhlas melakukan tak akan ada nilai di hadapan Allah. Bertempur melawan musuh tapi kalau hanya ingin disebut sebagai pahlawan ia tak memiliki nilai apapun. Menafkahkan seluruh harta kalau hanya ingin disebut sebagai dermawan ia pun tak akan memiliki nilai apapun. Mengumandangkan adzan tiap waktu shalat tapi selama adzan bukan Allah yg dituju hanya sekedar ingin memamerkan keindahan suara supaya menjadi juara adzan atau menggetarkan hati seseorang maka itu hanya teriakan-teriakan yg tak bernilai di hadapan Allah tak bernilai! Ikhlas terletak pada niat hati. Luar biasa sekali penting niat ini krn niat adl pengikat amal. Orang-orang yg tak pernah memperhatikan niat yg ada di dalam hati siap-siaplah utk membuang waktu tenaga dan harta dgn tiada arti. Keikhlasan seseorang benar-benar menjadi amat penting dan akan membuat hidup ini sangat mudah indah dan jauh lbh bermakna.

Apakah ikhlas itu? Orang yg ikhlas adl orang yg tak menyertakan kepentingan pribadi atau imbalan duniawi dari apa yg dapat ia lakukan. Konsentrasi orang yg ikhlas cuma satu yaitu bagaimana agar apa yg dilakukan diterima oleh Allah SWT. Jadi ketika sedang memasukan uang ke dalam kotak infaq maka fokus pikiran kita tak ke kiri dan ke kanan tapi pikiran kita terfokus bagaimana agar uang yg dinafkahkan itu diterima di sisi Allah.

Apapun yg dilakukan kalau konsentrasi kita hanya kepada Allah itulah ikhlas. Seperti yg dikatakan Imam Ali bahwa orang yg ikhlas adl orang yg memusatkan pikiran agar tiap amal diterima oleh Allah. Seorang pembicara yg tulus tak perlu merekayasa kata-kata agar penuh pesona tapi ia akan mengupayakan tiap kata yg diucapkan benar-benar menjadi kata yg disukai oleh Allah. Bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya. Bisa dipertanggungjawabkan artinya. Selebih terserah Allah. Kalau ikhlas walaupun sederhana kata-kata kita Allah-lah yg kuasa menghujamkan kepada tiap qalbu.

Oleh krn itu jangan terjebak oleh rekayasa-rekayasa. Allah sama sekali tak membutuhkan rekayasa apapun dari manusia. Allah Mahatahu segala lintasan hati Mahatahu segalanya! Makin bening makin bersih semua semata-mata krn Allah maka kekuatan Allah yg akan menolong segalanya.

Buah apa yg didapat dari seorang hamba yg ikhlas itu? Seorang hamba yg ikhlas akan merasakan ketentraman jiwa ketenangan batin. Betapa tidak? Karena ia tak diperbudak oleh penantian utk mendapatkan pujian penghargaan dan imbalan. Kita tahu bahwa penantian adl suatu hal yg tak menyenangkan. Begitu pula menunggu diberi pujian juga menjadi sesuatu yg tak nyaman. Lebih getir lagi kalau yg kita lakukan ternyata tak dipuji pasti kita akan kecewa.

Tapi bagi seorang hamba yg ikhlas ia tak akan pernah mengharapkan apapun dari siapapun karena keni’matan bagi bukan dari mendapatkan tapi dari apa yg bisa dipersembahkan. Jadi kalau saudara mengepel lantai dan di dalam hati mengharap pujian tak usah heran jikalau nanti yg datang justru malah cibiran.

Tidak usah heran pula kalau kita tak ikhlas akan banyak kecewa dalam hidup ini. Orang yg tak ikhlas akan banyak tersinggung dan terkecewakan krn ia memang terlalu banyak berharap. Karena biasakanlah kalau sudah berbuat sesuatu kita lupakan perbuatan itu. Kita titipkan saja di sisi Allah yg pasti aman. Jangan pula disebut-sebut diingat-ingat nanti malah berkurang pahalanya.

Lalu dimanakah letak kekuatan hamba-hamba Allah yg ikhlas? Seorang hamba yg ikhlas akan memiliki kekuatan ruhiyah yg besar. Ia seakan-akan menjadi pancaran energi yang melimpah. Keikhlasan seorang hamba Allah dapat dilihat pula dari raut muka tutur kata serta gerak-gerik perilakunya. Kita akan merasa aman bergaul dgn orang yg ikhlas. Kita tak curiga akan ditipu kita tak curiga akan dikecoh olehnya. Dia benar-benar bening dari berbuat rekayasa. Setiap tumpahan kata-kata dan perilaku tak ada yg tersembunyi. Semua itu ia lakukan tanpa mengharap apapun dari orang yg dihadapi yg ia harapakan hanyalah memberikan yg terbaik utk siapapun.

Sungguh akan ni’mat bila bergaul dgn seorang hamba yg ikhlas. Setiap kata-kata tak akan bagai pisau yg akan mengiris hati. Perilaku pun tak akan menyudutkan dan menyempitkan diri. Tidak usah heran jikalau orang ikhlas itu punya daya gugah dan daya ubah yg begitu dahsyat.

Dikisahkan dalam sebuah hadits yg diriwayatkan oleh Turmudzi dan Ahmad sebagai berikut : Tatkala Allah SWT menciptakan bumi maka bumi pun bergetar. Lalu Allah pun menciptkana gunung dengan kekuatan yg telah diberikan kepada ternyata bumi pun terdiam. Para malaikat terheran-heran akan penciptaan gunung tersebut. Kemudian mereka bertanya? “Ya Rabbi adakah sesuatu dalam penciptaan-Mu yg lbh kuat dari pada gunung?” Allah menjawab “Ada yaitu besi” {Kita mafhum bahwa gunung batu pun bisa menjadi rata ketika dibor dan diluluhlantakkan oleh buldozer atau sejenis yg terbuat dari besi}.

Para malaikat pun kembali berta “Ya Rabbi adakah sesuatu dalam penciptaan-Mu yg lbh kuat dari pada besi?” Allah yg Mahasuci menjawab “Ada yaitu api” {Besi bahkan baja bisa menjadi cair lumer dan mendidih setelah dibakar bara api}.

Berta kembali para malaikat “Ya Rabbi adakah sesuatu dalam penciptaan-Mu yg lbh kuat dari pada api?” Allah yg Mahaagung menjawab “Ada yaitu air” {Api membara sedahsyat apapun niscaya akan padam jika disiram oleh air}.

“Ya Rabbi adakah sesuatu dalam penciptaan-Mu yg lbh kuat dari air?” Kembali berta para malaikta.

Allah yg Mahatinggi dan Mahasempurna menjawab “Ada yaitu angin” {Air di samudera luas akan serta merta terangkat bergulung-gulung dan menjelma menjadi gelombang raksasa yg dahsyat tersimbah dan menghempas karang atau mengombang-ambingkan kapal dan perahu yg tengah berlayar tiada lain krn dahsyat kekuatan angin. Angin ternyata memiliki kekuatan yg teramat dahsyat}.

Akhir para malaikat pun berta lagi “Ya Allah adakah sesuatu dalam penciptaan-Mu yg lebih dari semua itu?” Allah yg Mahagagah dan Mahadahsyat kehebatan-Nya menjawab “Ada yaitu amal anak Adam yang mengeluarkan sedekah dgn tangan kanan sementara tangan kiri tak mengetahuinya.” Arti orang yg paling hebat paling kuat dan paling dahsyat adl orang yg bersedekah tetapi tetap mampu menguasai diri sehingga sedekah yg dilakukan bersih tulus dan ikhlas tanpa ada unsur pamer ataupun keinginan utk diketahui orang lain.

