Kepemimpinan

Kepemimpinan
Kepemimpinan adalah proses mempengaruhi atau memberi contoh oleh pemimpin kepada pengikutnya dalam upaya mencapai tujuan organisasi.[1] Cara alamiah mempelajari kepemimpinan adalah “melakukanya dalam kerja” dengan praktik seperti pemagangan pada seorang senima ahli, pengrajin, atau praktisi.[2] Dalam hubungan ini sang ahli diharapkan sebagai bagian dari peranya memberikan pengajaran/instruksi.[2]
Ciri-Ciri Seorang Pemimpin
Kebanyakan orang masih cenderung mengatakan bahwa pemimipin yang efektif mempunyai sifat atau ciri-ciri tertentu yang sangat penting misalnya, kharisma, pandangan ke depan, daya persuasi, dan intensitas.[3] Dan memang, apabila kita berpikir tentang pemimpin yang heroik seperti Napoleon, Washington, Lincoln, Churcill, Sukarno, Jenderal Sudirman, dan sebagainya kita harus mengakui bahwa sifat-sifat seperti itu melekat pada diri mereka dan telah mereka manfaatkan untuk mencapai tujuan yang mereka inginkan.
Kepemimpinan Yang Efektif
Barangkali pandangan pesimistis tentang keahlian-keahlian kepemimpinan ini telah menyebabkan munculnya ratusan buku yang membahas kepemimpinan.[4] Terdapat nasehat tentang siapa yang harus ditiru (Attila the Hun), apa yang harus diraih (kedamaian jiwa), apa yang harus dipelajari (kegagalan), apa yang harus diperjuangkan (karisma), perlu tidaknya pendelegasian (kadang-kadang), perlu tidaknya berkolaborasi (mungkin), pemimpin-pemimpin rahasia Amerika (wanita), kualitas-kualitas pribadi dari kepemimpinan (integritas), bagaimana meraih kredibilitas (bisa dipercaya), bagaimana menjadi pemimipin yang otentik (temukan pemimpin dalam diri anda), dan sembilan hukum alam kepemimpinan (jangan tanya).[4] Terdapat lebih dari 3000 buku yang judulnya mengandung kata pemimipin (leader).[4] Bagaimana menjadi pemimpin yang efektif tidak perlu diulas oleh sebuah buku.[4] Guru manajeman terkenal, Peter Drucker, menjawabnya hanya dengan beberapa kalimat: “pondasi dari kepemimpinan yang efektif adalah berpikir berdasar misi organisasi, mendefinisikannya dan menegakkannya, secara jelas dan nyata.[4]
Kepemimpinan Karismatik
Max Weber, seorang sosiolog, adalah ilmuan pertama yang membahas kepemimpinan karismatik.[5] Lebih dari seabad yang lalu, ia mendefinisikan karisma (yang berasal dari bahasa Yunani yang berarti “anugerah”) sebagai “suatu sifat tertentu dari seseorang, yang membedakan mereka dari orang kebanyakan dan biasanya dipandang sebagai kemampuan atau kualitas supernatural, manusia super, atau paling tidak daya-daya istimewa.[5] Kemampuan-kemampuan ini tidak dimiliki oleh orang biasa, tetapi dianggap sebagai kekuatan yang bersumber dari yang Ilahi, dan berdasarkan hal ini seseorang kemudian dianggap sebagai seorang pemimpin.[5]

Sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Kepemimpinan

Perilaku organisasi

Perilaku organisasi
Perilaki Organisasi adalah suatu disiplin ilmu yang mempelajari bagaimana seharusnya perilaku tingkat individu, tingkat kelompok, serta dampaknya terhadap kinerja (baik kinerja individual, kelompok, maupun organisasi).
Perilaku organisasi juga dikenal sebagai Studi tentang organisasi. Studi ini adalah sebuah bidang telaah akademik khusus yang mempelajari organisasi, dengan memanfaatkan metode-metode dari ekonomi, sosiologi, ilmu politik, antropologi dan psikologi. Disiplin-disiplin lain yang terkait dengan studi ini adalah studi tentang Sumber daya manusia dan psikologi industri serta perilaku organisasi.
Tinjauan umum
Studi organisasi adalah telaah tentang pribadi dan dinamika kelompok dan konteks organisasi, serta sifat organisasi itu sendiri. Setiap kali orang berinteraksi dalam organisasi, banyak faktor yang ikut bermain. Studi organisasi berusaha untuk memahami dan menyusun model-model dari faktor-faktor ini.
Seperti halnya dengan semua ilmu sosial, perilaku organisasi berusaha untuk mengontrol, memprediksikan, dan menjelaskan. Namun ada sejumlah kontroversi mengenai dampak etis dari pemusatan perhatian terhadap perilaku pekerja. Karena itu, perilaku organisasi (dan studi yang berdekatan dengannya, yaitu psikologi industri) kadang-kadang dituduh telah menjadi alat ilmiah bagi pihak yang berkuasa. Terlepas dari tuduhan-tuduhan itu, Perilaku Organisasi dapat memainkan peranan penting dalam perkembangan organisasi dan keberhasilan kerja.
Sejarah
Meskipun studi ini menelusuri akarnya kepada Max Weber dan para pakar yang sebelumnya, studi organisasi biasanya dianggap baru dimulai sebagai disiplin akademik bersamaan dengan munculnya manajemen ilmiah pada tahun 1890-an, dengan Taylorisme yang mewakili puncak dari gerakan ini. Para tokoh manajemen ilmiah berpendapat bahwa rasionalisasi terhadap organisasi dengan rangkaian instruksi dan studi tentang gerak-waktu akan menyebabkan peningkatan produktivitas. Studi tentang berbagai sistem kompensasi pun dilakukan.
Setelah Perang Dunia I, fokus dari studi organisasi bergeser kepada analisis tentang bagaimana faktor-faktor manusia dan psikologi mempengaruhi organisasi. Ini adalah transformasi yang didorong oleh penemuan tentang Dampak Hawthorne. Gerakan hubungan antar manusia ini lebih terpusat pada tim, motivasi, dan aktualisasi tujuan-tujuan individu di dalam organisasi.
Para pakar terkemuka pada tahap awal ini mencakup:
Chester Barnard
Henri Fayol
Mary Parker Follett
Frederick Herzberg
Abraham Maslow
David McClelland
Victor Vroom
Perang Dunia II menghasilkan pergeseran lebih lanjut dari bidang ini, ketika penemuan logistik besar-besaran dan penelitian operasi menyebabkan munculnya minat yang baru terhadap sistem dan pendekatan rasionalistik terhadap studi organisasi.
Pada tahun 1960-an dan 1970-an, bidang ini sangat dipengaruhi oleh psikologi sosial dan tekanan dalam studi akademiknya dipusatkan pada penelitian kuantitatif.
Sejak tahun 1980-an, penjelasan-penjelasan budaya tentang organisasi dan perubahan menjadi bagian yang penting dari studi ini. Metode-metode kualitatif dalam studi ini menjadi makin diterima, dengan memanfaatkan pendekatan-pendekatan dari antropologi, psikologi dan sosiologi.
Keadaan bidang studi ini sekarang
Perilaku organisasi saat ini merupakan bidang studi yang berkembang. Jurusan studi organisasi pada umumnya ditempatkan dalam sekolah-sekolah bisnis, meskipun banyak universitas yang juga mempunyai program psikologi industri dan ekonomi industri pula.
Bidang ini sangat berpengaruh dalam dunia bisnis dengan para praktisi seperti Peter Drucker dan Peter Senge yang mengubah penelitian akademik menjadi praktik bisnis. Perilaku organisasi menjadi semakin penting dalam ekonomi global ketika orang dengan berbagai latar belakang dan nilai budaya harus bekerja bersama-sama secara efektif dan efisien. Namun bidang ini juga semakin dikritik sebagai suatu bidang studi karena asumsi-asumsinya yang etnosentris dan pro-kapitalis (lihat Studi Manajemen Kritis)

Sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Perilaku_organisasi

PROSES LAHIRNYA ILMU

PROSES LAHIRNYA ILMU

Manusia Mencari Kebenaran

Manusia mencari kebenaran dengan menggunakan akal sehat (common sense) dan dengan ilmu pengetahuan.

Letak perbedaan yang mendasar antara keduanya ialah berkisar pada kata “sistematik” dan “terkendali”. Ada lima hal pokok yang membedakan antara ilmu dan akal sehat. Yang pertama, ilmu pengetahuan dikembangkan melalui struktur-stuktur teori, dan diuji konsistensi internalnya. Dalam mengembangkan strukturnya, hal itu dilakukan dengan tes ataupun pengujian secara empiris/faktual. Sedang penggunaan akal sehat biasanya tidak. Yang kedua, dalam ilmu pengetahuan, teori dan hipotesis selalu diuji secara empiris/faktual. Halnya dengan orang yang bukan ilmuwan dengan cara “selektif”. Yang ketiga, adanya pengertian kendali (kontrol) yang dalam penelitian ilmiah dapat mempunyai pengertian yang bermacam-macam. Yang keempat, ilmu pengetahuan menekankan adanya hubungan antara fenomena secara sadar dan sistematis. Pola penghubungnya tidak dilakukan secara asal-asalan. Yang kelima, perbedaan terletak pada cara memberi penjelasan yang berlainan dalam mengamati suatu fenomena. Dalam menerangkan hubungan antar fenomena, ilmuwan melakukan dengan hati-hati dan menghindari penafsiran yang bersifat metafisis. Proposisi yang dihasilkan selalu terbuka untuk pengamatan dan pengujian secara ilmiah.

Terjadinya Proses Sekularisasi Alam

Pada mulanya manusia menganggap alam suatu yang sakral, sehingga antara subyek dan obyek tidak ada batasan. Dalam perkembangannya sebagaimana telah disinggung diatas terjadi pergeseran konsep hukum (alam). Hukum didefinisikan sebagai kaitan-kaitan yang tetap dan harus ada diantara gejala-gejala. Kaitan-kaitan yang teratur didalam alam sejak dulu diinterpretasikan ke dalam hukum-hukum normative. Disini pengertian tersebut dikaitkan dengan Tuhan atau para dewa sebagai pencipta hukum yang harus ditaati. Menuju abad ke-16 manusia mulai meninggalkan pengertian hukum normative tersebut. Sebagai gantinya muncullah pengertian hukum sesuai dengan hukum alam. Pengertian tersebut berimplikasi bahwa terdapat tatanan di alam dan tatanan tersebut dapat disimpulkan melalui penelitian empiris. Para ilmuwan saat itu berpendapat bahwa Tuhan sebagai pencipta hukum alam secara berangsur-angsur memperoleh sifat abstrak dan impersonal. Alam telah kehilangan kesakralannya sebagai ganti muncullah gambaran dunia yang sesuai dengan ilmu pengetahuan alam bagi manusia modern dengan kemampuan ilmiah manusia mulai membuka rahasia-rahasia alam.

Berbagai Cara Mencari Kebenaran

Dalam sejarah manusia, usaha-usaha untuk mencari kebenaran telah dilakukan dengan berbagai cara seperti :

Secara kebetulan

Ada cerita yang kebenarannya sukar dilacak mengenai kasus penemuan obat malaria yang terjadi secara kebetulan. Ketika seorang Indian yang sakit dan minum air dikolam dan akhirnya mendapatkan kesembuhan. Dan itu terjadi berulang kali pada beberapa orang. Akhirnya diketahui bahwa disekitar kolam tersebut tumbuh sejenis pohon yang kulitnya bisa dijadikan sebagai obat malaria yang kemudian berjatuhan di kolam tersebut. Penemuan pohon yang kelak dikemudian hari dikenal sebagai pohon kina tersebut adalah terjadi secara kebetulan saja.

Trial And Error

Cara lain untuk mendapatkan kebenaran ialah dengan menggunakan metode “trial and error” yang artinya coba-coba. Metode ini bersifat untung-untungan. Salah satu contoh ialah model percobaan “problem box” oleh Thorndike. Percobaan tersebut adalah seperti berikut: seekor kucing yang kelaparan dimasukkan kedalam “problem box”—suatu ruangan yang hanya dapat dibuka apabila kucing berhasil menarik ujung tali dengan membuka pintu. Karena rasa lapar dan melihat makanan di luar maka kucing berusaha keluar dari kotak tersebut dengan berbagai cara. Akhirnya dengan tidak sengaja si kucing berhasil menyentuh simpul tali yang membuat pintu jadi terbuka dan dia berhasil keluar. Percobaan tersebut mendasarkan pada hal yang belum pasti yaitu kemampuan kucing tersebut untuk membuka pintu kotak masalah.

Melalui Otoritas

Kebenaran bisa didapat melalui otoritas seseorang yang memegang kekuasaan, seperti seorang raja atau pejabat pemerintah yang setiap keputusan dan kebijaksanaannya dianggap benar oleh bawahannya. Dalam filsafat Jawa dikenal dengan istilah ‘Sabda pendita ratu” artinya ucapan raja atau pendeta selalu benar dan tidak boleh dibantah lagi.

Berpikir Kritis/Berdasarkan Pengalaman

Metode lain ialah berpikir kritis dan berdasarkan pengalaman. Contoh dari metode ini ialah berpikir secara deduktif dan induktif. Secara deduktif artinya berpikir dari yang umum ke khusus; sedang induktif dari yang khusus ke yang umum. Metode deduktif sudah dipakai selama ratusan tahun semenjak jamannya Aristoteles.

Melalui Penyelidikan Ilmiah

Menurut Francis Bacon Kebenaran baru bisa didapat dengan menggunakan penyelidikan ilmiah, berpikir kritis dan induktif.

Catatan :

Selanjutnya Bacon merumuskan ilmu adalah kekuasaan. Dalam rangka melaksanakan kekuasaan, manusia selanjutnya terlebih dahulu harus memperoleh pengetahuan mengenai alam dengan cara menghubungkan metoda yang khas, sebab pengamatan dengan indera saja, akan menghasilkan hal yang tidak dapat dipercaya. Pengamatan menurut Bacon, dicampuri dengan gambaran-gambaran palsu (idola): Gambaran-gambaran palsu (idola) harus dihilangkan, dan dengan cara mengumpulkan fakta-fakta secara telilti, maka didapat pengetahuan tentang alam yang dapat dipercaya. Sekalipun demikian pengamatan harus dilakukan secara sistematis, artinya dilakukan dalam keadaan yang dapat dikendalikan dan diuji secara eksperimantal sehingga tersusunlah dalil-dalil umum. Metode berpikir induktif yang dicetuskan oleh F. Bacon selanjutnya dilengkapi dengan pengertian adanya pentingnya asumsi teoritis dalam melakukan pengamatan serta dengan menggabungkan peranan matematika semakin memacu tumbuhnya ilmu pengetahuan modern yang menghasilkan penemuan-penemuan baru, seperti pada tahun 1609 Galileo menemukan hukum-hukum tentang planet, tahun 1618 Snelius menemukan pemecahan cahaya dan penemuan-penemuan penting lainnya oleh Boyle dengan hukum gasnya, Hygens dengan teori gelombang cahaya, Harvey dengan penemuan peredaran darah, Leuwenhock menemukan spermatozoide, dan lain-lain.

Dasar-Dasar Pengetahuan

Dalam bagian ini akan dibicarakan dasar-dasar pengetahuan yang menjadi ujung tombak berpikir ilmiah. Dasar-dasar pengetahuan itu ialah sebagai berikut :

Penalaran

Yang dimaksud dengan penalaran ialah Kegiatan berpikir menurut pola tertentu, menurut logika tertentu dengan tujuan untuk menghasilkan penegtahuan. Berpikir logis mempunyai konotasi jamak, bersifat analitis. Aliran yang menggunakan penalaran sebagai sumber kebenaran ini disebut aliran rasionalisme dan yang menganggap fakta dapat tertangkap melalui pengalaman sebagai kebenaran disebut aliran empirisme.

Logika (Cara Penarikan Kesimpulan)

Ciri kedua ialah logika atau cara penarikan kesimpulan. Yang dimaksud dengan logika sebagaimana didefinisikan oleh William S.S ialah “pengkajian untuk berpikir secara sahih (valid).

Dalam logika ada dua macam yaitu logika induktif dan deduktif. Contoh menggunakan logika ini ialah model berpikir dengan silogisma, seperti contoh dibawah ini :

Silogisma
Premis mayor : semua manusia akhirnya mati
Premis minor : Amir manusia
Kesimpulan : Amir akhirnya akan mati

Sumber Pengetahuan

Sumber pengetahuan dalam dunia ini berawal dari sikap manusia yang meragukan setiap gejala yang ada di alam semesta ini. Manusia tidak mau menerima saja hal-hal yang ada termasuk nasib dirinya sendiri. Rene Descarte pernah berkata “DE OMNIBUS DUBITANDUM” yang mempunyai arti bahwa segala sesuatu harus diragukan. Persoalan mengenai kriteria untuk menetapkan kebenaran itu sulit dipercaya. Dari berbagai aliran maka muncullah pula berbagai kriteria kebenaran.