Inilah gambaran yang Allah berikan kepada kita bagaimana seorang hamba yg ternyata mempunyai kekuatan dahsyat adl hamba yg bersedekah tetapi tetap dalam kondisi ikhlas. Karena naluri dasar kita sebenar selalu rindu akan pujian penghormatan penghargaan ucapan terima kasih dan sebagainya. Kita pun selalu tergelitik utk memamerkan segala apa yg ada pada diri kita ataupun segala apa yg bisa kita lakukan. Apalagi kalau yg ada pada diri kita atau yg tengah kita lakukan itu berupa kebaikan.

Nah sahabat. Orang yang ikhlas adl orang yg punya kekuatan ia tak akan kalah oleh aneka macam selera rendah yaitu rindu pujian dan penghargaan. Allaahu Akbar.**

sumber : file chm bundel Tausyiah Manajemen Qolbu Aa Gym

 

http://blog.re.or.id/ikhlas-tausyiah-aa-gym.htm

Manajemen Informasi: Periode Kematian Pertama

PERIODE KEMATIAN PERTAMA

۞ كَيْفَ تَكْفُرُونَ بِاللَّهِ وَكُنْتُمْ أَمْوَاتًا فَأَحْيَاكُمْ ثُمَّ يُمِيتُكُمْ ثُمَّ يُحْيِيكُمْ ثُمَّ إِلَيْهِ تُرْجَعُونَ (28) (سورة البقرة

“Mengapa kamu kafir kepada Allah, padahal kamu sebelumnya mati (tidak ada), lalu Allah menghidupkan kamu, kemudian Dia mematikan kamu, dan kemudian Dia menghidupkan kamu kembali, kemudian kepada-Nya-lah kamu dikembalikan”.
(Q.S. Al-Baqarah (2) : 28)

Periode Kematian Pertama ini terdiri dari tiga fase :

  1. FASE ZERO (NOL)
  2. FASE RAW MATERIAL (BAHAN BAKU)
  3. FASE SPERMA & OVUM

FASE ZERO

Banyak pertanyaan seputar kehidupan yang menggoda pikiran kita. Setiap yang menggunakan akalnya pasti mengalami pengalaman Spiritual, Emotional dan Intellectual. Kalau kita cermati pasti menarik untuk ditelusuri.

Pernahkah Anda mengalami kegelisahan dalam hidup ini? Jika Anda gelisah bukan karena menghadapai kesulitan hidup, itu adalah pertanda Anda sedang mengalami gejolak Spiritual, Emotional dan Intellectual. Apalagi jika Anda seorang yang berpendidikan, pengusaha sukses, politisi kawakan, profesional yang karirnya sedang menanjak atau sedang berada di atas puncaknya, atau artis yang sedang naik daun yang sedang menuai berbagai kesenangan dunia, namun masih tetap gelisah yang tidak jelas jetrungannya. Ingatlah! Anda sedang menghadapi percaturan batin antara tarikan kebenaran dan kebathilan, antara dorongan fitrah insani dengan syahwat hewani. Kegelisahan Anda sesungguhnya bermula dari berbagai pertanyaan tentang fenomena kehidupan manusia yang sangat misterius, termasuk tentang asal usul manusia yang belum terjawab secara pasti dan memuaskan dalam diri Anda.

Sesungguhnya banyak sekali pertanyaan terkait dengan fenomena kehidupan dunia ini yang sering membuat kita tergoda mencari jawabannya. Di antaranya ialah: Dari mana asal usul manusia? Bagaimana proses pengembangbiakannya? Bagaimana pula mekanisme penyebaran manusia di atas muka bumi yang mendiami lima benua ini? Dari kapan manusia mendiami bumi ini? Apakah keberadaan manusia di atas bumi ini akan punah suatu ketika, atau kekal abadi? Sebelum berada dalam rahim ibu mereka, manusia ada di mana? Kenapa manusia mudah tinggal dan hidup di bumi? Siapa yang merancang dan menyiapkan berbagai fasilitas kehidupan manusia yang mayoritasnya diperoleh secara gratis dan otomatis, seperti oksigen, cahaya mata hari, udara, bumi, energi laut dan sebagainya? Di tengah melimpahnya fasilitas hidup manusia di duni ini, kenapa hanya sebagian saja yang harus diperoleh dengan ikhtiar (usaha) seperti memproses bahan bakar (energi), hasil bumi, hasil laut, pertanian dan sebagainya, yang bahan bakunya sebenarnya sudah ada sejak lama dan atau mengalami pembaharuan secara otomatis?

Pertanyaan-pertanyaan lain yang tak kalah menariknya ialah : Apakah kemunculan manusia ke dunia ini terjadi begitu saja, atau berada dalam sebuah perencanaan yang matang dan sistematis? Jika kehadiran manusia ke dunia ini terjadi begitu saja, kenapa proses kehadirannya sama dan dengan sistem yang baku atau tetap? Jika manusia hadir ke dunia ini dengan sistem yang baku, siapa yang menciptakan sistem itu? Atau, manusia itu bermula dari sebuah rekayasa penciptaan yang sangat ajaib dan kemudian berkembang melalui sistem yang sangat ajaib dan baku pula? Jika demikian halnya, apa misi dan visi penciptaannya di atas muka bumi ini?

Sebenarnya, pertanyaan-pertanyaan tersebut bukan hanya menggoda pikiran Anda, melainkan semua manusia yang berfikir yang hidup di dunia ini. Seandainya pertanyaan-pertanyaan tersebut ditanyakan kepada manusia dari berbagai suku, bangsa dan agama, kemungkinan besar mereka akan menjawabnya dengan jawaban yang berbeda-beda, berdasarkan tingkatan ilmu dan keyakinan mereka terhadap Tuhan Pencipta. Lain halnya jika pertanyaannya seputar keberadaan manusia satu bulan, dua bulan, tiga bulan, empat bulan, lima bulan, enam bulan, tujuh bulan atau delapan bulan sebelum lahir ke dunia, tentu jawaban mereka dipastikan akan sama, yakni dalam masa-masa itu manusia berada dalam kandungan ibu mereka masing-masing.

Masih banyak lagi pertanyaan yang lain terkait dengan fenomena kehidupan dan kehadiran manusia di atas muka bumi ini. Namun, dari sekian banyak pertanyaan itu, satupun tidak terjawab dengan pasti dan ilmiyah jika kita hanya mengandalkan akal dan ilmu kita yang amat terbatas. Bahkan jawabannya bisa menjadi jauh dari kebenaran, seperti yang dialami Charles Darwin dan orang yang se mazhab dengannya. Apalagi jika menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut hanya menggunakan perkiraan atau asumsi, maka jawabannya akan membingungkan dan jauh dari kebenaran.

Lihatlah!!! Bagaimana dengan orang yang memikiki kecerdasan Spiritual, Emotional dan Intellectual? Sungguh fantastik. Ia menemukan jawabannya melalui informasi akurat dan sangat teliti. Dari mana? Dari Tuhan Pencipta manusia itu sendiri yakni Allah yang Maha Kuasa dan Maha Mengetahui. Dia jelaskan semuanya melalui kitab suci terakhir-Nya yang bernama Al-Qur’an dan Rasul terakhir-Nya Muhammad Saw. Ajaibnya, jawabannyapun menjadi pasti dan mudah dimengerti sehingga dengan mudah pula menghilangkan kebingungannya tentang fenomena kehidupan di dunia dan keberadaan manusia di atas bumi ini.

Mari sama-sama kita renungkan firman Allah, Tuhan Pencipta, berikut ini :

1. Tentang keberadaan manusia sebelum muncul ke atas bumi.

أَوَلا يَذْكُرُ الإِنْسَانُ أَنَّا خَلَقْنَاهُ مِنْ قَبْلُ وَلَمْ يَكُ شَيْئًا (67)

Dan mengapa manusia itu tidak memikirkan bahwa sesungguhnya Kami telah menciptakannya dahulu, sedang ia tidak ada sama sekali (ZERO). (Q. S. Maryam (19) : 67)

2. Tentang rencana Tuhan Pencipta menciptakan manusia dari bahan baku yang bernama tanah.

إِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلائِكَةِ إِنِّي خَالِقٌ بَشَرًا مِنْ طِينٍ (71)

(Ingatlah) ketika Tuhan Penciptamu berfirman kepada malaikat: “Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari tanah”.
(Q.S. Shad (38) : 71)

3. Tentang Rencana Tuhan Pencipta menjadikan manusia khalifah-Nya di atas muka bumi.

(30) وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الأَرْضِ خَلِيفَةً…..

Dan Ingatlah ketika Tuhan Penciptamu berfirman kepada para Malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”. (Q.S. Al-Baqarah (2) : 30)

4. Tentang misi hidup manusia dan jin yang ditetapkan Tuhan Pencipta.

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالإِنْسَ إِلا لِيَعْبُدُونِ (56)

Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku. (Q.S. Adz-Dzariyat (51) : 56)

5. Tentang sejarah manusia pertama, manusia kedua dan proses pengembangbiakan manusia di atas bumi.

يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا (1)

Hai sekalian manusia, Bertaqwalah kepada Tuhan Penciptamu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu (Adam), dan darinya Allah menciptakan istrinya; dan daripada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan Bertaqwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahmi. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu. (Q.S. An-Nisa’ (4) : 1)

6. Tentang keistimewaan penciptaan Nabi Isa yang mirip keistimewaan penciptaan Nabi Adam.

إِنَّ مَثَلَ عِيسَى عِنْدَ اللَّهِ كَمَثَلِ آدَمَ خَلَقَهُ مِنْ تُرَابٍ ثُمَّ قَالَ لَهُ كُنْ فَيَكُونُ (59)

Sesungguhnya misal (penciptaan) Isa di sisi Allah, adalah seperti (penciptaan) Adam. Allah menciptakan Adam dari tanah, kemudian Allah berfirman kepadanya: “Jadilah” (seorang manusia), maka jadilah dia. (Q.S. Ali Imran (3) : 59)

7. Tentang manusia diciptakan Tuhan Pencipta berpasang-psangan dan memiliki anak keturunan serta diberi-Nya mereka rezeki dari yang baik-baik.

وَاللَّهُ جَعَلَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا وَجَعَلَ لَكُمْ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ بَنِينَ وَحَفَدَةً وَرَزَقَكُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ أَفَبِالْبَاطِلِ يُؤْمِنُونَ وَبِنِعْمَةِ اللَّهِ هُمْ يَكْفُرُونَ (72 )

Allah menjadikan bagi kamu istri-istri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari istri-istri kamu itu, anak anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezeki dari yang baik-baik. Maka mengapakah mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah?” (Q.S. An-Nahl (16) : 72)

8. Tentang hakikat Tuhan Pencipta langit dan bumi dan semua yang ada di alam ini. Dia adalah Maha Kuasa dan Maha Kaya yang tidak membutuhkan istri dan anak.

بَدِيعُ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ أَنَّى يَكُونُ لَهُ وَلَدٌ وَلَمْ تَكُنْ لَهُ صَاحِبَةٌ وَخَلَقَ كُلَّ شَيْءٍ وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ (101) ذَلِكُمُ اللَّهُ رَبُّكُمْ لا إِلَهَ إِلا هُوَ خَالِقُ كُلِّ شَيْءٍ فَاعْبُدُوهُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ وَكِيلٌ (102)

Dia Pencipta langit dan bumi. Bagaimana Dia mempunyai anak padahal Dia tidak mempunyai istri. Dia menciptakan segala sesuatu; dan Dia mengetahui segala sesuatu.(101) (Yang memiliki sifat-sifat yang) demikian itu ialah Allah Tuhan Pencipta kamu; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia; Pencipta segala sesuatu, maka sembahlah Dia; dan Dia adalah Pemelihara segala sesuatu. (102) (Q.S. Al-An’am (6) : 101 – 102)

Tadzkirah

Sebelum manusia berada di atas muka bumi ini, mereka belum jadi apa-apa (Zero).

1. Fakta dan penemuan ilmiyah membuktikan bahwa manusia hadir ke dunia ini melalui mekanisme penciptaan yang sangat sistematik dan unik, bukan karena proses alami seperti yang diyakini para penganut darwinisme. Dimulai dengan penciptaan Adam sebagai manusia pertama, kemudian Hawa sebagai istrinya dan dari keduanya perkembangbiakan terjadi sampai hari ini dan sampai Kiamat nanti.

2. Manusia hadir ke atas muka bumi ini atas dasar kehendak Pencipta mereka dengan misi dan visi yang telah ditentukan-Nya, yakni ibadah kepada-Nya dan menjadi khalifah-Nya.

 

http://www.eramuslim.com/syariah/life-management/manajemen-informasi-periode-kematian-pertama.htm

BOLEHKAH BERDUAAN DENGAN TUNANGAN?

Khitbah (meminang, melamar, bertunangan) menurut bahasa,
adat, dan syara, bukanlah perkawinan. Ia hanya merupakan
mukadimah (pendahuluan) bagi perkawinan dan pengantar ke
sana.

Seluruh kitab kamus membedakan antara kata-kata “khitbah”
(melamar) dan “zawaj” (kawin); adat kebiasaan juga
membedakan antara lelaki yang sudah meminang (bertunangan)
dengan yang sudah kawin; dan syari’at membedakan secara
jelas antara kedua istilah tersebut. Karena itu, khitbah
tidak lebih dari sekadar mengumumkan keinginan untuk kawin
dengan wanita tertentu, sedangkan zawaj (perkawinan)
merupakan aqad yang mengikat dan perjanjian yang kuat yang
mempunyai batas-batas, syarat-syarat, hak-hak, dan
akibat-akibat tertentu.