Kriteria Kebenaran

Salah satu kriteria kebenaran adalah adanya konsistensi dengan pernyataan terdahulu yang dianggap benar. Sebagai contoh ialah kasus penjumlahan angka-angka tersebut dibawah ini

3 + 5 = 8

4 + 4 = 8

6 + 2 = 8

Semua orang akan menganggap benar bahwa 3 + 5 = 8, maka pernyataan berikutnya bahwa 4 + 4 = 8 juga benar, karena konsisten dengan pernyataan sebelumnya.

Beberapa kriteria kebenaran diantaranya ialah

Teori Koherensi (Konsisten)

Yang dimaksud dengan teori koherensi ialah bahwa suatu pernyataan dianggap benar bila pernyataan itu bersifat koheren dan konsisten dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya yang dianggap benar. Contohnya ialah matematika yang bentuk penyusunannya, pembuktiannya berdasarkan teori koheren.

Teori Korespondensi (Pernyataan sesuai kenyataan)

Teori korespondensi dipelopori oleh Bertrand Russel. Dalam teori ini suatu pernyataan dianggap benar apabila materi pengetahuan yang dikandung berkorespondensi dengan objek yang dituju oleh pernyataan tersebut. Contohnya ialah apabila ada seorang yang mengatakan bahwa ibukota Inggris adalah London, maka pernyataan itu benar. Sedang apabila dia mengatakan bahwa ibukota Inggris adalah Jakarta, maka pernyataan itu salah; karena secara kenyataan ibukota Inggris adalah London bukan Jakarta.

Teori Pragmatis (Kegunaan di lapangan)

Tokoh utama dalam teori ini ialah Charles S Pierce. Teori pragmatis mengatakan bahwa kebenaran suatu pernyataan diukur dengan criteria apakah pernyataan tersebut bersifat fungsional dalam kehidupan praktis. Kriteria kebenaran didasarkan atas kegunaan teori tersebut. Disamping itu aliran ini percaya bahwa suatu teori tidak akan abadi, dalam jangka waktu tertentu itu dapat diubah dengan mengadakan revisi.

Ontologi (apa yang dikaji)

Ontologi ialah hakikat apa yang dikaji atau ilmunya itu sendiri. Seorang filosof yang bernama Democritus menerangkan prinsip-prinsip materialisme mengatakan sebagai berikut :

Hanya berdasarkan kebiasaan saja maka manis itu manis, panas itu panas, dingin itu dingin, warna itu warna. Artinya, objek penginderaan sering kita anggap nyata, padahal tidak demikian. Hanya atom dan kehampaan itulah yang bersifat nyata. Jadi istilah “manis, panas dan dingin” itu hanyalah merupakan terminology yang kita berikan kepada gejala yang ditangkap dengan pancaindera.

Ilmu merupakan pengetahuan yang mencoba menafsirkan alam semesta ini seperti adanya, oleh karena itu manusia dalam menggali ilmu tidak dapat terlepas dari gejala-gejala yang berada didalamnya. Dan sifat ilmu pengetahuan yang berfungsi membantu manusia dalam mememecahkan masalah tidak perlu memiliki kemutlakan seperti agama yang memberikan pedoman terhadap hal-hal yang paling hakiki dari kehidupan ini. Sekalipun demikian sampai tahap tertentu ilmu perlu memiliki keabsahan dalam melakukan generalisasi. Sebagai contoh, bagaimana kita mendefinisikan manusia, maka berbagai penegertianpun akan muncul pula.

Contoh : Siapakah manusia iu ? jawab ilmu ekonomi ialah makhluk ekonomi Sedang ilmu politik akan menjawab bahwa manusia ialah political animal dan dunia pendidikan akan mengatakan manusia ialah homo educandum.

Epistimologi (Cara mendapatkan kebenaran)

Yang dimaksud dengan epistimologi ialah bagaimana mendapatkan pengetahuan yang benar.

Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam mendapatkan pengetahuan ialah :

1. Batasan kajian ilmu : secara ontologis ilmu membatasi pada Pengkajian objek yang berada dalam lingkup manusia. tidak dapat mengkaji daerah yang bersifat transcendental (gaib/tidak nyata).

2. Cara menyusun pengetahuan : untuk mendapatkan pengetahuan menjadi ilmu diperlukan cara untuk menyusunnya yaitu dengan cara menggunakan metode ilmiah.

3. Diperlukan landasan yang sesuai dengan ontologis dan aksiologis ilmu itu sendiri

4. Penjelasan diarahkan pada deskripsi mengenai hubungan berbagai faktor yang terikat dalam suatu konstelasi penyebab timbulnya suatu gejala dan proses terjadinya.

5. Metode ilmiah harus bersifat sistematik dan eksplisit

6. Metode ilmiah tidak dapat diterapkan kepada pengetahuan yang tidak tergolong pada kelompok ilmu tersebut. (disiplin ilmu yang sama)

7. Ilmu mencoba mencari penjelasan mengenai alam dan menjadikan kesimpulan yang bersifat umum dan impersonal.

8. Karakteristik yang menonjol kerangka pemikiran teoritis :

a. Ilmu eksakta : deduktif, rasio, kuantitatif

b. Ilmu social : induktif, empiris, kualitatif

Beberapa Pengertian Dasar

Konsep :

Konsep adalah istilah dan definisi yang digunakan untuk menggambarkan gejala secara abstrak, contohnya seperti kejadian, keadaan, kelompok. Diharapkan peneliti mampu memformulasikan pemikirannya kedalam konsep secara jelas dalam kaitannya dengan penyederhanaan beberapa masalah yang berkaitan satu dengan yang lainnya.

Dalam dunia penelitian dikenal dua pengertian mengenai konsep, yaitu Pertama konsep yang jelas hubungannya dengan realita yang diwakili, contoh : meja, mobil dll nya Kedua konsep yang abstrak hubungannya dengan realitas yang diwakili, contoh : kecerdasan, kekerabatan, dll nya.

Konstruk :

Konstruk (construct) adalah suatu konsep yang diciptakan dan digunakan dengan kesengajaan dan kesadaran untuk tujuan-tujuan ilmiah tertentu.

Proposisi :

Proposisi adalah hubungan yang logis antara dua konsep. Contoh : dalam penilitian mengenai mobilitas penduduk, proposisinya berbunyi : “proses migrasi tenaga kerja ditentukan oleh upah“ (Harris dan Todaro).

Dalam penelitian sosial dikenal ada dua jenis proposisi; yang pertama aksioma atau postulat, yang kedua teorema. Aksioma ialah proposisi yang kebenarannya sudah tidak lagi dalam penelitian; sedang teorema ialah proposisi yag dideduksikan dari aksioma.

Teori :

Salah satu definisi mengenai teori ialah serangkaian asumsi, konsep, konstruk, definisi dan proposisi untuk menerangkan suatu fenomena secara sisitematis dengan cara merumuskan hubungan antar konsep (Kerlinger, FN)

Definisi lain mengatakan bahwa teori merupakan pengetahuan ilmiah yang mencakup penjelasan mengenai suatu faktor tertentu dari satu disiplin ilmu. Teori mempunyai beberapa karakteristik sebagai berikut;

a. harus konsisten dengan teori-teori sebelumnya yang memungkinkan tidak terjadinya kontraksi dalam teori keilmuan secara keseluruhan.

b. harus cocok dengan fakta-fakta empiris, sebab teori yang bagaimanapun konsistennya apabila tidak didukung oleh pengujian empiris tidak dapat diterima kebenarannya secara ilmiah.

c. Ada empat cara teori dibangun menurut Melvin Marx :

Model Based Theory,

Berdasarkan teori pertama teori berkembang adanya jaringan konseptual yang kemudian diuji secara empiris. Validitas substansi terletak pada tahap-tahap awal dalam pengujian model, yaitu apakah model bekerja sesuai dengan kebutuhan peneliti.

Teori deduktif,

Teori kedua mengatakan suatu teori dikembangkan melalui proses deduksi. Deduksi merupakan bentuk inferensi yang menurunkan sebuah kesimpulan yang didapatkan melalui penggunaan logika pikiran dengan disertai premis-premis sebagai bukti. Teori deduktif merupakan suatu teori yang menekankan pada struktur konseptual dan validitas substansialnya. Teori ini juga berfokus pada pembangunan konsep sebelum pengujian empiris.

Teori induktif,
Teori ketiga menekankan pada pendekatan empiris untuk mendapatkan generalisasi. Penarikan kesimpulan didasarkan pada observasi realitas yang berulang-ulang dan mengembangkan pernyataan-pernyataan yang berfungsi untuk menerangkan serta menjelaskan keberadaan pernyataan-pernyataan tersebut.

Teori fungsional

Teori keempat mengatakan suatu teori dikembangkan melalui interaksi yang berkelanjutan antara proses konseptualisasi dan pengujian empiris yang mengikutinya. Perbedaan utama dengan teori deduktif terletak pada proses terjadinya konseptualisasi pada awal pengembangan teori. Pada teori deduktif rancangan hubungan konspetualnya diformulasikan dan pengujian dilakukan pada tahap akhir pengembangan teori.

Logika Ilmiah :
Gabungan antara logika deduktif dan induktif dimana rasionalisme dan empirisme bersama-sama dalam suatu system dengan mekanisme korektif.

Hipotesis :

Hipotesis adalah jawaban sementara terhadap permasalahan yang sedang diteliti. Hipotesis merupakan saran penelitian ilmiah karena hipotesis adalah instrumen kerja dari suatu teori dan bersifat spesifik yang siap diuji secara empiris. Dalam merumuskan hipotesis pernyataannya harus merupakan pencerminan adanya hubungan antara dua variabel atau lebih.

Hipotesis yang bersifat relasional ataupun deskriptif disebut hipotesis kerja (Hk), sedang untuk pengujian statistik dibutuhkan hipotesis pembanding hipotesis kerja dan biasanya merupakan formulasi terbalik dari hipotesis kerja. Hipotesis semacam itu disebut hipotesis nol (Ho).

Variabel :

Variabel ialah konstruk-konstruk atau sifat-sifat yang sedang dipelajari. Contoh : jenis kelamin, kelas sosial, mobilitas pekerjaan dll nya. Ada lima tipe variable yang dikenal dalam penelitian, yaitu: variable bebas (independent), variable tergantung (dependent), variable perantara (moderate), variable pengganggu (intervening) dan variable kontrol (control)

Jika dipandang dari sisi skala pengukurannya maka ada empat macam variabel: nominal, ordinal, interval dan ratio.

Definisi Operasional :
Yang dimaksud dengan definisi operasional ialah spesifikasi kegiatan peneliti dalam mengukur atau memanipulasi suatu variabel.

Definisi operasional memberi batasan atau arti suatu variabel dengan merinci hal yang harus dikerjakan oleh peneliti untuk mengukur variabel tersebut.

Kerangka Ilmiah

1) Perumusan masalah : pertanyaan tentang obyek empiris yang jelas batas-batasnya serta dapat diidentifikasikan faktor- faktor yang terkait didalamnya.

2) Penyusunan kerangka dalam pengajuan hipotesis:

a. Menjelaskan hubungan anatara factor yang terkait

b. Disusun secara rasional

c. Didasarkan pada premis-premis ilmiah

d. Memperhatikan faktor-faktor empiris yang cocok

3) Pengujian hipotesis :

mencari fakta-fakta yang mendukung hipotesis

4) Penarikan kesimpulan

Sarana Berpikir Ilmiah

bahasa

Yang dimaksud bahasa disini ialah bahasa ilmiah yang merupakan sarana komunikasi ilmiah yang ditujukan untuk menyampaikan informasi yang berupa pengetahuan, syarat-syarat :

· bebas dari unsur emotif

· reproduktif

· obyektif

· eksplisit

matematika

Matematika adalah pengetahuan sebagai sarana berpikir deduktif sifat

· jelas, spesifik dan informatif

· tidak menimbulkan konotasi emosional

· kuantitatif

statistika

statistika ialah pengetahuan sebagai sarana berpikir induktif sifat :

· dapat digunakan untuk menguji tingkat ketelitian

· untuk menentukan hubungan kausalitas antar factor terkait

Aksiologi (nilai Guna Ilmu)

Aksiologi ialah menyangkut masalah nilai kegunaan ilmu. Ilmu tidak bebas nilai. Artinya pada tahap-tahap tertentu kadang ilmu harus disesuaikan dengan nilai-nilai budaya dan moral suatu masyarakat; sehingga nilai kegunaan ilmu tersebut dapat dirasakan oleh masyarakat dalam usahanya meningkatkan kesejahteraan bersama, bukan sebaliknya malahan menimbulkan bencana.

Contoh kasus : penelitian di Taiwan

Dampak kemajuan teknologi moderen telah diteliti dengan model penelitian yang terintegrasi, khususnya terhadap masyarakat dan budaya. Hasil kemajuan teknologi di Taiwan telah membawa negara itu mengalami “keajaiban ekonomi”, sekalipun demikian hasilnya tidak selalu positif. Kemajuan tersebut membawa banyak perubahan kebiasaan, tradisi dan budaya di Taiwan. Berdasarkan penelitian tersebut terdapat lima hal yang telah berubah selama periode perkembangan teknologi di negara tersebut yaitu :

Perubahan-perubahan dalam struktur industri berupa : meningkatnya sektor jasa dan peranan teknologi canggih pada bidang manufaktur.
Perubahan-perubahan dalam sruktur pasar berupa : pasar
Menjadi semakin terbatas, sedang pengelolaan bisnis menjadi semakin beragam.
Perubahan-perubahan dalam struktur kepegawaian berupa : tenaga professional yang telah terlatih dalam bidang teknik menjadi semakin meningkat.
Perubahan-perubahan struktur masyarakat berupa : Meningkatnya jumlah penduduk usia tua dan konsep “keluarga besar” dalam proses diganti dengan konsep “keluarga kecil”.

Perubahan-perubahan dalam nilai-nilai sosial berupa : penghargaan yang lebih tinggi terhadap keuntungan secara ekonomis daripada masalah-masalah keadilan, meningkatnya kecenderungan masyarakat untuk bersikap individualistik.

sumber : http://elqorni.wordpress.com/2009/03/21/proses-lahirnya-ilmu/

KONSEP DASAR PERILAKU KEORGANISASIAN

Pengertian
Organisasi adalah wadah berkumpulnya sekelompok orang yang memiliki tujuan bersama, kemudian mengorganisasikan diri dengan bekerja bersama-sama dan merealisasikan tujuanya.
Organisasi adalah wadah yang memungkinkan masayarakat dapat meraih hasil yang sebelumnya belum dapat dicapai oleh individu secara sendiri-sendiri. (James L. Gibson, 1986).

Manajemen organisasi adalah strategi pengelolaan lembaga untuk mencapai tujuan
organisasi yang efektif dan efesien.
Perilaku berorganisasi meliputi 3 ranah utama komponen yaitu :
Kognitif
Afektif
Psikomotor

Komponen Organisasi
Komponen penting organisasi meliputi :
•Tujuan
Merupakan sesuatu yang akan di capai dalam rentang waktu tertentu, Tujuan berdasarkan rentang dan cakupanya dapat di bagi dala beberapa karakteristik antara lain :
Tujuan Jangka panjang
Tujuan Jangka menengah dan
Tujuan Jangka pendek

•Struktur
Struktur Organisasi sangat penting untuk dapat dipahami oleh semua komponen dalam rangka menciptakan system kerja yang efektif dan efesien.

•Sistem
Terbagi dalam komponen penyusun yang saling berikatan yaitu :
Input
Proses
Output
Feedback

Organisasi Profesi
Asosiasi profesi, mengingat kembali kalimat William Smith, sebenarnya tak lain dari bentuk formal pertemanan antara orang-orang seprofesi. Karena bentuknya yang formal, maka asosiasi profesi biasanya mempunyai aturan-aturan, kode etik, syarat keanggotaan, bahkan yang lebih serius lagi mempunyai dewan kehormatan atau dewan pertimbangan yang bertugas untuk menegakkan disiplin organisasi.