Al Qur’an telah mengungkapkan kedua perkara tersebut, yaitu
ketika membicarakan wanita yang kematian suami:

“Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita (yang
suaminya telah meninggal dan masih dalam ‘iddah) itu dengan
sindiran atau kamu menyembunyikan (keinginan mengawini
mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu akan
menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu janganlah kamu
mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali
sekadar mengucapkan (kepada mereka) perkataan yang ma’ruf
(sindiran yang baik). Dan janganlah kamu ber’azam (bertetap
hati) untuk beraqad nikah sebelum habis ‘iddahnya.” (Al
Baqarah: 235)

Khitbah, meski bagaimanapun dilakukan berbagai upacara, hal
itu tak lebih hanya untuk menguatkan dan memantapkannya
saja. Dan khitbah bagaimanapun keadaannya tidak akan dapat
memberikan hak apa-apa kepada si peminang melainkan hanya
dapat menghalangi lelaki lain untuk meminangnya, sebagaimana
disebutkan dalam hadits:

“Tidak boleh salah seorang diantara kamu meminang pinangan
saudaranya.” (Muttafaq ‘alaih)

Karena itu, yang penting dan harus diperhatikan di sini
bahwa wanita yang telah dipinang atau dilamar tetap
merupakan orang asing (bukan mahram) bagi si pelamar
sehingga terselenggara perkawinan (akad nikah) dengannya.
Tidak boleh si wanita diajak hidup serumah (rumah tangga)
kecuali setelah dilaksanakan akad nikah yang benar menurut
syara’, dan rukun asasi dalam akad ini ialah ijab dan kabul.
Ijab dan kabul adalah lafal-lafal (ucapan-ucapan) tertentu
yang sudah dikenal dalam adat dan syara’.

Selama akad nikah – dengan ijab dan kabul – ini belum
terlaksana, maka perkawinan itu belum terwujud dan belum
terjadi, baik menurut adat, syara’, maupun undang-undang.
Wanita tunangannya tetap sebagai orang asing bagi si
peminang (pelamar) yang tidak halal bagi mereka untuk
berduaan dan bepergian berduaan tanpa disertai salah seorang
mahramnya seperti ayahnya atau saudara laki-lakinya.

Menurut ketetapan syara, yang sudah dikenal bahwa lelaki
yang telah mengawini seorang wanita lantas meninggalkan
(menceraikan) isterinya itu sebelum ia mencampurinya, maka
ia berkewaiiban memberi mahar kepada isterinya separo harga.

Allah berfirman:

“Jika kamu menceraikan isteri-isteri kamu sebelum kamu
mencampuri mereka, padahal sesungguhnya kamu telah
menentukan maharnya, maka bayarlah seperdua dari mahar yang
telah kamu tentukan itu, kecuali jika isteri-isterimu itu
memaafkan atau dimaafkan oleh orang yang memegang ikatan
nikah …” (Al Baqarah: 237)

Adapun jika peminang meninggalkan (menceraikan) wanita
pinangannya setelah dipinangnya, baik selang waktunya itu
panjang maupun pendek, maka ia tidak punya kewajiban apa-apa
kecuali hukuman moral dan adat yang berupa celaan dan
cacian. Kalau demikian keadaannya, mana mungkin si peminang
akan diperbolehkan berbuat terhadap wanita pinangannya
sebagaimana yang diperbolehkan bagi orang yang telah
melakukan akad nikah.

Karena itu, nasihat saya kepada saudara penanya, hendaklah
segera melaksanakan akad nikah dengan wanita tunangannya
itu. Jika itu sudah dilakukan, maka semua yang ditanyakan
tadi diperbolehkanlah. Dan jika kondisi belum memungkinkan,
maka sudah selayaknya ia menjaga hatinya dengan berpegang
teguh pada agama dan ketegarannya sebagai laki-laki,
mengekang nafsunya dan mengendalikannya dengan takwa.
Sungguh tidak baik memulai sesuatu dengan melampaui batas
yang halal dan melakukan yang haram.

Saya nasihatkan pula kepada para bapak dan para wali agar
mewaspadai anak-anak perempuannya, jangan gegabah membiarkan
mereka yang sudah bertunangan. Sebab, zaman itu selalu
berubah dan, begitu pula hati manusia. Sikap gegabah pada
awal suatu perkara dapat menimbulkan akibat yang pahit dan
getir. Sebab itu, berhenti pada batas-batas Allah merupakan
tindakan lebih tepat dan lebih utama.

“… Barangsiapa melanggar hukum-hukum Allah, mereka itulah
orang-orang yang zhalim.” (Al Baqarah: 229)

“Dan barangsiapa yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya, serta
takut kepada Allah dan bertakwa kepada-Nya, maka mereka
adalah orang-orang yang mendapat kemenangan.” (An Nur: 52)

Jilbab dalam lintas sejarah

Sejarah dunia selalu bertukar sesuai dengan zamannya. pada masa sebelum masehi dikenal beberapa peradaban besar, Yunani kuno, Romawi kuno, Mesir Kuno, peradaban bizantium, babilonia, Andalusia dan lain sebagainya.

Dalam permasalahan adat dan kebiasaan, tentunya masing – masing peradaban memiliki ciri khas masing – masing.  namun satu hal yang menarik perhatian adalah kebiasaan menggunakan kerudung. kebanyakan peradaban yang berkembang di atas adalah negara – negara yang memiliki gurun pasir yang luas. Sehingga tetua – tetua adat menganjurkan untuk menutup bagian – bagian yang harus di lindungi dari pasir bagi wanita.  Lihat

Satu hal yang penting untuk di catat bahwa pemberlakuan penggunaan kerudung kepada bagi wanita adalah untuk melindungi bagian – bagian yang sangat mudah kotor apabila terkena pasir. bagi wanita, bagian – bagian itu meliputi rambut, muka, leher. hanya di bagian atas saja mengingat manusia yang memiliki perdaban tidak mungkin tidak menggunakan pakaian.

kebiasaan yang lahir dari pemberlakuan ini adalah:

  1. membudayanya cadar (digunakan untuk melindungi bagian muka dari pasir)
  2. membudayanya kerudung kepala (jilbab) (digunakan untuk melindungi bagian rambut dari pasir)

jilbab yang dikenakan bagi wanita pada awalnya adalah untuk menjaga rambut wanita terbebas dari kotoran pasir yang sangat sulit di bersihkan. kepala yang sangat banyak terdapat kotoran pasir akan mengakibatkan kesuburan kulit kepada menjadi kurang dan rambut menjadi rontok. selain itu kepala juga sangat rawan terinveksi karena pasir yang kotor.

berawal dari sinilah, setidaknya alasan untuk menggunakan kerudung pada peradaban sebelum masehi bisa di terima dan logis. pasalnya, pada saat itu, rambut yang indah melambangkan keindahan dan kecantikan si pemiliknya. dapat di bayangkan jika rambut itu menjadi kotor dan tidak terawat.

Jilbab dan Islam

Islam dikembangkan oleh Muhammad SAW yang di utus oleh Tuhan (ALLAH SWT). salah satu misi islam yang di kembankan tersebut adalah mengangkat derajat kaum hawa. karena pada zaman itu, wanita hanya menjadi properti bagi masyarakat. salah satu cara untuk mengangkat derajat wanita tersebut adalah dengan diwajibkannya para wanita muslim untuk menggunakan jilbab. kewajiban tersebut terdapat pada al-quran surat al-ahzab ayat 56.

kenapa islam mewajibkan jilbab bagi muslimah?

dalam metode istinbad hukum dalam islam dikenal sebuah istilah ‘Urf . secara bahasa ‘Urf dapat diartikan dengan adat istiadat. artinya, ada adat istiadat yang di jadikan hukum dalam islam  seperti kebiasaan menikah.  maka jilbab pun termasuk kedalamnya. Seperti yang telah di jelaskan di atas, maka islam menginginkan para muslimah terbebas dari kotoran pasir

Makna filosofis pasir

Makna filosofis pasir cukup mendalam. pasalnya pasir cukup halus dan dapat membuat kulit rusak serta kerusakan kulit kepala yang mengakibatkan kerontokan.

Dalam kerangka filosofis, kekotoran pasir dapat dimaknai dengan kekotoran yang diakibatkan oleh suatu hal yang sangat halus dan bahkan hampir tidak nampak. Dalam kerangka filosofis inilah, pengwajiban jilbab dan menutuo aurat bagi muslimah bisa dianggap logis karena dalam pikiran biasa, wanita yang kotor tidak akan menarik perhatian lawan jenis. maka untuk menjaga wanita itu tetap suci dan bersih di dalam islam, diwajibkanlah untuk menutup aurat.

wanita dan jilbab dalam islam

Tidak hanya untuk melindungi wanita dari kekotoran yang nyata, tapi juga dari kekotoran yang tidak nyata, begitulah islam mengangkatkan derajat wanita. wanita sangat dihormati dalam islam. namun sayang, penghormatan yang di berikan oleh islam kepada para wanita, tidak terbalas dengan baik, buktinnya masih banyak wanita muslim yang enggan untuk memakai jilbab. padahal jika di runut lebih lanjut, jilbab hanya untuk dirinya dan bukan untuk siapa – siapa.

http://3kh4.wordpress.com/2010/08/04/jilbab-dalam-lintas-sejarah/#comment-25

Perspektif (Fiqh) Tentang Hakim Perempuan

(Suatu Analisis terhadap Polemik Para Ulama Fiqh)

Pendahuluan
Sebagai sebuah ajaran yang secara substansial membawa misi keadilan universal, Islam memposisikan peradilan, sebagai sesuatu yang cukup penting dan mendasar. Dengan piranti peradilan diharapkan prinsip-prinsip keadilan, dan hak-hak dasar  manusia (human rigth) dapat terpelihara secara baik. Sedemikian significannya sebuah proses peradilan, maka nash-nash  pembentukan hukum Islam tentang peradilanpun menaruh perhatian cukup intens. Tidak heran jika kemudian Rasulullah sendiri -pada zamannya-, tidak saja dalam kapasitas pemimpin spiritual dan politik, tetapi juga pemegang kendali sebuah proses peradilan.

Dalam perkembangannya -pasca Rasul dan sahabat- Ulama-ulama fiqh pun menaruh perhatian yang sama dengan tokoh tokoh pendahulunya. Konsep –Ikhtiath-  menjadi bagian inhern dalam pemikiran para ulama dalam membuat kriteria keabsahan sebuah proses peradilan dan subjek yang menjadi aktornya. Salah satu yang menjadi konsen para ahli fiqh (Yurist) sebagai wujud komitmennya terhadap peradilan adalah keseriusannya dalam membuat kriteria seorang Hakim. Upaya mereka ini bisa difahami karena idelisme yang mereka miliki untuk membangun sebuah proses peradilan yang relatif bersih dan berwibawa dan diharapkan dapat sedekat mungkin dengan pesan moral nash-nash syari’at. Salah satu agenda  yang menjadi perbincangan mereka adalah tentang keabsahan seorang perempuan untuk menjadi hakim dalam sebuah proses peradilan. Polemik ini bisa dimengerti karena menurut mereka (ulama) baik secara historis, antropologis, sosiologis dan bahkan nash-nash normatif, perempuan dipandang punya banyak sisi kelemahan apabila dihadapkan pada sebuah proses peradilan, lebih lebih sebagai aktor penentu sebuah sengketa peradilan (Hakim).
Makalah ini tidak berpretensi untuk melakukan “dekonstruksi” terhadap gagasan emansipasi perempuan yang –salah satunya– kini tengah dilakukan oleh banyak Organisasi-organisasai kewanitaan, akan tetapi semata-mata ingin mengkaji secara ilmiah landasan filosofis dan sosiologis, mengapa kalangan ulama fiqh mempersoalkan keabsahan perempuan sebagai hakim, sebab diduga kuat para ulama banyak diilhami oleh pengalaman-pengalaman pahit tentang perempuan dan kondisi sosialnya ketika menentukan pendapatnya tentang hakim perempuan.

Hakim Perempuan dalam Polemik Ahli Fiqh
Diskursus tentang pemberdayaan kaum perempuan yang kini menjadi trend dalam perkembangan pemikiran, sepertinya merupakan proses klimak dari perjalanan pahit kaum perempuan di masa lalu di belahan dunia manapun. Era pra Islam misalnya, dengan mengamati salah satu kasus kaum perempuan di kota Athena (Yunani) mengalami perlakuan yang sangat buruk dan cenderung sangat diskriminatif. Perempuan pada zaman itu dianggapnya sebagai hewan yang dengan mudah dapat diperjualbelikan, sama sekali tidak di “beri” hak untuk mengelola kakayaaan yang ia miliki, perempuan dalam pandangan hukum Yunani waktu itu dipandang hanya sebatas sebagai “pembantu rumah tangga” dengan tugas tunggal melahirkan anak. Kesucian mereka sedemikan terperosok lebih rendah dari hewan dan bahkan disejajarkan dengan najis dan perbuatan syetan, ketika tidak lagi dibutuhkan kaum lelaki.  Situasi seperti ini dialami hampir oleh semua perempuan –termasuk masyarakat Arab pra Islam- khususnya ketika Islam belum datang membawa misinya.
Islam dengan seperangkat nilai yang dibawanya mencoba melakukan sebuah proses “revolusi“ terhadap pandangan manusia tentang perempuan di dunia Arab. Secara perlahan tapi pasti, Syari’at Islam mulai mengangkat kaum perempuan dari kubangan diskriminatif yang berkepanjangan di Masyarakat Arab. perempuan dalam risalah Islam sesungguhnya dianggap memiliki hak yang –bisa disebut sama– dengan kaum pria, memiliki hak dan kewajiban yang seimbang baik dalam status sipritual, moral, hak-hak ekonomis dan hak-hak legal (dalam pandangan hukum) .
Kedudukan perempuan dalam Islam dalam perkembangan Islam sebenarnya sudah mengalami pencerahan yang cukup significant, hanya saja jika kemudian terjadi polemik para ulama dalam kapasitas perempuan sebagai hakim, tidak lepas dari setting sosial para ulama yang memandangnya saat itu. Kondisi sosial, budaya, dan struktur masyarakat tertentu diduga kuat mempunyai andil cukup besar terhadap pemikiran ulama dalam memandang kedudukan perempuan sebagai Hakim. Disamping itu persoalan peradilan masih dianggap sesuatu yang riskan jika harus diserahkan pada perempuan. Itulah sebabnya para ulama fiqh telah melakukan usaha maksimal untuk membuat kualifikasi formal bagi seorang hakim.
Secara normatif, ulama ulama fiqh klasik misalnya telah membuat persyaratan yang cukup selektif untuk seorang hakim antara lain, Islam, merdeka, laki-laki, mukallaf, ‘adil, mendengar, bisa berbicara fasih, bisa menulis dan yang terpenting tentunya punya integritas moral dan menguasai syari’at Islam.  Konsekuensi logis dari persyaratan ini, maka calon calon hakim yang tidak memiliki kriteria –jika memaksakan– tidak dianggap cukup sah status hakimnya. Karena salah satu syarat itu -secara eksplisit –juga  harus laki-laki, maka  apabila perempuan menjadi hakim, keabsahannya tidak bisa dipertanggung jawabkan secara legal. Dampak lain dari statemen ini  berarti semua keputusan dari sesuatu yang tidak legal tentu akan menghasilkan produk yang bathal secara hukum.
Terlepas dari kutipan –salah seorang ulama– di atas tentang keabsahan seorang hakim perempuan, penulis merasa sangat perlu –dalam forum diskusi PSW ini– memaparkan lebih jauh bagaimana polemik dan komentar serta argumentasi yang digunakan para ulama lain tentang keabsahan hakim perempuan.
Sekurang kurangnya ada tiga kelompok ulama yang menyatakan pendapatnya berkaitan dengan hal tersebut, yaitu:
Pertama, Perempuan tidak sah menjadi hakim, pendapat ini diwakili oleh tokoh madzhab terkenal seperti, Imam Malik, Syafi’i dan Ahmad Ibnu Hanbal.
Kedua, Perempuan sah menjadi hakim, kecuali pada persoalan hukum hudud (pidana) dan qishah,  pendapat ini diwakili oleh tokoh fiqh rasional, Imam Abu Hanifah.
Ketiga, Perempuan sah menjadi hakim secara muthlak dalam kasus apapun (perdata, maupun pridana), pendapat ini diwakili oleh imam Ibnu Jarir Al-Thabary.  Sejalan dengan imam Thabary, imam Ibnu Hazm juga mengemukakan kebolehan perempuan sebagai hakim secara mutlak, tidak terkecuali pada perkara perdata ataupun pidana, ini berarti bahwa perempuan sah menjadi hakim.