Apa keuntungan kita untuk bergabung dalam satu asosiasi profesi? Jelas bahwa keuntungannya besar, terutama kalau anda adalah seorang pemula. Manfaat yang paling minimal adalah bahwa anda secara formal diakui sebagai salah satu professional pada bidang tertentu. Walaupun baru masuk kuliah, tetapi anda telah bergabung dalam satu asosiasi profesi atau apapun yang lain, minimal secara formal anda akan diakui sebagai seorang jurnalis, seorang karateka, seorang pecinta alam, seorang pemain basket dll. Apalagi kalau untuk menjadi anggota asosiasi itu anda harus memenuhi sekian syarat, termasuk di antaranya ujian kecakapan profesi. Dengan demikian baik di antara teman-teman seprofesi maupun di hadapan masyarakat luas, anda akan diakui sebagai professional bidang tersebut.
Tetapi yang tak kalah penting sebenarnya justru di luar sisi formal keanggotaan itu sendiri. Yang lebih penting adalah bahwa anda masuk dalam kelompok professional bidang tertentu, yang mempunyai kebiasaan-kebiasaannya sendiri, cara berpikirnya sendiri, cara berpakaiannya sendiri, cara hidupnya sendiri dan lain-lain. Dengan bergaul intens dengan mereka, akan sangat mudah bagi anda untuk melakukan penyesuaian-penyesuaian sesuai dengan tuntutan profesi anda. Ingat, profesi adalah hidup anda sendiri, dengan seluruh seginya, baik menyangkut syarat-syarat keahlian maupun syarat-syarat non keahlian yang oleh masyarakat (pasar) dianggap penting. Dengan segala maaf, profesi juga menyangkut bagaimana anda berbicara, bagaimana anda berjalan, bagaimana anda berpakaian, bagaimana anda berdandan, bahkan juga aroma parfum anda.

KONSEP DASAR MANAJEMEN

Materi / Bahan Ajar

Fungsi-fungsi manajemen
Sampai sekarang belum ada kesepakatan baik diantara para praktisi maupun para teoritisi mengenai apa saja yang menjadi fungsi-fungsi atau tugas-tugas manajemen. Untuk pembahasan kita, baiklah kita ambil konsep paling sederhana yang diajukan oleh George R. Terry yang meliputi 4 buah fungsi manajemen, yaitu:
Perencanaan (Planning)
Pengorganisasian (Organizing)
Penggerakkan (Actuating)
Pengawasan (Controlling)

Ad.1. Perencanaan (Planning)
Secara sederhana perencanaan dapat dirumuskan sebagai penentuan serangkaian tindakan untuk mencapai sesuatu hasil yang diinginkan. Tetapi biasanya secara lebih detail perencanaan dirumuskan sebagai penetapan atau penyusunan langkah-langkah sebagai jawaban atas pertanyaan-pertanyaan berikut: apa yang harus dicapai, bilamana hal tersebut harus dicapai, dimana hal itu harus dicapai, bagaimana hal itu harus dicapai, siapa yang bertanggung jawab atas pencapaian tujuan, dan mengapa sesuatu hal harus dicapai.

Di dalam bahasa Inggris perencanaan (planning) dirumuskan sebagai tindakan yang harus dilakukan dalam menjawab 6 buah pertanyaan yang lazim dikenal sebagai 5 W + 1 H, yaitu:
a. Tindakan apa yang harus dikerjakan (WHAT)
b. Apakah sebabnya tindakan itu dikerjakan (WHY)
c. Dimanakah tindakan itu akan dilakukan (WHERE)
d. Bilamana tindakan itu dikerjakan (WHEN)
e. Siapa yang akan mengerjakan tindakan itu (WHO)
f. Bagaimana pelaksanaannya (HOW)

Dari serentetan pertanyaan tersebut di atas, dua masalah pokok adalah ‘What’ yang mempersoalkan tujuan yang hendak dicapai dan ‘How’ yaitu bagaimana metode atau cara untuk mencpai tujuan tersebut. Setelah kedua pertanyaan ini terjawab, maka barulah diteruskan dengan tindakan-tindakan yang lain.
1.1. Pedoman Perencanaan

Karena sebuah rencana dibuat untuk kemudian dilaksanakan, maka penyusunannya harus mengingat beberapa patokan atau pedoman utama, yakni:
Kemampuan
Kondisi dan situasi
Tanggung jawab
Kerjasama

1.1.1. Kemampuan
Perencanaan harus disesuaikan dengan kemampuan yang ada: sumber-sumber yang tersedia, kamampuan tenaga pelaksana, sumber keuangan, bahan-bahan yang dimiliki, dan sebagainya. Sebuah rencana yang dibuat tanpa mengingat kemampuan untuk mencapainya, maka mudah kandas di tengah jalan.

1.1.2. Kondisi dan Situasi
Kondisi dan situasi masyarakat di mana sebuah usaha akan dilakukan perlu juga menjadi pertimbangan. Termasuk dalam hal ini adalah kondisi sosial, ekonomi, budaya, dan sebagainya. Misalnya kemampuan daya beli masyarakat dan kesenangan terhadap barang yang akan diproduksi.

1.1.3. Tanggung Jawab
Perlu pula dipertimbangkan besar kecilnya tanggung jawab yang akan dipikul oleh masing-masing petugas, baik terhadap organisasi maupun terhadap masyarakat (tanggung jawab sosial). Apakah usaha tidak akan mengganggu kenyamanan masyarakat dan lingkungan.

1.1.4. Kerjasama
Yang juga harus dipertimbangkan adalah gambaran akan mudah tidaknya terjadi kerjasama yang baik antara orang-orang yang menduduki bagian-bagian organisasi yang akan dijalankan.

1.2. Sifat Perencanaan
Kecuali beberapa faktor yang harus menjadi pertimbangan dalam membuat perencanaan, maka sebuah rencana yang baik harus memiliki sifat-sifat:

Rasional, artinya rencana dibuat berdasarkan pemikiran dan perhitungan yang masak, sesuai dengan kemampuan yang ada.

Luwes, atau fleksibel, artinya rencana dapat mudah menyesuaikan diri dengan perubahan/perkembangan situasi dan kondisi yang mungkin terjadi.

Di samping itu rencana harus dibuat secara terus-menerus dan berkesinambungan sesuai dengan perubahan dan perkembangan masa. Artinya pada setiap jangka waktu tertentu perlu dievaluasi dan diperbaiki.

1.3. Macam-macam Perencanaan
Suatu perencanaan dapat dilihat dari 4 sudut pandangan, yaitu:
Tingkatan manajemen
Jangka waktu
Daerah berlakunya
Materi perencanaan

1.3.1. Tingkatan Manajemen
Dari sudut tingakatan manajemen, kita mengenal:

1.3.1.1. Perencanaan Kebijaksanaan Dasar (policy Planning atau Administrative Planning), adalah perencanaan yang memuat tentang garis besar kebijaksanaan (policy) dari seluruh kegiatan organisasi. Perencanaan kebijaksanaan dasar ini dibuat oleh pimpinan pada tingkatan top management atau manajemen puncak.

1.3.1.2. Perencanaan Program (Program Planning atau Managerial Planning), adalah perencanaan untuk menterjemahkan kebijaksanaan dasar tersebut di atas ke dalam program-program untuk dilaksanakan. Perencanaan program disusun oleh pimpinan atau manajemen menengah.

1.3.1.3. Perencanaan Operasional (Operational Planning), adalah perencanaan pada tingkat terakhir yang dibuat oleh pimpinan tingkat rendah atau tingkat pertama untuk melaksanakan program kerja di lapangan.

1.3.2. Jangka waktu
Dari sudut masa berlakunya sebuah rencana, atau berdasarkan tahapannya, kita mengenal:

1.3.2.1. Perencanaan jangka pendek, yang biasanya berlaku dalam satu, dua, tiga, empat, dan lima tahun.
1.3.2.2. Perencanaan jangka panjang, yang biasanya dibuat untuk jangka waktu 10 tahun atau lebih.
1.3.2.3. Perencanaan tahunan, yang dibuat untuk satu tahun dan merupakan program pelaksanaan dari pada perencanaan jangka pendek.

1.3.3. Daerah berlakunya
Berdasarkan daerah berlakunya, kita mengenal perencanaan yang dibuat secara internasional (antar bangsa), nasional (di dalam sebuah negara), regional (antar wilayah), dan lokal (daerah). Di dalam tata pemerintahan di Indonesia, kita mengenal urutan sebagai berikut: nasional (pusat), propinsi, kabupaten/kota, kecamatan, kelurahan, dan sebagainya.

1.3.4. Materi Perencanaan
Berdasarkan materi perencanaan, kita mengenal bidang-bidang seperti: perencanaan keamanan dan ketertiban, pendidikan, industri, kebudayaan, perdagangan, keuangan, tata kota, dan sebagainya. Yang juga termasuk di dalam pembuatan rencana, tetapi adakalanya dipisahkan menjadi bab tersendiri adalah masalah-masalah penyusunan budget (biaya), standar, dan program atau acara kerja.
Sehingga secara lebih luas lagi sesungguhnya perencanaan dapat dirumuskan sebagai penetapan tujuan, kebijaksanaan dasar, prosedur, budget, standar, dan program dari suatu organisasi. Adapun kegiatannya meliputi: menetapkan peraturan-peraturan dan pedoman-pedoman pelaksanaan tugas, menetapkan biaya dan pemasukan yang diharapkan serta rangkaian tindakan yang akan dilakukan di masa depan.

Ad.2. Pengorganisasian (Organizing)

1. Arti Organisasi
Organisasi berasal dari bahasa Yunani Organon atau dalam bahasa Latin organum yang artinya alat, bagian atau anggota badan. Dari berbagai macam batasan organisasi dapat disarikan adanya dua pengertian, yaitu pertama rumusan J.D. Mooney yang menyatakan organisasi sebagai perserikatan manusia untuk mencapai tujuan bersama, dan kedua batasan C.I. Barnard yang menyebutkan organisasi sebagai sistem dari usaha-usaha kerjasama yang dilakukan oleh dua orang atau lebih. Dengan demikian organisasi dapat dibedakan menjadi dua macam pengertian: sebagai alat dan sebagai fungsi atau organisasi sebagai manajemen. Dengan perkataan lain, berdasarkan sifatnya organisasi dapat dibedakan antara organisasi statis dan organisasi dinamis.

Organisasi statis adalah gambaran secara skematis tentang hubungan kerjasama antara orang-orang yang terdapat dalam suatu usaha untuk mencapai sesuatu tujuan. Sedangkan organisasi dinamis adalah setiap kegiatan yang berhubungan dengan usaha merencanakan skema organis, mengadakan departemenisasi, menetapkan wewenang, tugas, dan tanggung jawab dari orang-orang di dalam suatu badan/organisasi. Ringkasnya organisasi dinamis adalah kegiatan-kegiatan mengorganisir yaitu kegiatan menetapkan susunan organisasi suatu usaha.

2. Hubungan antara orang-orang di dalam suatu organisasi
Berdasarkan hubungan antara orang-orang yang terdapat di dalam suatu organisasi dikenal pula adanya organisasi formal , yaitu sistem kerjasama yang dilakukan oleh dua orang atau lebih dan dikoordinasikan secara sadar untuk mencapai tujuan tertentu; dan organisasi informal yang merupakan kempulan hubungan antara pribadi-pribadi tanpa tujuan bersama yang disadari. Meskipun pada akhirnya hubungan-hubungan tak disadari tersebut ternyata dilakukan untuk mencapai tujuan bersama.
Dengan demikian seperti halnya administrasi, maka ada tiga unsur utama dalam organisasi, yaitu:
adanya sekelompok orang
adanya hubungan kerjasama antara orang-orang tersebut
adanya tujuan bersama yang ingin dicapai

3. Dasar-dasar Organisasi
Tugas pokok seorang manager antara lain adalah menyusun organisasi sedemikian rupa sehingga orang-orang dapat bekerja sama dengan efektif dalam rangka mencapai tujuan. Oleh karena itu seringkali kita dengar ungkapan bahwa seorang manager atau pemimpin yang baik adalah seorang organisator yang baik pula.

Adapun prinsip-prinsip atau dasar-dasar organisasi tersebut adalah:
Tujuan yang jelas
Kesatuan komando
Pembagian kerja
Pelimpahan Wewenang dan Tanggung Jawab

4. Bentuk-bentuk atau Tipe-tipe Organisasi

Ada 4 macam bentuk atau tipe organisasi yang sering kita temui di dalam praktik:
1. Organisasi Lini (Garis)

Organisasi Lini adalah bentuk organisasi di mana pimpinan dipandang sebagai sumber wewenang tunggal. Garis komandonya kuat dan hanya satu, yaitu dari atas ke bawah. Dengan demikian segala keputusan kebijaksanaan dan tanggung jawab ada pada satu tangan. Bentuk ini biasanya dipakai untuk organisasi yang orang-orangnya sedikit sehingga tugas-tugas pekerjaan yang ada di dalamnya juga tidak terlampau kompleks. (contoh: Struktur Organisasi Lini)
2. Organisasi Lini dan Staf

Organisasi Lini dan Staf adalah organisasi di mana pimpinan dibantu oleh sekelompok staf, yang mempunyai wewenang fungsional memberikan bantuan pemikiran/saran-saran. Sedangkan wewenang komando tetap berada di tangan pimpinan atau kelompok lini, yang melaksanakan tugas-tugas pokok dalam organisasi dan yang berhak mengambil keputusan terakhir. Bentuk ini lebih sesuai untuk organisasi yang besar dengan kegiatan yang banyak dan kompleks dan melibatkan banyak orang. (contoh: Struktur Organisasi Lini dan Staf).
3. Organisasi Fungsional

Organisasi Fungsional adalah organisasi di mana orang-orang digolongkan menurut fungsi atau pekerjaan yang mereka lakukan. Dalam bentuk organisasi fungsional bawahan mendapat perintah dari beberapa kepala bagian yang masing-masing ahli dalam bidangnya. (contoh: Struktur Organisasi Fungsional)
4. Organisasi Panitia

Organisasi Panitia adalah bentuk organisasi yang pimpinannya bersifat kolegial atau dewan, artinya terdiri dari beberapa orang. Segala keputusan diambil dan dipertanggung jawabkan secara bersama-sama. (contoh: Struktur Organisasi Panitia).

Teknik Penguasaan Lapangan Dalam Organisasi

Dalam ilmu pengkondisian lapangan ini, kita akan mempelajari dan melatih mengenai bagaimana teknik mengendalikan massa di lapangan sehingga massa bereaksi sesuai dengan apa yang kita inginkan dan agar informasi yang hendak kita sampaikan dapat diterima massa secara optimal.

Mengendalikan massa berbeda jauh tingkat kesulitannya dibandingkan jika mengendalikan kelompok orang yang berjumlah kecil. Tetapi bagi seorang tenaga professional lapangan, mengendalikan massa adalah hal yang mudah jika kita menguasai ilmunya.

Aplikasi ilmu ini dapat kita terapkan pada :
Kegiatan pengorganisasian kerja massal (kerja bakti, persiapan kegiatan dalam waktu singkat, dll)
Kegiatan yang bersifat kolosal (Tadzabur alam, rihlah, tabligh akbar, kamping dll)
Kegiatan kaderisasi

Persiapan fisik

Persiapan “fisik” yang kiranya perlu dipersiapkan :
Penampilan fisik dan kharisma (pancaran jiwa) terutama sewaktu penampilan pertama, karena dapat menimbulkan kesan pertama
“Dekorasi” seperti spanduk, poster, dll. Kesemuanya bertujuan untuk membangkitkan minat massa untuk memperhatikan dan sebagai alat bantu penyampaian informasi
Ada kalanya dekorasi juga diwujudkan dalam hal yang kreatif seperti boneka, drama, dll.
Alat komunikasi yang memadai (megaphone, sound system, dll)

Pengumpulan Massa dan Teknik Pengkondisian Awal

Tugas pertama orang-orang lapangan adalah :
Mengumpulkan massa

Massa tentu belum ada di tempat yang kita inginkan dan walau ada di tempat yang kita inginkan, belum tentu mereka berada dalam satu forum dengan kita. Tugas awal kita adalah menyatukan mereka dengan kita.

Teknik yang dapat kita gunakan adalah ajakan, perintah ataupun paksaan.

Pengumpulan ini dapat dilakukan oleh :
DanLap : Dia berada di sekitar pusat lokasi dan mengajak massa secara “ammah” untuk mengikuti kegiatan ini. Dia biasanya menggunakan alat komunikasi yang paling baik.
Wakil-wakil DanLap : Mereka bergerak mendukung tujuan DanLap. Mereka dapat menyebar ke lokasi-lokasi yang ada disekitar tempat acara (terutama lokasi yang tidak mendengar seruan DanLap ini). Tujuan penyebaran mereka untuk menginformasikan adanya acara ini. Mereka pun melakukan ajakan secara “ammah”
“Tim Lapangan” : Biasanya jumlahnya banyak, dan merekalah yang mengajak massa bergabung secara fardiyah. Misalnya dengan ajakan langsung, menyebarkan lef let, mengibarkan spanduk, dll.

Pengkondisian lapangan ini juga dapat dilakukan jauh-jauh waktu sebelum acara digelar, seperti jika acara digelar siang, maka pagi-paginya telah dilaksanakan publikasi.
Mengkondisikan massa

Massa perlu dikondisikan agar :
Massa “panas” atau bergairah
Massa siap menerima informasi
Massa (lingkungan) mendukung proses penyampaian informasi

Cara pengkondisian massa : ORASI, yel-yel, lagu, penggerakan “tim lapangan”

Kepanitiaan dalam Organisasi

Pengertian panitia menurut bahasa adalah sekumpulan beberapa orang yang diberi tugas mengurus sesuatu pekerjaan.

Urutan kerja kepanitiaan suatu kegiatan/program adalah :
Munculnya ide/rencana kegiatan/program
Rapat awal untuk menyikapi ide/rencana tersebut
Pengurusan perizinan pelaksanaan kegiatan
Persiapan kegiatan
Pelaksanaan kegiatan
Evaluasi

1. Munculnya ide/rencana/sebab kegiatan/program

(Bagi officers, ide seharusnya telah diturunkan oversight.)

Sebab munculnya ide/rencana suatu kegiatan dapat berupa :
Karena tugas (melaksanakan Idul Adha)
Karena adanya moment/kesempatan.
Bentuk telah terdefinisi tetapi waktu belum terdefinisi (Ingin melaksanakan Tabligh Akbar)
Waktu telah terdefinisi tetapi bentuk belum terdefinisi (Mengisi liburan panjang)
Karena adanya tujuan yang ingin dicapai
Karena program kerja,

Kegiatan yang dilaksanakan sebaiknya :
bervariasi dan menarik

Orang akan bosan menghadiri/mengikuti kegiatan yang monoton dan tidak menarik
frekuensinya relatif sering
secara terencana mengadakan kegiatan-kegiatan yang bersifat kolosal dan partisipatif

[Agar ide-ide kegiatan dapat muncul dan dapat diwujudkan, maka markas memiliki nilai yang penting. Markas harus benar-benar menjadi tempat berkumpul sehari-hari setiap ROHANI. Hal ini karena:
Ide dapat segera ditindaklanjuti (disetujui, direncanakan, dll)

Proses pelahiran ide “dari markas” ini akan memegang peran penting tatkala kita telah go Public.]

2. Rapat awal untuk menyikapi ide/rencana tersebut

Rapat awal adalah menyiapkan ide-ide pokok kegiatan

URUTAN TEKNIK RAPAT AWAL :

a. Persiapan rapat awal, intinya adalah mengusahakan agar seluruh anggota dapat hadir dalam rapat ini. Persiapannya mencakup :
penentuan waktu dan tempat rapat.
mengundang seluruh anggota yang terkait untuk hadir dalam rapat.

Keunggulan menggunakan surat :
mengantisipasi kelupaan orang yang diundang
beberapa orang akan merasakan pentingnya rapat itu jika diundang secara resmi dengan surat
jika perlu dapat saja mengadakan hal menarik agar peserta rapat termotivasi untuk datang

Catatan : jangan sampai melupakan seorang pun !!
Persiapan rapat “serumit” ini perlu kita pahami saat kita memimpin jumlah pengurus yang besar (saat go public)

b. Pelaksanaan rapat, hal-hal yang dibahas dalam rapat awal adalah:
Penentuan deskripsi kegiatan (mencakup bentuk, waktu dan tempat kegiatan yang belum terdefinisi)

Cara yang dapat digunakan :

dengan diskusi (usul-usul)
dengan cara Brain Storming. (Lihat tip-tip BS)

Setelah kegiatan terdeskripsi perlu dilakukan SWOT. Hasil SWOT ini akan membantu memutuskan apakah kegiatan ini baik untuk dilaksanakan atau tidak.

PERHATIKAN : Program dan sasaran dari kegiatan ini harus jelas dan terkomunikasi kepada seluruh anggota yang terkait.
Penentuan kepanitiaan,

Yang pertamakali dipilih dalam kepanitiaan ini adalah ketua panitia.

Seorang ketua panitia hendaknya minimal :
Memiliki pengetahuan yang cukup akan kegiatan yang akan dilaksanakannya
Bersikap adil(atas amanat yang diterimanya) dalam memberikan tugas.

Sedangkan anggota yang memilih hendaknya :
Memilih ketua tersebut dengan serius.
Bersedia taat kepada ketua tersebut, baik dikala mudah maupun dikala sulit.

Dalam struktur kepanitiaan, yang selalu ada adalah : Ketua, sekertaris dan bendahara.

Jika hendak mengadakan wakil ketua, sekertaris I, bendahara I, dsb., hal ini terserah panitia yang juga disesuaikan dengan keadaan.

Adapun seksi-seksi yang diadakan, disesuaikan dengan keadaan juga dan jenis kegiatan yang akan dilakukan. Seksi-seksi yang diadakan dapat berupa seksi humas, dana usaha, acara, sarana prasarana, perizinan, transportasi, konsumsi, kebersihan, dekorasi, keamanan, publikasi, dokumentasi, dsb.

Yang perlu diperhatikan, hendaknya kepanitiaan ini bersifat padat karya.

Partisipasi seseorang dalam kegiatan suatu organisasi Insya Allah akan berakibat positif bagi tumbuhnya kepercayaan dan loyalitas orang tersebut akan organisasi itu.

Sistem komando (kontrol, evaluasi dan disiplin) seksi-seksi yang ada dapat berupa :
langsung kepada ketua
melalui koordinator

Jika SDM yang ada tidak mencukupi jumlah seksi-seksi yang ada, maka seseorang dapat saja menjabat lebih dari satu jabatan di kepanitiaan.

Walaupun telah ada ketua panitia, kepemimpinan tetap bersifat kolektif. Kesalahan seorang panitia akan ditanggung oleh seluruh panitia. Jangan selalu bergantung kepada ketua.

Pendeskripsian tugas, agar :

· Setiap orang mengerti & jelas akan tugasnya, agar :
akan mengurangi beban ketua
dapat bekerja mandiri
lebih memotivasi orang untuk berkreasi (otonomi)

· Setiap tugas terdelegasikan sehingga tidak ada tugas yang tidak terkerjakan karena lupa (tidak terdeteksi semenjak awal) atau tidak ada yang merasa bertanggung jawab.

Sebagai acuan pendeskripsian tugas panitia, harus diketahui terlebih dahulu hal-hal apa saja yang harus disiapkan guna berlangsungnya acara ini.

Pembuatan time schedule/daftar waktu kerja

Hal ini membantu evaluasi persiapan kegiatan. Selain itu panitia tidak perlu menunggu perintah ketua untuk bekerja karena telah mengetahui kapan saja ia harus bekerja.

Pedoman pembuatan time schedule dapat merujuk kepada hal-hal apa saja yang harus dilakukan pada tahap persiapan kegiatan.

Standar time schedule ROHANI :
Aktivitas
Waktu

I
II
III
IV

A

B

Penentuan anggaran kegiatan dan cara pemenuhannya.

Biasanya setiap seksi diminta untuk membuat anggaran dana yang dibutuhkan seksi tersebut.

c. Pasca Rapat

Hasil rapat perlu disosialisasikan kepada anggota lainnya yang tidak hadir sewaktu rapat. Hal ini berguna agar setiap anggota merasa ikut bertanggung jawab atas kegiatan ini.

3. Pengurusan perizinan kegiatan

Pengurusan perizinan dapat dibagi dua :

a. Perizinan dengan proposal

Akan sangat membantu dalam tahap perizinan ini jika sejak semula kita telah membina hubungan yang baik dengan pihak pemberi izin.

b. Perizinan dengan surat (dengan melampirkan proposal)

Perizinan dengan surat dilakukan jika dibutuhkan saja.

Perizinan dengan surat dilakukan misalnya untuk peminjaman ruangan atau prasarana, izin keramaian pada polwiltabes, dsb.

Kita memiliki beberapa kegiatan-kegiatan mendasar yang jika perizinannya gagal, kegiatan tersebut harus tetap dilaksanakan. Seperti dauroh dan training. Kegiatan-kegiatan ini adalah kegiatan mendasar ROHANI yang jika diizinkan kita jalankan dengan legal, jika tidak kita tetap laksanakan dengan istilah Under Ground Movement.

2. Persiapan kegiatan

Dalam tahap ini, setiap panitia melaksanakan tugasnya sesuai dengan deskripsi tugas dan time schedule yang telah disepakati sewaktu rapat awal.

Sering timbul masalah-masalah yang belum terantisipasi dalam rapat awal. Karena itu kebersamaan panitia dan evaluasi persiapan sangat penting dalam tahap ini.

Jalur komunikasi dan informasi antar sesama panitia pun cukup penting karena kemungkinan sesama panitia akan sulit bertemu karena memiliki kesibukan dalam tanggung jawabnya yang berbeda. (Mungkin sebuah buku komunikasi akan sangat bermanfaat)

Ketua harus senantiasa memonitor situasi dan mengevaluasi persiapan ini melalui sistem komando yang telah dipilihnya sewaktu rapat awal.

Evaluasi ini adalah baik evaluasi persiapan itu sendiri ataupun pemantauan ghirah panitia. Jika ghirah panitia menurun, maka ketua harus segera mengantisipasinya.

Untuk beberapa jenis kegiatan, perlu adanya technical meeting baik dengan sesama panitia ataupun dengan peserta tidak jauh sebelum pelaksanaan kegiatan untuk mematangkan pelaksaan kegiatan.

Karena dalam pelaksaan kegiatan kemungkinan besar koordinasi antar panitia agak sukar, maka technical meeting disini memainkan peranan yang penting. (Tetapi untuk kegiatan-kegiatan besar non-partisipatif, maka technical meeting adalah urusan teman-teman dari operation)

3. Pencarian Dana

Sumber-sumber dana :

Dana Usaha : (Alternatif yang pernah dikerjakan)
Penjualan baju
Penjualan soal-soal ujian
Penjualan koran bekas
Profit kegiatan

Sponsorship

Tip-tip pembuatan proposal : ringkas, unik (orang lebih tertarik membacanya daripada proposal lain), jelas, memastikan adanya prospek bagi yang terlibat didalamnya.
Arsip proposal apa saja
Penjelasan ikatan kerjasama
Komunikasi (duta pembawa proposal)

Arsip-arsip dalam proposal sponsorship :
Surat pengantar
Proposal
Pada lampiran terdapat ketentuan sponsorship
Surat tanda terima proposal
Surat perjanjian kerja sama

Donatusi
Kejelasan Proposal
Komunikasi (duta pembawa proposal)
Ada cinderamata
Kwitansi

Arsip-arsip dalam proposal donatusi :
Surat pengantar
Proposal
Pada lampiran terdapat ketentuan donatusi
Kwitansi
Cinderamata

Dana Pribadi

4. Pelaksanaan Kegiatan

Untuk kegiatan-kegiatan tertentu, pelaksanaan menjadi tanggung jawab Operation.

5. Evaluasi

Evaluasi berguna untuk mengetahui kekurangan dan kelebihan sesuatu pekerjaan sehingga dengan demikian dapat ditentukan tindakan selanjutnya bagi suatu tujuan.
Bagi angkatan pelaksananya :
Untuk mempelajari kekurangan yang terjadi
agar kelak tidak mengulangi kekurangan yang serupa
dan dapat mengusahakan agar kegiatan yang mendatang menjadi lebih baik
Bagi angkatan berikutnya :
Belajar dari pengalaman angkatan sebelumnya
Sehingga perbaikan yang dilakukan tidak mulai lagi dari nol

Hal ini dapat terwujudkan hanya jika ada di ROHANI ini suatu sistem evaluasi kegiatan yang rapi yaitu dalam bentuk laporan kegiatan yang terarsipkan.

Hasil evaluasi hendaknya diarsipkan dalam bentuk laporan kegiatan yang sistematis.

Evaluasi disini mencakup evaluasi tahapan persiapan kegiatan dan pelaksanaan kegiatan dengan evaluasi tiap tahapan kurang lebih terdiri dari:
Deskripsi pelaksanaan tahapan tersebut
hasil-hasil dari tahapan tersebut
Kekurangan, kesalahan, hambatan atau masalah yang terjadi
Saran bagi kegiatan selanjutnnya

Administrasi, Kesekretariatan, dan keuangan

Prinsip administrasi kesekretariatan adalah :
Sederhana
Jelas
Fleksibel
Satu kesatuan / komando
Praktis

Fungsi dasar administrasi kesekretariatan :
Merumuskan kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan informasi
Pengendalian informasi
Penggunaan teknologi

Beberapa Sistem Administrasi :

A. PROPOSAL

Untuk :
bahan pertimbangan bagi yang berwenang
pengajuan bantuan
landasan kerja
§ barometer keberhasilan

Proposal bersinonim artinya dengan suggestion (saran, usul atau nasehat), offer (penawaran), application (permintaan, lamaran), tender (penawaran, pendaftaran), plan (rencana).

BAB-BAB STANDAR PROPOSAL PERIZINAN :

I. Pendahuluan

II. Dasar pemikiran, Dasar pelaksanaan

Dasar pemikiran berisikan point-point latar belakang berdasarkan hasil pemikiran pelaksana mengapa kegiatan ini diajukan

Dasar pelaksanaan berisikan point-point dasar hukum sebagai landasan pelaksanaan kegiatan ini

III. Maksud dan tujuan

IV. Deskripsi/rencana kegiatan

Berisikan teknis-teknis pelaksanaan kegiatan. Seperti nama kegiatan, tema, waktu, tempat, penyelenggara, peserta, materi, bentuk kegiatan, acara, dll

V. Susunan kepanitiaan

VI. Anggaran biaya (sumber pemasukan)

VII. Penutup

VIII. Format tanda tangan

Aturan format tanda tangan :

(1) yang disebelah kanan kedudukannya(jabatannya) lebih tinggi dari yang disebelah kiri

(2) yang disebelah bawah kedudukannya lebih tinggi dari yang disebelah atas

(3) Cap disebelah kanan atas (bukan ditengah atau dikiri)

IX. Lampiran

PROPOSAL ANALISA USULAN KEGIATAN (Versi ROHANI-554)
I. Pendahuluan
II. Dasar pemikiran [kondisi objektif, kondisi ideal]
III. Tujuan
IV. Sasaran
V. Target segmen objek
VI. Deskripsi pelaksanaan (waktu, tempat, materi, bentuk acara)
VII. Pelaksana
VIII. Kriteria keberhasilan
IX. Anggaran dana
X. Alternatif sumber dana

B. SURAT MENYURAT

Kegiatan penanganan surat adalah kegiatan yang dimulai dari penerimaan surat masuk maupun surat keluar, pencatatan, pemrosesan sampai dengan pengiriman dan penyimpanan arsip.

Semua surat masuk maupun surat keluar harus dicatat untuk memudahkan pengendalian/penemuan kembali apabila sewaktu-waktu diperlukan.