Landasan Argumentatif
Dari ketiga kelompok ulama yang memiliki pendapat berbeda tersebut masing–masing memiliki landasan argumentatif yang cukup valid baik dari nash-nash syari’at maupun aqli. antara lain:
Menurut catatan Muhammad Abu Al-‘Ainaini, kelompok ulama yang meragukan keabsahan perempuan sebagai hakim, seperti yang diwakili imam Malik dan Syafi’i, berpedoman pada teks al-Qur’an surat An-Nisa ayat 47, yang artinya:
“Lelaki adalah pemimpin kaum perempuan  oleh karena Allah melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain” (QS.2:34)
Menurut interpretasi ulama kelompok ini, kata kata “kelebihan” yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah berkaitan dengan penggunaan daya talar dan fikir, yang dalam banyak hal -terutama dalam kontek proses peradilan- perempuan tidak dapat melakukan hal yang sama dengan pria.  Lebih jauh Hamid Muhammad Abu Thalib mengemukakan bahwa kehadiran perempuan dalam sebuah proses peradilan –apalagi sebagai hakim- dapat menimbulkan fitnah, terutama bertentangan dengan kelaziman yang berlaku dalam masyarakat, oleh karenanya kesaksian merekapun tidak selayaknya diakui secara hukum. Kehadiran perempuan dalam proses peradilan dinilai tidak lazim dan akan memperlemah suatu proses peradilan karena keterbatasan mental dan daya talar perempuan baik sebagai saksi maupun -bisa jadi – sebagai terdakwa.
Argumentasi lain yang dikemukakan oleh kelompok ini adalah Sunnah Rasul (Hadits), yang meriwayatkan tentang kematian raja Kisra, Nabi sempat mengemukakan pertanyaan di kalangan sahabat, “ menurut anda (para sahabat) siapakah  yang layak akan menggantikan raja Kisra,?, para sahabat serta merta menjawab, “ tentu saja putrinya yang bernama Nora, sebagai pengganti raja,” Kemudian Nabi segera meng-counter- jawaban sahabat itu dengan mengemukakan “Tidak akan mengalami kesuksesan, suatu bangsa apabila pemimpin diserahkan kepada perempuan.” (al-Hadits).
Ketika menafsirkan hadits tersebut sebagian ulama yang melarang hakim waniita juga menggunakan logika silogisme (hampir identik dengan qiyas). Logika silogeisme yang digunakan para ulama dalam memahami hadits tersebut adalah bahwa, hadits tersebut bersifat celaan, sedangkan celaan membawa larangan, dan selanjutnya larangan itu berarti juga menunjukkan jeleknya sesuatu yang dilarangnya.  Dari pernyataan ini jelas apapun alasannya keabsahan perempuan sebagai Hakim tetap tidak dapat dipertanggungjawabkan, atau dengan kata lain bathal sebagai hakim.
Tidak saja menggunakan nash-nash syari’at sebagai argumentasi larangan perempuan sebagai hakim, akan tetapi mereka juga mengemukakan faktor historis yang berkembang dalam peradaban umat Islam. Konon –menurut mereka- memang tidak pernah tercatat dalam sejarah, Rasulullah maupun para sahabat sesudahnya (khulafa al-Rasyidin), mengangkat perempuan sebagai hakim, Jika saja secara syari’at dibolehkan, tentu ada perempuan yang diangkat menjadi hakim untuk menetapkan vonis terhadap tindak pidana yang dilakukan kaum perempuan.
Terlepas dari akurat atau tidaknya argumentasi yang digunakan kelompok ulama pertama ini, yang jelas bahwa kaum perempuan tidak sah jika diangkat sebagai hakim.
Berbeda dengan pendapat kelompok pertama Imam Abu Hanifah, justru mengemukakan argumentasi yang lain, dan berksimpulan bahwa sah-sah saja jika perempuan menjadi hakim sepanjang perkara yang dihadapinya bukan pada perkara pidana. (Pendapat ini agaknya dianalogikan dengan status kesaksian perempuan). Sepanjang kesaksian perempuan dianggap sah dalam persoalan persoalan perdata, maka iapun sah jika menduduki jabatan hakim pada persoalan tersebut.
Sementara itu kelompok ulama ketiga (yang mebolehkan perempuan sebagai hakim secara muthlak) yang diwakili Ibnu Jarir Ath-Thabary, dan Ibu Hazm, berargumentasi pada beberapa poin, yatiu:
Tidak satupun ayat dalam al-Qur’an maupun pernyataan Rasul (Hadits)  yang secara tegas melarang perempuan sebagai hakim.
Berbeda dengan kelompok pertama yang tidak menemukan data sejarah tentang hakim perempuan, menurut Ibnu Jarir  justru secara historis pernah terjadi pengangkatan seorang perempuan sebagai hakim, pada masa Umar Ibnu Khattab, yang mengangkat perempuan menjadi hakim dari suku al-Syuq, bernama Al-Syifa
Menggunakan analogi terhadap keabsahan fatwa seorang perempuan yang dianggap sah, dengan kata lain jika fatwa perempuan dianggap sah, maka tentu saja keputusannya sebagai hakimpun dapat dianggap sah.