Pengertian surat

Surat adalah sarana komunikasi tertulis untuk menyampaikan informasi dari satu pihak ke pihak lain

Fungsi surat

Sebagai sarana komunikasi, surat juga berfungsi sebagai :
Wakil dari pengirim/penulis
Bahan bukti tertulis, misalnya surat perjanjian, bukti histories, dsb
Pedoman pengambilan tindak lanjut/keputusan
Alat mengingat, misalnya suratyang sudah diarsip
Alat pengukur kegiatan organisasi/instansi
Sarana memperpendek jarak (fungsi abstrak)

Jenis surat :
Memo
Surat pengantar
Surat keputusan
Surat edaran
Surat undangan
Surat tugas
Surat kuasa
Surat pengumuman
Surat pernyataan
Surat keterangan
Berita acara

Sifat dan derajat surat menurut sifatnya dapat dibedakan menjadi :
Surat sangat rahasia, yaitu surat yang informasinya memerlukan tingkat pengamanan yang tinggi dan hanya boleh diketahui oleh pejabat yang berhak menerimanya
Surat rahasia, yaitu surat yang informasinya memerlukan tingkat pengamanan yang tinggi, yang erat hubungannya dengan keamanan kedinasan dna hanya boleh diketahui oleh pejabat yang berwenang atau yang ditunjuk
Surat terbatas, yaitu surat yang informasinya membutuhkan pengamanan yang erat hubungannya dengan tugas khusus kedinasan dan hanya boleh diketahui oleh pejabat yang berwenang atau yang ditunjuk
Surat biasa, yaitu surat yang tidak memerlukan pengamanan khusus

Salah satu ciri surat rahasia adalah bersampul/amplop rangkap

Fungsi arsip dapat digolongkan menjadi dua golongan, yaitu :

1. Arsip yang dinamis adalah arsip yang dipergunakan secara langsung dalam perencanaan, pelaksanaan, penyelenggaraan kegiatan pada umumnya atau dalam penyelenggaraan ketatausahaan. Arsip ini digolongkan menjadi :

Arsip aktif, yaitu arsip yang masih dipergunakan terus menerus, karenanya disimpan di unit pengolahan
Arsip semi aktif, yaitu berkas surat yang frekuensi penggunaannya sudah menurun
Arsip inaktif, yaitu berkas surat yang tidak dipergunakan lagi secara terus menerus, disimpan di pusat penyimpanan arsip

2. Arsip statis adalah arsip yang tidak dipergunakan secara langsung untuk perencanaan, pelaksanaan kegiatan maupun untuk penyelenggaraan pelayanan ketatausahaan

Penyimpanan arsip dapat didasarkan pada :
– Masalah
Abjad
Tanggal
Nomor
Wilayah

Penulisan bagian surat :

Bagian surat terdiri atas :

1. Kepala surat, yang mencantumkan :
Lambang instansi
Nomor, lampiran dan perihal
Tanggal
Alamat tujuan surat

2. Isi surat, secara garis besar terbagi menjadi tiga bagian :

– Pendahuluan

Pendahuluan merupakan kalimat pembuka isi surat, ditulis dengan singkat dan jelas tentang yang akan diberitahukan, dapat berupa pemberitahuan, pertanyaan, pernyataan, permintaan atau balasan

– Isi pokok

Isi pokok mengemukakan hal yang perlu disampaikan, singkat, lugas dan jelas serta merupakan uraian dari inti surat

– Penutup

Kalimat penutup merupakan simpul dan kunci isi surat, dapat juga berupa harapan penulis atau ucapan terima kasih kepada penerima surat

3. Penutup surat, terdiri atas :
Nama dan jabatan penanda tangan
Tanda tangan
Cap
Tembusan

C. LAPORAN KEGIATAN :

Bab-bab isi laporan : (alternatif)
kesekretariatan
tiap bidang (Deskripsi kegiatan)
keuangan
evaluasi kegiatan
Kesimpulan, saran
lampiran

D. DOKUMENTASI :
Adanya penomoran dokumentasi
Adanya sistematika penyimpanan dokumentasi

E. PEMBUKUAN KEUANGAN

Jenis I :
Tanggal
Aktivitas
Debet
Kredit
Saldo

Jenis II :
Debet
Kredit

Tanggal
Aktivitas
Saldo
Tanggal
Aktivitas
Saldo

Perhatikan bahwa pembukuan harus dilengkapi dengan tanda bukti pengeluaran (bon, kuitansi, dll)

Team Building
Definisi TIM

Sekumpulan individual tidak dapat disebut team, mereka harus disatukan dengan baik oleh pemimpin mereka yang menuju pada suatu tujuan yang sama

TIM adalah :
Sekelompok kecil orang-orang dengan
keahlian yang saling melengkapi, dimana mereka berkomitmen untuk
mencapai tujuan bersama dengan
standar kualitas kerja yang telah disepakati bersama dan
tiap anggota TIM mempunyai peran dan tugas yang jelas
dan bertanggungjawab bersama untuk tindakan setiap anggotanya
Mereka juga sangat memperdulikan perkembangan pribadi anggota lain

Mengapa TIM ?
TIM itu lebih dari sekedar sekelompok orang yang bekerja bersama !
TIM mempunyai potensi menyelesaikan masalah jauh lebih banyak daripada jumlah anggota secara perorangan
Ketika sejumlah orang sudah menjadi TIM yang solid, kekuatan TIM bukan sekedar penjumlahan dari kekuatan anggota-anggotanya. Kekuatan TIM yang padu jauh lebih besar lagi. (Mungkin perkalian atau bahkan perpangkatannya)
Keunggulan TIM :
Lebih banyak gagasan muncul, sehingga kemampuan inovasi meningkat
Tekanan kerja berkurang karena masalah selalu dibahas bersama
Masalah besar yang melibatkan banyak bidang keahlian lebih baik dipecahkan dengan pendekatan TIM
Tim mempunyai potensi menyelesaikan tugas yang lebih sulit, lebih banyak dengan lebih baik dibandingkan seorang individu
Ketika sejumlah orang sudah menjadi tim yang solid, kekuatan tim bukan sekedar penjumlahan dari kekuatan anggota-anggotanya. tim yang padu jauh lebih besar lagi (mungkin perkalian atau perpangkatan)

TIM, Kelompok dan individu

Ada beberapa perbedaan nyata antara bekerja dalam TIM dengan bekerja sendiri atau bekerja bersama dalam kelompok sekalipun.

Point kesuksesan TIM :
TIM memiliki kemampuan yang lebih baik dari kemampuan perorangan dalam hal kemampuan dan proses managementnya

Karena :
TIM menyatukan kemampuan dan pengalaman anggotanya yang saling melengkapi
Setiap anggota TIM yang saling bertanggungjawab terhadap kesuksesan TIM menghasilkan kemampuan bekerja TIM yang lebih baik
TIM lebih fleksibel dan lebih tanggap terhadap perubahan keadaan

Karena :

TIM dengan sasaran kerja yang jelas, dapat melahirkan gagasan-gagasan yang lebih banyak untuk menghadapi masalah-masalah yang muncul
TIM dapat membangun kepercayaan diri setiap anggotanya terhadap kemampuannya masing-masing

Karena :

Kepercayaan diri mereka akan lebih baik sewaktu mereka menghadapi masalah secara bersama-sama dalam satu TIM
TIM lebih menyenangkan

Karena :

TIM memiliki rasa kekeluargaan dan kebersamaan
Setiap anggota TIM menikmati bagaimana dirinya menjadi “sesuatu yang lebih besar dari dirinya sendiri”.
Adanya humor mendorong kerja TIM yang lebih baik

Ciri khas dari sebuah TIM
· hubungan antar anggota yang sangat erat dan terbuka
· rasa identitas yang kuat
· semangat dan energi yang besar
· setiap anggota memberikan sumbangan dan perannya masing-masing yang khas

Langkah-langkah pembinaan TIM
Menentukan misi/tujuan yang jelas
Memulai dengan tugas-tugas yang sederhana
Memastikan adanya kesepakatan dan komitmen dari seluruh anggota
Menyusun program realistis
Membahas masalah secara luas dan jujur
Mendorong suasana yang jujur dan terbuka
Tidak menggunakan paksaan pada anggota
Menerima bantuan dari luar jika perlu
Banyak mendelegasikan tugas pada anggota
Mau belajar dari kegagalan
Konsisten
Hal-hal yang harus diperhatikan
semua anggota tim jelas mengenal sasaran tim dan sepakat
kemampuan perorangan dikenali agar peran menjadi jelas
tim mempunyai struktur yang baik
tim mempunyai mekanisme kerja yang baik
tim disiplin
tim saling mendukung dan mengembangkan hubungan yang erat
tim bersikap terbuka
kepemimpinan yang memadai
anggota tim mesti punya keahlian masing-masing yang khas
semua anggota mesti loyal dan saling mendukung
tidak ragu-ragu untuk berbeda pendapat
kreatif

Yang harus dihindari

Kerja suatu TIM tidak akan ada artinya jika :
· kepemimpinan TIM buruk
· anggota tidak memiliki sikap yang diperlukan
· suasana TIM sendiri tidak konstruktif
· sasaran yang tidak jelas/terpahami
· kurangnya ransangan atau motivasi tim berupa standar tinggi
· metode kerja yang tidak efektif
· keterbukaan tim dan informasi terbatas
· tidak memiliki kreativitas yang tinggi
· pribadi-pribadi yang tidak berkembang

1.h. Tipe TIM
TEAM TYPE
CHARACTERISTICS
Effecti-veness

Working Group
Members interact to share information, best practices or perspectives and to make decisions to help each individual perform within his/her own responsibility
25 %

Pseudo Team
Group members not focused on collective performance and not really trying to achieve it
0 %

Potential Team
Group trying to improve performance impact but needs more clarity on purpose, goals and common working approach
25 %

Real Team
Members committed to common purpose, goals, working approach for which they hold themselves mutually accountable
50 %

High Performance Team
Same as above, but members also deeply committed to one another’s personal growth and success
100 %

Tahapan dalam membangun TIM
Tahapan
Karakteristik

Forming
Setiap anggota mulai mengenal yang lainnya dan menetapkan dasar awal peraturan team

Storming
Konflik antar anggota team mulai ada

Norming
Anggota team akan prosedur pelaksanaan, ingin selalu bekerjasama, mengembangkan perkawanan dan komitmen untuk melaksanakan proses

Performing
Anggota team bekerja bersama untuk mencapai tujuan

1.j. Karakter dari TIM yang efektif
Misi dan tujuan yang jelas

Penyampaian dari misi dan tujuan ini harus jelas dan dimengerti oleh setiap anggota team. Walaupn di dalam team tersebut terdapat sub sub team yang masing masing mempunyai misi dan tujuan yang berbeda. Tetapi misi dan tujuan secara keseluruhan tetap harus dimengerti oleh tiap anggota team.
Trust

Trust dapat berarti berbagai macam untuk orang yang berbeda. Di dalam hal ini trust dapat diartikan sebagai level kenyamanan antar tiap anggota team yang dimanefestasikan dalam kemampuan tiap anggota team untuk menerima perbedaan pendapat, sikap dan nilai. Permasalahan permasalahan yang sering timbul dalam team atau konflik akan terminimalisir bila adanya nilai trust ini.
Kohesif

Kekuatan dan keinginan dari setiap anggota team untuk mempertahankan team mereka
Mengerti keterkaitan antar anggota untuk mencapai suatu tujuan

Memahami bahwa untuk mencapai suatu tujuan dibutuhkan peranan dari setiap anggota tidak memandang signifikan atau tidak peranan tersebut. “in a teamwork everyone contributes their share”

Tahapan untuk menuju TIM yang sukses

Ada beberapa tahapan untuk melukiskan perkembangan menuju team yang sukses

Tahap 1 : the undeveloped team

Tahapan yang paling umum. Dimana team ini telah terbentuk tetapi diantara anggota team masih banyak yang tidak saling percaya, ego yang masih tinggi diantara anggota. Keputusan di dalam team ini sepenuhnya diambil oleh manager

Tahap 2 : the experimenting team

Pada tahapan ini team mulai menghadapi permasalahan dengan lebih terbuka. Suasana diantara anggota team mulai terlihat lebih akrab

Tahap 3 : the consolidating team

Team ini mulai percaya diri dan diantara team telah tumbuh rasa saling percaya satu dengan lainnya. Pengambilan keputusan dilakukan dengan lebih demokratis.

Tahap 4 : the mature team

Ini merupakan tahapan team yang paling tinggi dimana team siap untuk bekerja dengan efektif. Ego individual telah kalah oleh kepentingan team dan dalam setiap pengambilan keputusan team seluruh anggota team dilibatkan baik secara langsung maupun tidak langsung

Memotivasi TIM

Sangat mengagumkan melihat hasil yang dapat dicapai oleh sebuah tim yang bermotivasi tinggi.

Berikut ini adalah alternatif prinsip yang dapat digunakan untuk mengubah kelompok menjadi sebuah tim :

1. Mereka seharusnya mampu dan harus sesuai untuk jabatannya

Orang seharusnya mampu, melalui pelatihan dan berbagai program pengembangan kepribadian, agar menjadi sesuai dengan peran yang harus mereka mainkan dalam tim mereka.

Tetapi jika seseorang tidak ingin dilatih atau tidak menginginkan jabatan yang telah mereka duduki, mereka tidak akan pernah sesuai dengan jabatan mereka itu.

2. Mereka harus merasakan sukses

Sebuah tim, agar mampu mencapai sukses, harus bahagia dan kebahagiaan itu dapat dikembangkan melalui kemampuan merasakan kenikmatan sukses.

“Mengetahui diri kita sendiri melangkah maju memotivasi kita.”

3. Mereka harus mempunyai sikap yang tepat

Ketika orang sedang bermain, atau ikut serta dalam sebuah kegiatan social maupun aktivitas amal, mereka nampaknya tidak sedang bekerja. Jadi, yang penting adalah sikap kita terhadap pekerjaan.

Ada sebagian orang yang mulai bekerja jam setengah delapan pagi sampai jam tujuh atau delapan malam. Walaupun tidak tiap-tiap hari dalam seminggu, tetapi secara teratur dan bila diperlukan.

Dan di dalam perusahaan lain, orang mulai bekerja jam sembilan pagi, kemudian satu menit menjelang pukul lima sore mereka akan menghambur keluar. Mereka tidak tahan lagi untuk segera meninggalkan tempat kerjanya.

Menciptakan Suasana TIM

Berikut ini sepuluh tip kunci untuk menciptakan lingkungan yang sesuai bagi tim agar dapat termotivasi secara alamiah.

1. Kondisi kerja yang positif

Maksudnya adalah bahwa perlengkapan, peralatan dan system di mana anggota tim akan bekerja haruslah secara nyata berfungsi baik.

2. Penegasan tugas

Semua tim perlu sadar akan penegasan tugas organisasi

3. Budaya prioritas

Apa yang dihargai atau diakui oleh seorang manajer ?
Apakah orang yang dihargai adalah mereka kelihatan sibuk dan bekerja lebih lama ataukah mereka yang membuahkan hasil ?
Apakah orang takut untuk bersikap lain karena adanya sanksi berat padahal yang sangat dibutuhkan adalah input yang kreatif ?

Orang akan selalu bertingkah laku sejalan dengan mekanisme penghargaan yang telah membentuk mereka.

4. Sasaran umum

Harus ada sebuah sasaran umum, sebuah tujuan atau bahkan sebuah alas an yang harus diperjuangkan.

Dalam menciptakan apa yang kini disebut sebagai ‘sasaran umum’ (common goal), sasaran itu harus menarik bagi semua orang dalam tim.

Tidaklah baik memberlakukan suatu sasaran pada sebuah tim yang hanya merangsang atau menarik bagi manajer, pimpinan, tetapi tidak menarik bagi atau merangsang semua orang yang terlibat.

Ini mengacu pada pentingnya menciptakan sasaran dengan suatu pengambilan keputusan melalui proses kolektif.

5. Pertahankan energi tinggi

Orang dengan sendirinya akan menjadi lebih termotivasi pada saat mereka sibuk. Sangat jarang mengalami kelelahan fisik. Tetapi bekerja keras tanpa stress hampir tidak pernah menjadi penyebab keluhan medis.

6. Ingatlah akan individu

Arti individu tetaplah penting sekalipun individu-individu itu merupakan bagian dari suatu tim.

Mereka masing-masing harus merasa bahwa perlakuan terhadap mereka adalah adil dan pantas.

Mereka masing-masing harus merasa bahwa sumbangan mereka bagi tim diakui.

Mereka masing-masing harus merasa bahwa peran mereka mendukung ke arah keberhasilan.

Mereka masing-masing harus mempunyai kesetiaan dan rasa hormat terhadap manajer dan rekan.

7. Identitas tim

Pernahkan Anda memperhatikan bagaimana orang begitu ingin mengenakan jaket atau kaus yang bertuliskan nama tim olahraga mereka ?

Inilah salah satu prinsip motivasi : keterlibatan dalam kelompok memotivasi.

Sebagai pemimpin, perhatikan setiap kemungkinan untuk menciptakan identitas tim

8. Sukses harus dinikmati bersama-sama

Anggota tim harus mampu untuk bersama-sama merasakan penghargaan atas sukses yang dicapai.

9. Tim yang positif

Bagaimana anggota tim berkomunikasi satu sama lain ? Jika negatif, satu hal yang pasti adalah bahwa tim itu akan menjadi tim yang tidak produktif. (saling kritik, saling menyalahkan, selalu mengeluh, suasana pengkhianatan)

Tugas pimpinan untuk mencegah komunikasi negatif menyebar.

Hanya diperlukan satu orang negatif untuk menjadikan selutuh anggota timnya berangsur-angsur menjadi negatif juga.

10. Kepemimpinan yang memotivasi :

i. Menetapkan target

Tetapkan target yang realistis dan laksanakan. Orang-orang akan dipenuhi dengan ilham bila mekre bekerja untuk seorang manajer yang mempunyai tujuan.

ii. Berikan teladan

Dalam jangka waktu tertentu, anggota cenderung menjadi duplikat pimpinan mereka.

Orang macam apa yang Anda inginkan sebagai anggota Anda ?

iii. Teruslah melakukan perbaikan

Jadilah seorang pemikir yang progresif. Jangan pernah biarkan mereka yang Anda pimpin untuk juga berpikir bahwa mereka sedang melakukan hal yang terbaik.