Analisis Sosio-Cultural Terhadap Pemikiran Ulama Tentang  Hakim Perempuan
Teori hukum manapun, termasuk hukum Islam dalam pengertian fiqh, mengakui bahwa kondisi sosial budaya suatu tempat mempunyai andil yang sangat significant terhadap corak dan  pemikiran seorang tokoh hukum (ulama).  Inilah yang sering disinyalir dalam salah satu kaidah, bahwa “Tidak dapat dipungkiri, hukum itu –tanpa kecuali hukum Islam selalu berubah sesuai dengan perubahan tempat waktu dan keadaan”
Dalam sejarah formulasi fiqh Islam lazimnya para ulama selalu mempertimbangkan implikasi sosial budaya dan kondisi dalam melahirkan produk-produk pemikiran hukumnya, atas dasar ini maka tidak heran jika produk-produk fiqh itu sebenarnya sangat bersifat partikularistik, dengan kata lain, pemikiran-pemikiran ulama pada masa lalu itu tidak dimaksudkan untuk diberlakukan secara umum, hal ini dapat dimengerti karena produk fuqaha itu sebenarnya lahir dari hasil suatu lingkungan dan kultur tertentu dan dari masa tertentu di masa silam. ia mungkin saja relevan dengan kontek zamannya dan tempat dimana para ulama itu memberikan fatwanya, tapi bisa saja kemudian tidak lagi relevan jika diaktualisasikan dalam kontek zaman dan kondisi sosial yang berbeda.
Kondisi tersebut juga berlaku pada produk produk ulama fiqh dalam menentukan pendapatnya tentang kedudukan perempuan sebagai hakim, boleh jadi dan bahkan dapat diguga kuat faktor lingkungan sosial budaya mempunyai andil besar terhadap perbedaan di kalangan ulama.
Seperti kita ketahui tokoh tokoh madzhab seperti Maliki dan Syafi’i, berpendapat bahwa perempuan tidak sah menjadi seorang hakim, hal ini dapat dimengerti karena perempuan-perempuan di Hijaz (dimana Malik dan juga Syafi’i pernah tinggal), masih sangat terikat dengan struktur sosial ke Araban yang cenderung eksklusive, terbiasa dengan tradisi pingitan. Kebebasan mereka dalam melakukan aktifitas di luar rumah sangat dibatasi. Kondisi Hijaz dan Madinah yang cenderung bersahaja, sederhana dan jauh dari pengaruh kebudayaan luar dan problematikannya,  semakin memperkukuh tradisi lokal bagi para penduduknya, termasuk tentang status perempuan  Kondisi ini jelas berpengaruh besar terhadap cara berfikir masyarakat Arab waktu itu, dan pada giliranya memiliki pandangan yang agak “miring” terhadap perempuan. Faktor ini agaknya yang membuat para ulama membatasi peran kaum perempuan dalam kapasitasnya sebagai hakim.
Faktor lain yang dapat diduga mengapa Imam Malik melarang perempuan sebagai hakim, adalah sikapnya yang komitmen kepada hadits Rasul dimana secara eksplisit sebagaimana di ungkapkan di muka, ada indikasi hadits rasul yang melarang keterlibatan perempuan dalam proses kepemimpinan. Teguh pendiriannya pada Hadits yang sedemikan rupa ini pula agaknya Imam Malik tidak mau mengambil resiko dengan membolehkan perempuan sebagai hakim. Pendapat yang sama juga disampaikan Imam Syafi’i, walaun ia tidak lama tinggal di Madinah, bisa jadi, pemikiran  Malik yang sempat menjadi gurunya dalam bidang hadits mempengaruhi Syafi’i.  Tidak heran jika iapun melarang perempuan untuk menjadi hakim.
Berlainan halnya dengan Imam Abu Hanifah – yang menurutnya perempuan boleh menjadi hakim- hidup di kawasan Irak dimana akulturasi budaya asing sudah sedemikan kental, pemikran masyarakatnya pun sudah sedemikan liberal. Kondisi Irak dimana Hanafi tinggal sudah sedemikian maju dibanding Hijaz. Akulturasi dengan Persia yang sudah maju lebih dulu telah terbangun lama. Sehingga sedikit banyak kebudayaan Persia yang maju itu ikut mempengaruhi cara berfikir masyarakat Irak. Semakin maju kebudayaan bangsa, semakin baik pula pandangan mereka terhadap perempuan. Oleh karenanya kedudukan perempuan di Irak lebih beruntung di banding dengan kedudukan perempuan di Hijaz.
Perbedaan yang sedemikan kontras ini agaknya juga berpengaruh besar terhadap wacana pemikiran para ulamanya.  Maka sekali lagi dapat difahami kalau kemudian Abu Hanifah membolehkan perempuan sebagai Hakim, oleh karena cultur Irak waktu itu memungkinkan ke arah itu. Kondisi sosial budaya seperti itulah yang banyak mempengaruhi pemikiran hukum Islam dari kalangan mujtahid, termasuk di dalamnya Ibnu Jarir At-thabary dan Ibnu Hazm , yang lebih liberal menyatakan kebebasan dan keabsahan perempuan sebagai hakim secara mutlak.
Faktor lain mengapa terjadi perbedaan pandangan ulama di Hijaz dan Irak adalah, Jika di Hijaz cenderung ingin mempertahankan tradisi nash dan hadits hadits rasul maka di Irak justru lebih mengedepankan pemikiran rasio dan penalaran bebas. Itulah kemudian muncul istilah fiqh tradisional Hijaz dan Fiqh rasional Irak. Tradisi penggunaan ra’yu yang sudah sedemikian rupa itupun kemudian berkembang secara pesat dalam wacana fiqh Islam, yang pada gilirannya juga mempengeruhi corak corak fiqh yang berkembang. Walhasil kebolehan perempuan sebagai hakim yang dianut olek kelompok ketiga ini juga diduga kuat akibat kebebasan rasio yang digunakan sebagai istinbat

Kesimpulan
Polemik ulama fiqh tentang status perempuan, disamping karena faktor perbedaan penggunaan metode istinbath dan cara pandang terhadap nash, ternyata juga banyak dipengaruhi oleh faktor sosial budaya dan kondisi ulama setempat. Jika dalam kultur masyarakat tertentu tradisi pingitan terhadap perempuan masih begitu dominan, sebagaimana di kawasan Hijaz ketika Imam Malik hidup, maka fatwa tentang hakim perempuanpun merupakan refleksi dari kondisi tersebut. Sebaliknya jika kultur masyarakat cenderung liberal, akulturasi budaya masuk deras seperti di Irak ketika Hanafi hidup,, maka hakim perempuanpun dianggap tak ada masalah dan sah sah saja. Begitu juga kondisi masyarakat ketika Ibnu Jarir At-Thabary tinggal,. Cukup memberi alasan untuk memberikan kebebasan bagi perempuan sebagai hakim secara mutlak

Wa Allu’Alam bi Shawab
Cirebon 8 Mei 2009

DAFTAR PUSTAKA

Abd. Fattah  Muhammad Abu Al-‘Ainaini, Al-Qhada wa Al-Itsbath fi Fiqh Al-Islami, Kairo: Dar Al-Kutub, 1983.
Al-Mawardy, Al-Ahkamu Al-Shulthaniyah, Cet. III, Mesir: Musthafa al-Baby al-Halaby, 1973,
Al-Shan’any, Subul al-Salam, Juz IV, Beirut: Dar al-Fikr, t.th.
Al-Syirazy, Kitab al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, Jilid II, Jeddah: Maktabah Al-Irsyad, t.th.,
Amir Syarifuddin, Prof. Dr., Pembaharuan Pemikiran Dalam Hukum Islam, Padang: Angkasa Raya, 1993.
Dr. Faroq Abu Zaid, Hukum Islam Antara Tradisionalis dan Modernis, Jakarta: P3M, 1989
Hamid Muhammad Abu Thalib,  Al-Tanzhim Al-Qadha Al-Islami, Mesir: Mathba’ah al-Sa’adah, 1982,
Ibnu Abi al-Dam al-Syafi’i, dalam kitab, Kitab Adab al-Qhadhi, t.tp., t.th.
Ibnu Al-Humam, Syarh Fath al-Qadir, Juz V, Beirut: Dar Al-Fikr, t.th.
Imam Al-Bahy Al-Khuli, Al-Mar’atu Baena Al-Bait wa Al-Mujtama’, Mesir: Dar Al-Kitab Al-‘Araby, t.th.
M. Abdul Mujib, dkk, Kamus Istilah Fiqh, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994
Muhammad Abu Zahrah, Syafi’i, Hayatuhu, Wa Ashruhu Wa Arauhu Wa Fiqhuhu, Mesir : Dar Al-Fikr Arabi, 1978.
Muhammad Salam Madkur, Al-Qhadha fi Al-Islam, Kairo: Dar Dahlah al-Arabiyah, 1964,
Nur A.Fadhil Lubis P.hd., Kepemimpinan Wanita dalam Islam , Jurnal : Miqot, Medan: IAIN Press, 1991,
Willam Friedman, Law in a Changing Society, London: Pelican Press, 1964.