Jika kita ingin menghadapi kebenaran, kita semua bisa berbuat lebih baik lagi.

iv. Berilah diri Anda waktu untuk berpikir

Sisihkan sekitar setengah jam per hari untuk betul-betul berpikir dan Anda akan terkesan dengan hasilnya.

v. Memimpinlah tanpa memaksa

Kepemimpinan yang paling efektif adalah kepemimpinan melalui teladan dan bukan melalui perintah. Pemimpin yang termotivasi akan memimpin dan tidak perlu mendorong, akan menunjukkan tanpa perlu mengatakan.

vi. Buatlah penilaian berdasarkan hasil

Berharapkan agar selalu memperloeh penilaian berdasarkan hasil, sebab Anda sebagai pemimpin yang termotivasi akan menilai orang lain juga berdasarkan hasil

vii. Bangunlah kepercayaan diri

Kembangkan suatu kepercayaan diri yang besar akan diri Anda dan akan kemampuan Anda.

Kemampuan adalah sesuatu yang kita peroleh sebagai hasil dari suatu keinginan kuat.

viii. Harapkanlah datangnya kritik

ix. Berpikir tentang masa depan

Jika Anda dapat melakukan sesuatu yang sedikit berbeda dari apa yang Anda lakukan sehari sebelumnya, bertolak dari pandangan berbuat sedikit lebih baik, itu akan menimbulkan kepemimpinan yang mendatangkan inspirasi yang merupakan gaya yang bersifat sangat memotivasi

x. Berpikirlah bagai seorang pemenang

Ketika Anda dihadapkan pada suatu situasi, yang positif maupun negatif, cobalah membayangkan orang yang paling sukses akan bertindak apa.

Beristirahat Bersama-sama

Dengan mengajak tim Anda keluar apakah untuk keperluan pelatihan, diskusi atau bahkan bersenang-senang, Anda akan mempersatukan mereka semakin dekat.

sumber : http://andaspeak.wordpress.com/2009/02/05/materi-keorganisasian/

Kurikulum Kaderisasi PMII

MASA PENERIMAAN AGGOTA BARU (MAPABA)
1. Pengertian
Masa penerimaan anggota baru (Mapaba) adalah masa penerimaan anggota baru dan merupakan orientasi ataupun pengenalan awal yang jiga merupakan forum pengkaderan formal tingkat pertama. Pada masa ini lebih ditekankan pada doktrinasi idelogi untuk membentuk kadaer yang memiliki komitmen. Loyalitas pada pergerakan selanjutnya.
2. Model pendekatan
Dalam pmii mapaba merupakan wahana awal pengenalan pmii dan penanaman nilai-nilai (doktrinasi) yang ada di PMII dan juga membangun idealitas social. Pada fase ini harus ditanamkan makana idealisme yang bermuatan religius bagi mahasiswa dan urgensi perjuangan untuk idealisme itu mulai PMII baik pada struktur formalnya sebagai organisasi ataupun sebagai aspek substansinya sebagai komunitas gerakan mahasiswa yang berlatar kultur islam.
3. Tujuan dan target
Tujuan dan target yang hendaknya dicapai pada masa mapaba ini adalah:
a. Tertanamnya keyakinan pada setiap individu anggota bahwa PMII adalah organisasi kemahasiswan yang paling tepat untuk mengembangkan diri (potenssi) dan PMII sebagai way of life.
b. tertanamya keyakinan pada setiap individu anggota bahwa PMII adalah wahana untuk memperjuangkan idealisme, dalam konteks kemahasiswaan, kebangsaan, ataupun kenasyarakatan.
c. memiliki keyakinan terhadap ahlu sunnah wal jamaah (aswaja) sebagai mazhab yang tepat untuk mengembangkan diri, memperjuangkan idealisme, dan untuk memahami dan mendalami islam.
d. dari mapaba ini out put yang dinginkan adalah kader yang memiliki komitmen dan militan terhadap PMII kedepan.
4. Kurikulum
☼SESI 1
BINA SUASANA
A. Tujuan
Peserta, panitia, dab fasilitator mengetahui semua komponen yang terlibat dalam pelathan, sehingga dalam proses pelatihan dapat terbina sehingga suasana penuh dengan keakraban disemua komponen tersebut. Disepakatinya beberapa aturan main selama pelatihan berlangsung (kewajiban, hak-hak, kekwatiran-kekwatiran dan harapan) peserta selama mengikuti pelatihan tersebut.
B. Pokok bahasan
Pada pokok bahasan ini ada 5 (lima) yang hendahnya diberikan:
1. Perkenalan
2. Penyusuanan harapan, dan kekwatiran peserta, panitia, fasilitator pelatihan.
3. Citra diri peserta
4. Kontrak belajar.
5. Materi-materi MAPABA.z
C. Bahan-bahan
1. Kertas plano
2. Spidol
3. Kertas kecil-kecil
D. Metode
1. Tanya jawab
2. Permainan
3. Brainstorming
E. Proses kegiatan
1. panitia atau fasilitator membuka sesi dengan memperkenalkan identitas dirinya, dan meminta tiap-tiap peserta untuk memperkenalkan identitas dan pengelaman dirinya.
2. Fasilitator meminta tiap-tiap peserta untuk mengungkapkan harapan-harapanya untuk mengikuti seluruh rangkain atau proses pelathan ini serta kekwatiran-kekwatiran yang ditakutkan akan terjadi oleh peserta pelatihan.
3. Fasilitator meminta pada tiap-tiap peserta untuk menyebutkan hal-hal yang diperlukan demi tertib, lancar, dan suksesnya pelatihan ini.
4. Fasilitator mendorong terjadinya kesepakatan antara sesama peserta, peserta dan panitia tentang perlunya tata tertib pelatihan .
5. Semua peserta dan panitia mensepakati tat tertib pelatihan demi kesuksesan pelatihan tersebut.
F. Waktu
Bina suasanan ini memerlukan waktu kurang lebih 120 menit untuk optimalnya.

☼Sesi II
MATERI AHLUSUNNAH WAL JAMAAH
1. Tujuan
Peerta pelatihan ini mampu memahami bahwa, PMII berusaha menggali nialai-nilai ideal moral yang lahir dari pengalaman keberagama’an dan keberpihakan insane warga pergerakan dalam bentul nilai-nilai yang ada dalam aswaja, sebagai ajaran Islam yang moderat. Hal ini dibutuhkan untuk memberikan kepahaman, spirit pergerakan dan sekaligus memberi8kan legitimasi dan memperjelas terhadap apa yang seharusnya dilakukan sebagai warga pergerakan dan untuk mencapai cita-cita perjuangan dan visi misi sesuai dengan maksud didirikannya organisasi ini. Sehingga dengan aswaja ini para kader PMII akan senantiasa memiliki semangat keagamaan (iman) yang tinggi.
2. Pokok bahansan
a. Pengertian aswaja
b. Sejarah singkat aswaja
c. Kondisi keagamaan masyarakat
d. Konsep dasar aswaja
e. Perkembangan pemikiran aswaja
3. Bahan-bahan
a. spidol
b. kertas plano
c. makalah
4. Metode
a. Ceramah
b. Dialog
c. Diskusi kelompok
d. Diskusi panel
e. Brainstorming
5. Proses kegiatan
a. Moderator/ fasilitator membuka sesi dengan penjelasan umum tentang materi aswaja.
b. Moderator memperkenalkan narasumber secara terperinci.
c. Narasumber/ fasilitator menguraikan pokok-pokok bahasan tentang materi aswaja ini.
d. Proses dialog/ klarifikasi.
e. Diskusi kelompok.
6. Waktu
Pada penyampaian serta metode dalam aswaja ini membutuhkan waktu 120 menit/ 2 jam.
☼Sesi III
MATERI NILAI DASAR PERGERAKAN
1. Tujuan
Peserta pelatihan mampu memahami bahwa, PMII berusaha mengali nilai-nilai ideal moral yang lahir dari keberpihakaninsan warga pergerakan dalam bentuk rumusan-rumusan yang diberi nama Nilai Dasar Pergerakan (NDP) PMII. Hal ini dibutuhkan untuk memeberikan kerangka, arti, motivasi pergerakan, memberikan legitimasi, dan sekaligus memberikan penjelasan terhadap apa yang harus disampaikan dan dilakukanuntuk mencapai cita-cita perjuangan dan visimisi sesuai dengan maksud yang didirikan organisasi. Sehingga dengan adany NDP ini kader PMII akan senantiasa memiliki rasa kepedulian social yang tinggi (paham dan responsive terhadap persoalan dilingkungan sekitar).
2. Pokok bahasan
a. Filosofi NDP
b. Fungsi dan kedudukan NDP
c. Rumusan NDP
d. Internalisasi dan implementasi NDP dalam kehidupan keseharian dan berorganisasi.
3. Bahan-bahan
a. Spidol
b. Kertas plano
c. Makalah
4. Metode
a. ceramah
b. dialog
c. diskusi
5. Proses kegiatan
a. moderator atau fasilitator membuka sesi dengan penjelasan umum tentang materi sesi ini.
b. moderator memperkenalkan narasumber atau fasilitator secara terperinci.
c. narasumber atau fasilitator menguraikan pokok-pokok bahasan tentang materi ssesi ini.
d. dialog atau klarifikasi.
6. Waktu
Untuk membahas materi NDP ini supaya optimal diperlukan waktu 120 menit.

☼Sesi IV
materi keorganisasian
1. Tujuan
Peserta mampu memahami makna filosofis simbul profil dan gambaran PMII sebagai organisasi pergerakan dalam bingkai konstitusi dan aturan-aturan keorganisasian yang ada, serta dalam bingkai managerial keorganisasian.
2. Pokok bahasan
a. Perangkat konstitusi dan aturan-aturan organisasi yang ada di PMII.
b. Fungsi dan arti konstitusi dan aturan-aturan organisasi yang ada di PMII.
c. Manajemen keorganisasian.
3. Bahan-bahan
a. Spidol
b. Kertas plano
c. Makalah
4. Metode
a. Ceramah/ presentasi
b. Dialog
c. Diskusi kelompok
d. Study kasus

5. Proses kegiatan
a. moderator ataufasilitator membuka sesi denga penjelasan umum tentang materi sesi ini.
b. moderator memperkenalkan narasumber atau fasilitator secara terinci.
c. narasumber atau fasilitator menguraikan pokok-pokok bahasan pada materi ini.
d. dialog dan klarifikasi.
6. Waktu
Untuk menyampaikan materi ini memerlukan waktu 120 menit.
☼Sesi V
PMII DAN TANGUNGG JAWAB SOSIAL.
1. Tujuan
Peserta memahami sejarah Indonesia dalam perspektif sejarah masyarakat dan sejarah ke-bangsa-an dalam fase feudal-primordial-modern (dari zaman kerajaan-sekarang) serta peranan internasional dalam kebangsaan Indonesia. Sehingga memahami logika dan nalar masyarakat dan bangsa sebagai upaya untuk membaca masa depan Indonesia.
2. Pokok bahasan
a. Sejarah masyarakat di Indonesia.
b. Peranan internasional dalam kebangsaan Indonesia.
c. Peran dan posisi Indonesia dalam konteks global.
3. Bahan-bahan
a. Spidol
b. Kertas plano
c. Makalah
4. Metode
a. Ceramah
b. Dialog
c. Diskusi
d. Studi kasus
5. Proses kegiatan
a. Moderator atau fasilitator membuka sesi dengan penjelasan umum tentang materi sesi ini.
b. Narasumber atau fasilitator menguraikan pokok-pokok bahasan tentang materi sesi ini.
c. Dialog dan klarifikasi.
d. Diskusi kelompok, dan diskusi pleno membahas hasil diskusi kelompok.
6. Waktu
Untuk membahas materi ini diperlukan waktu 120 menit.
Sesi VI
Materi ke-ISLAMAN
1. Tujuan
Peserta memahami prinsip dan nilai-nilai universalitas Islam (iman, islam dan ihsan), memahami perkembangan Islam diIndonesia dalam konteks kesejarahan, perananya diIndonesia serta islam serta fungsi kehadiran islam dalam konteks transformasi social, sehingga peserta mampu meneukan pijakan teologinya untuk memperjuangkan dan menegakkan nilai-nilai universalitas islam.

2. Pokok bahasan
a. Sejarah dan latar belakang social, politik, ekonomi, dan perkembangan islam di Indonesia.
b. Prinsip dan nilai-nilai universalitas Islam
c. Islam, keadilan, dan transformasi social.
3. Bahan-bahan
a. Spidol
b. Kertas plano
c. Makalah
4. Metode
a. Ceramah
b. dialog
c. diskusi kelompok
5. Proses kegiatan
a. Moderator atau fasilitator membuka sesi dengan penjelasan umum tentang materi sesi ini.
b. Narasumber atau fasilitator menguraikan pokok-pokok bahasan tentang materi sesi ini.
c. Dialog dan klarifikasi.
d. Diskusi kelompok, dan diskusi pleno membahas hasil diskusi kelompok.
6. Waktu
Diupayakan mengunakan waktu 240 menit.

Sesi ke VII
Materi ke_Indonesia-an
1. Tujuan
Peserta mampu memahami sejarah Indonesia dalam perspektif sejarah masyarakat Indonesia dan sejarah kebangsaanya baik dalam fase feudal-primodial-modern (dari zaman kerajaan sampai sekarang) serta peranan internasional dalam kebangsaan Indonesia sehingga mampu memahami logika dan nalar masyarakat dan bangsa sebagai upaya untuk membaca masa depan Indonesia.
2. Pokok bahasan
a. sejarah masyarakat Indonesia.
b. Peranan internasioanal dalam kebangsaan Indonesia.
c. Peran dan posisi Indonesia dalam konteks global.
3. Bahan-bahan
a. Spidol
b. Kertas plano
c. Makalah
4. Metode
a. Ceramah
b. Dialog
c. Diskusi kelompok
d. Study kasus

5. Proses kegiatan
a. Moderator atau fasilitator membuka sesi dengan penjelasan umum tentang materi sesi ini.
b. Narasumber atau fasilitator menguraikan pokok-pokok bahasan tentang materi sesi ini.
c. Dialog dan klarifikasi.
d. Diskusi kelompok, dan diskusi pleno membahas hasil diskusi kelompok.
6. Waktu
Untuk membahas materi ini diperlukan waktu 150 menit.
Sesi VIII
Materi muatan local
1. Tujuan
peserta memahami dinamika dan dialektika yang terjadi dimasing-masing daerahnya.
2. Pokok bahasan
a. Antropologi kampus 9geografi, psykografi, dan sosiologis)
b. Sejarah dan dinamika PMII local
c. Materi tenatang disiplin ilmu masing-masing.
3. Bahan-bahan
a. Spidol
b. Kertas plano
c. Makalah

4. Metode
a. ceramah
b. dialog
c. diskusi kelompok
d. studi kasus
5. Proses kegiatan
a. moderator atau fasislitator membuka sesi dengan penjelasan umum tentang materi sesi ini.
b. Narasumber atau fasislitator menguraikan pokok-pokok bahasan tentang materi ini.
c. Dialog atau klarifikasi
d. Diskusi kelompok, dan diskusi pleno membahas hasil diskusi kelompok.
6. Waktu
Pada materi muatan local membutuhkan waktu 120 menit untuk memberikan pemahaman pada peserta secara integral.
Sesi IX
General review
1. .Tujuan
Peserta memahami perpaduan antara keseluruhan materi yang telah disampaikan, dapat mereview materi-materi tersebut sehingga mendapatkan pijakan dan keyakinanya untuk memantapkan pilihanya untuk menjadi kader PMII.

2. Pokok bahasan
a. substansi dari materi-materi yang telah disampaikan.
b. Unsure-unsur kesinambungan anatara antara materi yang telah disampaikan.
c. Urgensi PMII sebagai wahana yang tepat untuk mengembangkan diri dan memperjuangkan ke-Islaman, ke-Indonesisan dan kemasyarakatan.
3. Bahan-bahan
a. spidol
b. kertas plano
c. makalah
4. Metode
a. review seluruh materi
b. dialog
c. diskusi
d. brainstorming
5. Proses kegiatan
a. panitia atau fasilitator membuka sesi dengan meminta pada tiap-tiap peserta untuk melakukan review materi-materi dan mengevaluasi jalannya atau proses pelatihan.
b. Fasilitator meminta untuk tiap-tiap peserta untuk menyatakan apakah harapan-harapanya terhadap pelatihan (yang dikemukakan pada saat bina suasana tercapai).

6. Waktu
Untuk sesi general mreview ini memerlukan waktu 120 menit, apabila dalam jangka waktu tersebut kurang mencukupi maka dapat ditambah dengan 30 menit.
Sesi X
RENCANA TINDAK LANJUT
1. Tujuan
Peserta mampu untuk memahami PMII sebagai komunitas untuk kebersamaan dan gerakan sehingga muncul sense bersama untuk melaksanakan tugas dan kewajiban pasca MAPABA sehingga secara definitive bisa disebit sebagai kader pergerakan.
2. Pokok bahasan
a. identifikasi potensi, bakat minat, dan kecenderungan kader.
b. bentuk-bentuk follow up
c. kesepakan manajerial pengelolaan follow up.
3. Bahan-bahan
a. Spidol
b. Kertas plano
4. Metode
a. Dialog dan musyawarah
b. Kesepakatan

5. Proses kegiatan
a. fasilitator mengambarkan beberapa hal yang bisa dilakukan sebagai kegiatan tindak lanjut dan meminta pada tiap-tiap peserta untuk menyebutkan hal-hal yang diperlukan atau diperlukan untuk proses tindak lanjut pelatihan ini.
b. fasilitator mendorong agar terjadinya kesepakatan diantara peserta tentang perlunya membuat agenda atau kegiatn bersama sebagai tindak lanjut dari pelatihan ini.
c. seluruh peserta menyepakati agenda bersama tyindak lanjut pelatihan.
6. Waktu
Pada sesi ini memerlukan waktu 120 dengan kesepakatan akhir RTL dapat dilakukan dikemudian hari.
Sesi XI
EVALUASI DAN PENUTUPAN
1. Evaluasi
Hal ini perlu dilakukan untuk mengetahui tingkat keberhasilan dai pelatihan, untuk mengukur apakah target, harapan, dan kekhawatiran terpenuhi dan terjadi selama proses MAPABA berlangsung. Hal ini akan berguna sebagai masukan dan pertimbangan dalam pelaksanan pelatihan-pelatihan selanjutnya. Hal-hal yang harus dievaluasi adalah mencakup keseluruhan komponen yang terlibat dalam MAPABA, baik metodologi pelatihan, peserta, panitia, fasilitator, pembicara, tempat serta fasilitas dan unsure-unser lain yang terlibat dalam pelatihan.

2. Penutupan
Penutupan harus dilaksanakan unutk membangun kedisiplinan bersama di PMII karena penutupan adalah kegiatan yang tidak bisa dipisahkan dalam metode pelatihan.
3. Follow up
Perlu dilakukan sebagai upaya untuk membangun kesinambungan antar kader-kader baru maupun dengan kader lama dan pengurus PMII (Rayon, komisariat, dan cabang) dan tetap berjalan sebagimana kesepakatan dalam pembahasan follow up mdi MAPABA, selain sebagai forum untuk melakukan pendalaman materi. Dalam follw up berbentuk kelompok-kelompok kecil yang beranggotakan antara 5-7 sahabat agar memudahkan fasilitator untuk melakukan pendampingan secara intensif. Pengelolaan dan manajerial kelompok kecil ini harsu diserahkan langsung kepada peserta sebagai media untuk uji coba sebelum menangani kepanitian-kepanitiaan di PMII. Ada beberapa hal penting yang hendaknya ditekankan dalam proses follow up, yaitu;
a. terjadinya kembali internalisasi ideology.
b. Pendalaman materi mapaba
c. Membangun ikatan emosional sehingga terbangun kebersamaanbukan petronase.
d. Mendiskusikan materi-materi lain sesuai dengan kebutuha masing-masing.
e. Materi-materi ketrampilan yang dapat menunjang dalam perkuliahan dan pengembangan diri.
f. Tekhnik pembuatan makalah.
g. Tekhnik presentasi
h. Tekhnik persidangan
i. Tekhnik menyususn proposal kegiatan, dll.
4. PELATIHAN KADER DASAR (PKD)
5. PELATIHAN KADER LANJUT (PKL)

PEDOMAN ADMINSTRASI PMII

PEDOMAN ADMINSTRASI PMII
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG

Keutuhan dan kesatuan gerak organisasi tercermin antara lain pada sistem tertib administrasi yang diterapkan oleh organisasi yang bersangkutan. Dalam upaya mewujudkan sistem administrasi yang dapat menunjang berjalannya mekanisme kerja organisasi dilingkungan PMII, maka diperlukan adanya seperangkat aturan sebagai usaha unifikasi aturan yang wajib dilaksanakan dan disosialisasikan terus menerus agar menjadi tradisi organisasi yang baik dan positif dalam rangka pelaksanaan progran organisasi guna menacapai tujuan.
Kecuali untuk memelihara keutuhan dan kesatuan gerak organisasi, adanya sistem administrasi itu juga untuk menegakkan wibawa organisasi dan disiplin organisasi bagi segenap anggota dan fungsionaris diseluruh tingkatan organisasi secara vertikal. Oleh karena itu terbitnya Pedoman Penyelenggaraan Tertib Administrasi merupakan suatu jawaban aktual ditengah-tengah mendesaknya keperluan akan adanya pedoman yang berlaku secara nasional dilingkungan PMII dari tingkat Pengurus Besar samapai Rayon.1.2. Pengertian
Pedoman Penyelenggaraan Tertib Administrasi adalah serangkaian aturan mengenai penyelenggaraan organisasi dengan administrasi yang meliputi tertib kesekretariatan dan atribut organisasi yang berlaku tunggal untuk semua tingkatan organisasi PMII secara nasional.

TUJUAN
Pedoman Penyelenggaraan Tertib Administrasi (PPTA) bertujuan untuk :
1. Mempermudah upaya pembinaan, pengembangan dan pemantauan pelaksanaan administrasi disemua tingkatan organisasi PMII.
2. Menyelenggarakan pola sistem pengorganisasian pada bidang kesekretariatan disemua tingkatan organisasi PMII.
3. Menegakkan wibawa dan displin organisasi serta menumbuhkan kesadaran, semangat dan kegairahan berorganisasi dikalangan anggota.
SASARAN
Pedoman penyelenggaraan Tertib Administrasi(PPTA) memiliki sasaran sebagai berikut :
1. Terwujudnya suatu aturan tunggal organisasi dibidang administrasi yang baru dan berlaku secara nasional.
2. Terpeliharanya nilai, jiwa dan semangat kebersamaan dalam memperkokoh keutuhan, persatuan dan kesatuan organisasi serta disiplin dan wibawa organisasi.
LANDASAN
Pedoman Penyelenggaraan Tertib Administrasi (PPTA) berlandaskan pada :
1. Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga PMII
2. Keputusan Konggres XII PMII tahun 2000
3. Keputusan MUSPIM IX tahun 2002

Pedoman Penyelenggaraan Tertib Administrasi
A. Pedoman Umum
1. Surat
Yang dimaksud dengan surat dalam pedoman ini adalah sarana komunikasi timbal balik yang mengandung pesan-pesan resmi organisasi yang tertulis diatas kertas yang khusus diperlukan untuk kepentingan tersebut. Ketentuan surat-surat yang berlaku dan dapat dijadikan sarana komunikasi itu harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:
2. Sistematika Surat
Surat menyurat resmi organisasi dengan sistematika sebagai berikut :
a. nomor surat, disingkat No.
b. Lampiran surat, disingkat Lamp.
c. Perihal Surat , disingkat Hal.
d. Sialamat surat, “Kepada Yth dst”
e. Kata Pembuka Surat “Assalaamu ‘Alaikum ……. “
f. Kalimat Pengantar “ Salam silaturrahmi …………. “
g. Maksud surat
h. Kata Penutup, “Wallahul Muwaffiq dst”, wassalaamu ‘alaikum dst”
i. Tempat dan tanggal pembuatan surat.
j. Nama Pengurus organisasi beserta jabatan

3. Bentuk Surat
Seluruh surat organisasi(resmi), kecuali jenis surat khusus, ditulis dengan bentuk block style, yaitu seluruh bentuk surat yang ketikannya dari kata pembukaan sampai nama penandatangan surat berada ditepi yang sama.
4. Jenis surat
Surat-surat resmi organisasi dikelompokkan kedalam dua jenis surat, yakni Umum dan khusus. Surat Umum adalah surat biasa yang rutin diterbitkan sebagai sarana komunikasi tertulis dikalangan internal maupun eksternal organisasi. Dan surat khusus adalah jenis surat yang menyatakan penetapan keputusan organisasi, produk normatif organisasi dan landasan pijak organisatoris. Jenis tersebut diklasifikasikan kedalam dua sifat; intern dan ekstern.
5. Kertas Surat
Seluruh surat diketik diatas kertas berukuran folio berat 80 gram dan berkop (kepala surat PMII). Kop berikut amplop berisikan :
a. Lambang PMII, sebagaimana ditentukan pada lampiran AD-ART PMII.
b. tulisan berupa tingkatan kepengurusan dan alamat organisasi.
6. Nomor Surat
Seluruh surat resmi, organisasi disemua tingkatan memiliki nomor yang terdiri atas :
a. nomor urut surat.
b. Tingkat dan periode kepengurusan
c. Jenis surat dan nomor surat.
d. Penanda Tangan surat
e. Bulan pembuatan surat.
f. Tahun pembuatan surat.
7. Stempel
Bentuk Stempel
Stempel organisasi untuk semua tingkatan organisasi berbentuk persegi panjang bergaris tunggal.
8. Ukuran Stempel
stempel resmi organisasi berukuran panjang 6 cm dan lebar 3 cm.
9. Tulisan Stempel
Stempel resmi organisasi berisi :
a. Lambang PMII disebelah kiri
b. Tulisan disebelah kanan terdiri atas :
a) Tingkatan kepengurusan, baris pertama
b) Nama Organisasi, baris kedua; “pergerakan”, baris ketiga; “Mahasiswa Islam” dan baris ke-empat;”Indonesia”.
c) Nama Tempat atau daerah, baris kelima.
10. Tinta Stempel
seluruh jenis stempel disemua tingkatan menggunakan tinta stempel warna merah. (lihat lampiran 1 dan pedoman teknis point

11. Buku Agenda
Ukuran Buku
Pada dasarnya seluruh jenis buku dapat digunakan sebagai buku agenda, asalkan sesuai dengan kolom yang diperlukan.
12. Model Buku
Buku agenda surat terdiri atas buku agenda surat keluar dan buku agenda surat masuk, model yang digunakan keduanya adalah sebagai berikut ;
a. Buku agenda surat keluar, terdiri atas kolom ;
a) Nomor urut pengeluaran
b) Nomor Surat
c) Alamat surat
d) Tanggal Surat ;
1. Tanggal Pembuatan
2. Tanggal Pengiriman
e) Perihal Surat
f) Keterangan
g) Buku Agenda surat masuk, terdiri atas kolom ;
1. Nomor urut penerimaan
2. Nomor surat
3. Alamat surat/pengirim
4. Tanggal surat ;

h) tanggal Pembuatan
i) Tanggal Penerimaan
1. Perihal Surat
2. Keterangan
13. Buku Kas
14. Ukuran Buku Kas
Semua jenis buku dapat digunakan sebagai buku kas, asalkan sesuai dengan kolom yang diperlukan.
15. Model Buku Kas
Buku Kas untuk seluruh jenis kegiatan pada semua tingkatan organisasi menggunakan model buku kas yang terdiri atas kolom ;
a. Nomor urut penerimaan
b. Uraian sumber kas
c. Jumlah uang yang diterima
d. Nomor urut pengeluaran
e. Uraian penggunaan kas
f. Jumlah uang yang dikeluarkan
16. Buku Invetarisasi
17. Ukuran Buku Inventarisasi
Buku inventaris dapat menggunakan pelbagai jenis dan ukuran buku yang sesuai dengan kolom yang diperlukan
18. Model Buku Inventarisasi
Buku inventarisasi untuk semua tingkatan organisasi menggunakan model buku yang terdiri atas kolom ;
a. Nomor urut.
b. Nama barang.
c. Merk barang.
d. Tahun pembelian.
e. Jumlah barang
f. Keadaan barang.
g. Keterangan.
19. Papan Nama
Bentuk papan nama organisasi disemua tingkatan kepengurusan berbentuk empat persegi panjang.
20. Ukuran Papan Nama
Ukuran papan nama, sesuai dengan ketentuan peraturan Mendagri no. 5 Thn 1986 adalah :
a. Penguru besar :Panjang 200 cm dan lebar 150 cm.
b. Pengurus Koordinator Cabang : Panjang 150 cm dan lebar 135 cm.
c. Pengurus Cabang : Panjang 160 cm dan lebar 120 cm
d. Pengurus Komisariat : Panjang 140 cm dan lebar 105 cm.
e. Pengurus Rayon ; Panjang 120 cm dan lebar 90 cm.
21. Tulisan Papan Nama
Papan nama berisi tulisan yang terdiri dari:
a. Lambang PMII, sebelah kiri atas.
b. Kode wilayah dibagian bawah lambang PMII
c. Nama organisasi tingkat kepengurusan
d. Alamat sekretariat dibagian bawah
22. Warna Papan Nama
Papan nama mengunakan warana sebagai berikut:
a. Warna dasar biru tua
b. Lambang PMII; sesuai dengan lampiran ART.
c. Tulisan ; putih.
23. Bahan Papan Nama
pada dasarnya semua jenis benda pipih dan rata dapat digunakan sebagai papan nama. namun yang layak digunakan adalah :
a. triplek dan sejenisnya.
b. kayu tebal.
c. seng dan sejenisnya.
24. Jaket
25. Warna Jaket
Jaket resmi organisasi semua tingkatan menggunakan warna biru muda
26. Model Jaket
Model jaket resmi organisasi adalah jas tangan panjang
27. Bahan jaket
Jaket resmi organisasi terbuat dari bahan-bahan tekstil yang relatif tebal dan kaku.

28. Atribut jaket
Jaket organisasi dilengkapi dengan sejumlah atribut sebagai berikut :
a. Lambang PMII, sebelah kiri bawah.
b. Nama Pengurus, sebelah kanan atas.
c. Tingkatan Organisasi, sebelah kiri diatas lambang PMII.
29. Selempang
30. Warna Selempang
warna selempang organisasi memiliki tiga warna, yaitu biru tua, kuning, dan biru muda.
31. Ukuran Selempang
Selempang organisasi yang resmi berukuran panjang 60 cm dan lebar 4 cm
32. Bahan Selempang
Selempang resmi organisasi terbuat dari bahan tekstil yang halus dan berkilap, dilengkapi rompi dan lencana diujung keduanya.
33. Lencana
34. Jenis Lencana
Lencana organisasi dapat dikelompokkan kedalam dua jenis, yaitu lencana besar dan lencana kecil.
35. Warna Lencana
Warna lencana besar memiliki dasar sesuai dengan bahan-bahan lencana kecil berwarna dasar putih berlambang PMII sesuai ketentuan lampiran ART.
36. Bentuk Lencana
Lencana besar berbentuk periasai lambang PMII dengan ukuran tinggi 9 cm dm lebar 7 cm, sedang lencana kecil berbentuk bulat berdiameter 3 cm.
37. Bahan Lencana
Lencana kecil dan besar terbuat dari bahan logam, seperti aluminium, seng, dan sebagainya.
38. Tulisan
Lencana besar hanya berwujud lambang tanpa tulisan, sedangkan lencana kecil bertuliskan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia mengitari lambang PMII.
39. Kartu tanda Anggota
40. Sitematika
Bagian Belakang :
a. Nomor
b. Nama
c. Tempat Tanggal lahir
d. Alamat rumah
e. Perguruan Tinggi
f. Fakultas/jurusan
g. Komisariat
h. Tempat dan tanggal pembuatan
i. Tanda tangan dan nama terang pemegang KTA
j. Tanda tangan dan nama terang PKC/PC
k. Stempel PKC/PC
Bagian Depan
a. Kop logo PMII
b. Tujuan PMII sesuai pasal 4 AD PMII
c. Tanda tangan dan nama terang Ketua umum dan Sekjend PB. PMII
41. Kertas
Kertas KTA berwarna dasar kuning dan ada background lambang PMII
42. Nomor
Penomoran Anggota PMII disusun sebagai berikut :
01-01-A01-01-01-01-2002 dengan keterangan :
01 pertama merupakan nomor keanggotaan yang ditetapkan oleh PB PMII
A. merupakan kode wilayah masing-masing PKC/PC.
01 kedua merupakan nomor keanggotaan yang ditetapkan oleh PKC
01. ketiga merupakan nomor anggota yang ditetapkan oleh PC
01. ketiga merupakan nomor anggota yang ditetapkan oleh PK.
01. keempat merupakan nomor anggota yang ditetapkan oleh PR
2002 merupakan tahun penerbitan KTA.
43. Ukuran
Panjang KTA 6 cm dan lebar 4 cm