1.     Disampaikan pada acara “Diskusi Ilmiah Dosen“ yang diselenggarakan oleh Jurusan Syari’ah STAIN Cirebon pada tanggal 1 Juni 2005
2.     Ikhtiat, berati satu sikap hati hati dan selektif dalam memutuskan (melakukan Istinbath) hukum baik dari nash syari’at maupun persoalan yang berkembang di luar nash. Sikap ini sangat populer dikenal dalam madzhab fiqh Syafi’i. Uraian panjang lebar tentang konsep ikhtiat Syafi’i ini dapat dilihat pada, Muhammad Abu Zahrah, Syafi’i, Hayatuhu, Wa Ashruhu Wa Arauhu Wa Fiqhuhu, Mesir : Dar Al-Fikr Arabi, 1978.
3.      Secara panjang lebar kondisi keprihatinan perempuan   di Atena ini di jelaskan Oleh Imam Al-Bahy Al-Khuli dalam , Al-Mar’atu Baena Al-Bait wa Al-Mujtama’, Mesir: Dar Al-Kitab Al-‘Araby, t.th. hal. 7
4.      Secara legal formal perempuan  dan pria sebenarnya punya hak dan kewajiban yang timbal balik, perbedaan porsi legal lainnya jika itu ada sebenarnya lebih disebabkan oleh karena pertimbangan perbedaan aspek biologisnya, Lihat selanjutnya analisis sorang Doktor alumni UCLA California, USA  Nur A. Fadhil Lubis P.hd. dalam tulisannya, Kepemimpinan Wanita dalam Islam , Jurnal : Miqot, Medan: IAIN Press, 1991, hal. 16
5.     Persyaratan yang cukup selektif ini dikutip dari, Ibnu Abi al-Dam al-Syafi’i, dalam kitab, Kitab Adab al-Qhadhi, t.tp., t.th., hal. 21
6.     Ibid.
7.     Hudud adalah, batas batas ketentuan dari Allah tentang hukuman yang diberikan kepada seseorang yang melanggar tindak pidana Islam sedangkan qishahs adalah hukuman yang dijatuhkan kepada seseorang yang melakukan tindak pidana sebagai pembalasan yang serupa, seperti pembunuhan, melukai anggota badan dan seterusnya yang diatur oleh syari’at Islam, Lihat selanjutnya pada M. Abdul Mujib, dkk, Kamus Istilah Fiqh, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994, hal. 106 dan 278.
8.     Lihat Al-Mawardy, Al-Ahkamu Al-Shulthaniyah, Cet. III, Mesir: Musthafa al-Baby al-Halaby, 1973, hal. 65, lihat juga, Al-Shan’any, Subul al-Salam, Juz IV, Beirut: Dar al-Fikr, t.th., hal. 123. Muhammad Salam Madkur, Al-Qhadha fi Al-Islam, Kairo: Dar Dahlah al-Arabiyah, 1964, hal. 37.
9.     Lihat selanjutnya, Abd. Fattah  Muhammad Abu Al-‘Ainaini, Al-Qhada wa Al-Itsbath fi Fiqh Al-Islami, Kairo: Dar Al-Kutub, 1983, hal. 17
10.     LihatMuhammad Abu Al-aninaini, Op. Cit., hal. 124, lihat Juga Al-Mawardi, Op. Cit.,  hal. 66.
11.     Lihat Hamid Muhammad Abu Thalib,  Al-Tanzhim Al-Qadha Al-Islami, Mesir: Mathba’ah al-Sa’adah, 1982, hal. 76.
12.     Demikian keterangan yang dikutip oleh Muhamad Abu Al-Ainaini, Op. Cit.,  hal. 24
13.     Muhammad Hamid Abu Thalib, Op. Cit., hal.76
14.     Sekedar untuk difahami, bahwa Imam Abu Hanifah tidak membolehkan perempuan  sebagai hakim dalam perkara perkara pidana (hudud dan qishah), Karena secara syari’at kesaksian satu orang perempuan  tehadap persoalan hudud dan qishah tidak bisa diterima, maka tentu dengan sendirinya apalagi sebagai hakim dalam persoalan yang sama. Jadi Bagi Abu Hanifah Keabsahan perempuan sebagai hakim ini hanya pada persoalan perdata. Lebih lanjut mengenai uraian Abu Hanifah tentang ini dapat di lihat pada Ibnu Al-Humam, Syarh Fath al-Qadir, Juz V, Beirut: Dar Al-Fikr, t.th. hal. 252-253.
15.     Lihat Al-Syirazy, Kitab al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, Jilid II, Jeddah: Maktabah Al-Irsyad, t.th., hal., 322., atau Lihat juga AL-Ainaini, Op. Cit., hal. 17 – 18.
16.     Sinyalemen ini cukup populer di kalangan ahli hukum Barat, bahwa untuk memahami secara komprehensip tentang hukum maka harus dilihat hubungan antara teori-teori hukum itu sendiri dengan perubahan sosial sebagai sebuah proses sejarah yang selalu berjalan, karena hukum itu sendiri juga lahir dari interaksi sosial. Lihat, Willam Friedman, Law in a Changing Society, London: Pelican Press, 1964, hal. 19.
17.     Situasi sosial Hijaz yang bersahaja dan sederhana jauh dari akulturasi budaya asing  ketika Imam Malik banyak mengeluarkan fatwanya dapat dilihat lebih lanjut pada Dr. Faroq Abu Zaid, Hukum Islam Antara Tradisionalis dan Modernis, Jakarta: P3M, hal. 10 -12
18.     Seperti diketahui, Pemikiran Syafi’i dalam bidang fiqih adalah sintesa dari dua kutub (Ahlu hadis yang diwakili Malik dan ahlu ra’yi yang diwakili Abu Hanifah ) maka dapat diduga pemikiran pemikran Malikpun banyak di adopsi oleh Syafi’i, salah satunya tentang hakim perempuan. Lebih lanjut hubungan Malik dan Syafi’i sebagai guru dan murid dapat di lihat pada, Muhammad Abu Zahrah, Syafi’i, Hayatuhu, Wa Ashruhu Wa Arauhu Wa Fiqhuhu, Mesir : Dar Al-Fikr Arabi, 1978, hal. 14
19.     Amir Syarifuddin, Prof. Dr., Pembaharuan Pemikiran Dalam Hukum Islam, Padang: Angkasa Raya, 1993, hal 102
20.     Ibnu Hazm adalah salah seorang tokoh fikih yang cenderung beraliran literalis (tekstual), ia adalah salah satu pengikut madzhab Imam Daud Adz-Dzhahiri yang juga dikenal sebagai tokoh literalis.

http://www.pesantrenvirtual.com/index.php/islam-kontemporer/1262-perspektif-fiqh-tentang-hakim-perempuan