44. Tulisan
Menggunakan Font tipe Times New Roman diseluruh bagian KTA
45. Pedoman Teknis
A. Surat
a. Sebelum proses pengetikan surat, sedapat mungkin membuat draft atau konsep untuk surat terlebih dahulu guna menghindari kesalahan atau kekeliruan dalam pengetikan.
b. agar memepermudah pemantauan dan pengecekan surat, maka seluruh jenis surat harus dibuat copy atau salinannya buat di file atau di arsip.
c. dalam pembuatan surat resmi organisasi yang harus diperhatikan adalah kode atau sandi yang terkandung dalam nomor surat. Pembatasan pada setiap item kode atau sandi ditandai dengan titik dan bukan dengan garis.
d. Setiap penomoran surat mengandung 6 item kode (untuk PB) dan 7 item kode(untuk PKC/PC/PK/PR) yaitu :
B. Nomor surat
Tingkat kepengurusan
a. Pengurus Besar disingkat PB
b. Pengurus Koordinator Cabang disingkat PKC
c. Pengurus Cabang disingkat PC
d. Pengurus Komisariat disingkat PK
e. Pengurus Rayon disingkat PR
C. Jenis Surata dan Nomor Urut :
1. Untuk Pengurus Besar :
a. Internal Khusus, seperti surat keputusan ditandai dengan kode : 01
b. internal Umum, seperti surat-surat biasa selain surat keputusan, ditandai kode ; 02
c. eksternal Khusus, seperti surat mandat khusus, audiensi dengan pejabat dll, dipakai kode : 03
d. Eksternal Umum adalah surat yang bersifat umum, ditandai dengan kode :04
e. Untuk Pengurus Koorcab, Cabang, Komisariat dan Rayon
2. internal (Khusus dan Umum), ditandai dengan kode : 01
3. Eksternal (Umum dan Khusus), dengan kode : 02
D. Penandatangan Surat
a. Untuk Pengurus Besar
1. Jika Penanda tangan surat adalah Ketua umum dan Sekjend ditandai dengan kode : A-I
2. Jika Penanda tangan surat adalah Ketua umum dan Wakil Sekjen ditandai dengan kode : A-II
3. Jika Penanda tangan surat adalah Ketua umum dan Sekbid ditandai dengan kode : A-III
4. Jika Penanda tangan surat adalah Ketua dan Sekjend, ditandai dengan kode : B-I
5. Jika Penanda tangan surat adalah Ketua dan Wakil Sekjend, ditandai dengan kode : B-II
6. Jika Penanda tangan surat adalah Ketua dan Sekbid, ditandai dengan kode : B-III
7. Jika Penanda tangan surat adalah Ketua umum dan Sekjend, Bendahara/Wakil Bendahara ditandai dengan kode : C-I
8. Jika Penanda tangan surat adalah Ketua umum dan Wakil Sekjend, Bendahara/Wakil Bendahara ditandai dengan kode : C-II
9. Jika Penanda tangan surat adalah Ketua umum dan Sekbid, Bendahara/Wakil Bendahara ditandai dengan kode : C-III
b. Untuk Pengurus Koorcab dan Cabang :
1. Jika Penandatangan surat adalah Ketua Umum dan Sekretaris Umum ditandai dengan kode : A-I
2. Jika Penandatangan surat adalah Ketua Umum dan Sekretaris ditandai dengan kode : A-II
3. Jika Penandatangan surat adalah Ketua dan Sekretaris Umum ditandai dengan kode : B-I
4. Jika Penandatangan surat adalah Ketua dan Sekretaris ditandai dengan kode : B-II
5. Jika Penanda tangan surat adalah Ketua umum dan Sekretaris Umum, Bendahara/Wakil Bendahara ditandai dengan kode : C-I
6. Jika Penanda tangan surat adalah Ketua umum dan Sekretaris, Bendahara/Wakil Bendahara ditandai dengan kode : C-II
c. Untuk Pengurus Komisariat dan Rayon
1. Jika Penandatangan surat adalah Ketua dan Sekretaris, ditandai dengan kode : A-I
2. Jika Penandatangan surat adalah Ketua dan Wakil sekretaris, ditandai dengan kode : A-II
3. Jika Penandatangan surat adalah Wakil Ketua dan Sekretaris, ditandai dengan kode : B-I
4. Jika Penandatangan surat adalah Wakil Ketua dan Wakil sekretaris, ditandai dengan kode : B-II
d. Khusus yang berkaitan dengan Masalah Keuangan organisasi :
1. jika Penandatangan surat adalah Ketua, Sekretaris dan Bendahara/Wakil Bendahara ditandai dengan kode : C-I
2. Jika Penandatangan surat adalah Ketua, Wakil Sekretaris dan Bendahara/Wakil Bendahara ditandai dengan kode : C-II

e. Bulan surat
kode bulan surat sesuai dengan bilangan bulan dan ditulis dengan angka Arab.
f. Tahun Surat
Kode tahun ditulis sesuai dengan bilangan tahun dibuatnya surat.
g. Kode Koorcab/Cabang
Khusus untuk Koorcab dan Cabang mencantumkan kode daerah dan diletakkan setelah kolom tingkat kepengurusan dan periode tingkat kepengurusan. Kemudian untuk komisariat dan rayon cukup menentukan kode cabang yang bersangkutan.
1. Koorcab/cabang yang berada diwilayah Sumatera ditandai dengan kode : U
2. Koorcab/cabang yang berada diwilayah Jawa dan Madura ditandai dengan kode : V
3. Koorcab/cabang yang berada diwilayah Bali dan nusa Tenggara ditandai dengan kode: W
4. Koorcab/cabang yang berada diwilayah Kalimantan ditandai dengan kode : X
5. Koorcab/cabang yang berada diwilayah sulawesi ditandai dengan kode : Y
6. Koorcab/cabang yang berada diwilayah Maluku dan Irian Jaya ditandai dengan kode : Z
7. Kode Koorcab/Cabang dapat dilihat pada daftar kode alamat Koorcab/cabang PMII
Contoh
1. Surat Pengurus Besar
Nomor : 001.PB-XIV.02-001.A-I.09.2002
001 : Nomor urut surat keluar
PB : Pengurus Besar
XIV : Periode ke 14
02 : jenis surat internal khusus
001 : nomor urut surat jenis tersebut
A-I : ditandatangani oleh Ketua Umum dan Sekjend
09 : Bulan ditetapkannya surat
2002 : Tahun Pembuatan Surat
2. Pengurus Koordinator Cabang
Nomor : 027.PKC-XII.Y-0. 01-018.A-II.10.2002
027 : Nomor urut surat keluar
PKC : Pengurus koordinator Cabang
XII : Periode ke 12
Y-0 : kode Koorcab sulawesi Selatan
01 : jenis surat internal (Umum dan Khusus)
018 : nomor urut surat jenis tersebut
A-II : ditandatangani oleh Ketua Umum dan Sekretaris
10 : Bulan ditetapkannya surat
2002 : Tahun Pembuatan Surat
3. Pengurus Cabang
Nomor : 035.PC-XXIX.V-01.02.022.B-I.11.2010
035 : Nomor urut surat keluar
PC : Pengurus Cabang
XVI : Periode ke 29
V-01 : kode Cabang di Jawa Tengah
02 : jenis surat Eksternal (Umum dan Khusus)
022 : nomor urut surat jenis tersebut
B-I : ditandatangani oleh Ketua dan Sekretaris Umum
11 : Bulan ditetapkannya surat
2010 : Tahun Pembuatan Surat
4. Surat Pengurus Komisariat
Nomor : 021.PK-XXIX.V-01.01.045.B-II.12.2010
021 : Nomor urut surat keluar
PK : Pengurus Komisariat
XI : Periode ke 29
V-01 : kode di Jawa Tengah
01 : jenis surat internal (Umum dan Khusus)
045 : nomor urut surat jenis tersebut
B-II : ditandatangani oleh Ketua dan Wakil Sekretaris
12 : Bulan ditetapkannya surat
2010 : Tahun Pembuatan Surat
5. Surat Pengurus Rayon
Nomor : 016.PR-IX.V-01.02-07.A-I.01.2010
016 : Nomor urut surat keluar
PR : Prngurus Rayon
IX : Periode ke 9
V-01 : kode cabang di Jawa Tengah
02 : jenis surat Eksternal (Umum dan Khusus)
07 : nomor urut surat jenis tersebut
A-I : ditandatangani oleh Ketua dan Sekretaris
01 : Bulan ditetapkannya surat
2010 : Tahun Pembuatan Surat
46. Seluruh jenis surat keluar yang dikirim melewati hierarki organisasi secara vertikal, wajib memberikan tembusan.
47. untuk surat kepanitiaan sedapat mungkin mempedomani tatacara penomoran.
48. Penandatangan seluruh jenis surat-surat harus menggunakan tinta warna hitam.
49. Stempel
50. Pembubuhan stempel organisasi pada surat resmmi organisasi diusahakan sedapat mungkin agar tertera ditengah-tengah antara dua tandatangan pengurus dan tidak menutupi nama pengurus yang bertanda tangan.
51. Pengurus yang berwenang stempel organisasi adalah Ketua umum atau sekjen(untuk PB, Ketua umum atau sekretaris Umum (untuk Koorcab/Cabang), dan Ketua atau sekretaris (untuk komisariat dan rayon).
52. Buku Agenda
53. Buku agenda berfungsi untuk mendokumentasikan seluruh jenis surat, baik keluar ataupun surat masuk, agar buku tersebut dapat berfungsi sebagaimana mestinya, maka perlu dipelihara dan disimpan secara baik setelah dipergunakan.
54. Buku agenda harus senantiasa ditempatkan diatas meja kerja, terutama kita sedang membuat surat atau ketika menerima surat dari instansi lain.
55. kolom-kolom yang terdapat dalam buku agenda surat, baik keluar maupun kedalam berjumlah 6 (enam) kolom.
56. Buku Kas
57. Seluruh jenis kegiatan yang berkaitan dengan penerimaan dan pengeluaran dana organisasi, harus tercatat dalam buku kas, terdiri atas :
a. Buku Harian
b. Neraca Bulanan
c. Neraca Tahunan
58. Segala penerimaan dana harus dicatat didalam buku kas bagian kiri (debet) dan pengeluaran dana bagian kanan (Kredit), kelebihan atau kekurangan dalam penjumlahan uang disebut saldo.
59. Pengurus yang berwenang menyimpan dan mempergunakan buku kas adalah bendahara/wakil bendahara, pada setiap jenjang kepengurusan organisasi.
60. Dalam pelaporan bidang keuangan organisasi, kecuali dibuat dalam bentuk neraca, juga dilengkapi dengan kwitansi atau tanda pembayaran dalam pembelian barang-barang untuk kepentingan organisasi.
61. Buku Inventarisasi
62. Buku Inventarisasi berfungsi untuk mencatat seluruh kekayaan atau barang-barang milikorganisasi, agar mudah melakukan pemeliharaan, perawatan dan pemantauan terhadap barang-barang tersebut, sebagai asset organisasi yang dihasilkan dari suatu masa bakti kepengurusan.
63. Model buku inventarisasi untuk semua tingkatan organisasi dibuat dengan 7 kolom.
64. pengurus yang berwenang untuk menyimpan dan melakukan inventarisasi adalah Sekjen/Sekeretaris Umum/Sekretaris disemua tingkatan organisasi.
65. Papan Nama
66. Papan Nama organisasi dipasang dengan seizin pihak yang berwenang, didinding atau halaman muka kantor sekretariat atau tempat yang strategis dan berdekatan dengan sekretariat organisasi.
67. pembuatan papan nama organisasi dan pemasangannya harus memperhatikan ketentuan sebagaimanatercantum pada pedoman umum.
68. Jaket
a. Jaket resmi organisasi digunakan oleh anggota dan fungsionaris pada acara-acara resmi organisasi, termasuk didalamnya rapat-rapat pengurus disemua tingkatan organisasi, serta ketika menghadiri resepsi/acara yang diselenggarakan organisasi lain.
b. Penggunaan jaket secara lengkap dengan peci dan selempang hanya pada acara pelantikan pengurus disemua tingkatan organisasi, resepsi Harlah dan pada setiap upacara pembukaan kegiatan organisasi.
c. Pembuatan jaket resmi harus senantiasa memperhatikan ketentuan pada pedoman umum.
d. Pengurus yang berwenang menggunakan jaket secara lengkap adalah pengurus harian pada semua tingkatan organisasi, terutama Ketua Umum dan Sekjen (untuk PB), Ketua Umum dan Sekretaris umum (untuk PKC/PC), ketua dan sekretaris (untuk Komisariat dan rayon).

69. Peci
a. Peci organisasi digunakan pada acara-acara resmi maupun semi resmi untuk menunjukkan identitas organisasi kepada khalayak umum.
b. peci organisasi digunakan bagi para petugas bidang protokol dan atau anggota pada setiap kegiatan disemua tingkatan organisasi.
c. Pembuatan peci resmi organisasi harus senantiasa memperhatikan ketentuan pada pedoman umum.
70. Selempang
a. Selempang dapat digunakan bersama dengan atau tanpa jaket. Tapi untuk acara sebagaimana ketentuan pada pedoman tehnis harus dengan jaket.
b. jika selempang akan dikenakan, maka sisi bagian luar adalah yang berwarna biru tua dan sisi bagian dalam adalah biru 73 muda. Kemudian pad pertemuan kedua ujung selempang diletakkan lencana besar PMII, pembuatan selempang harus senantiasa memperhatikan ketentuan pada pedoman umum.
71. Lencana
a. Lencana organisasi dapat digunakan pad peci, baju dan benda lainnya, yang bertujuan menunjukkan identitas pada khalayak umum.
b. Penggunaan lencana besar disematkan pada jaket atau selempang dan lencana kecil pad peci atau baju diatas dada sebelah kiri.
c. Pembuatan lencana organisasi harus senantiasa memperhatikan ketentuan pad pedoman umum.
72. Kartu Tanda Anggota
a. KTA diberikan setelah mengikuti MAPABA dan dinyatakan lulus dan sudah dibaiat sebagai anggota PMII
b. KTA digunakan dalam acara-acara resmi organisasi apabila dibutuhkan, misalnya seperti Konggres, Muspim dan lain sebagainya untuk menjadi tanda pengenal bahwa ia benar-benar anggota PMII.
PENUTUP
Pedoman Penyelenggaraan Tertib Administrasi ini akan berfungsi sebagaiman mestinya, jika seluruh anggota dan pengurus disemua tingkatan organisasi berkemauan keras melakukan pedoaman ini secara sungguh-sungguh.

Aswaja Klaim Nahdlatul Ulama Pembakuan terhadap Kemapanan dalam Visi Anak Muda Nahdlatul ‘Ulama* Imam Ghazali MA

Mukaddimah NU sejak berdirinya tahun 1926 mencantumkan istilah aswaja pada Qanun Asasinya.Jadi bagi NU, aswaja adalah doktrin aqidah yang harus dimengerti, ditanamkan secara benar dan dipertahankan oleh pimpinan dan para anggotanya. Dalam perkembangan selanjutnya, konsep Ahlusunnah Waljamaah disingkat Aswaja yang dijabarkan oleh K.H.Bisyri Mustafa dibakukan menjadi Aswaja versi NU. Menurutnya Aswaja adalah golongan muslim yang mengikuti rumusan Abu Hasan Al-Asy’ari dan Abu Mansur Al- Maturidi dalam bidang aqidah dan mengikuti salah satu dari mazhab empat dalam fiqih serta mengikuti Imam Al-Junaid al-Bagdadi dan Abu Hamid al-Ghazali dibidang tasawuf. Dan kesemuanya itu menjadi rangkaian kesatuan yang tak dapat dipisahkan.

Tapi anehnya, ulama NU sejak berdiri sampai saat ini belum sempat melakukan “kajian serius” terhadap pemikiran para tokoh perumus Aswaja tadi. Kevakuman ini mendorong generasi muda NU terutama mereka yang mengenyam pendidikan tinggi, seperti Said Aqil, Masdar F. Mas’udi, Nurhadi Iskandar, Ulil Absar Abdalla dan lain-lain mencoba untuk melakukan “kajian kritis” terhadap keabsahan rumusan tersebut. Apakah betul klaim aswaja sebagai doktrin kelompok tradisional (baca NU) ?.

Jauh sebelumnya, Umar Hasyim dalam bukunya Apakah Anda Temasuk Golongan Ahlussunnah Wal Jamaah menekankan bahwa pengertian Ahlussunnah Wal Jamaah dianut oleh seluruh umat Islam kalangan Sunni dan menolak asumsi bahwa Ahlussunnah Wal Jamaah hanya dianut oleh segolongan tradisional saja.(Lihat, Einar Matahan Sitompul,Mth, NU dan Pancasila, footnote, hal 70)

Walhasil, dengan melihat latar belakang intelektualitas para perumus Aswaja model NU dan kondisi sosialogis masyarakat Indonesia pada awal berdirinya NU, secara apriori ada satu keyakinan bahwa konsepsi Aswaja model NU tidak dimaksudkan sebagai defenisi mutlak dan oleh karenanya sangat kondisional dan temporal.

Aswaja dalam Konteks Historis

Kaum muslimin pada masa Rasullullah SAW adalah umat yang satu, tidak terkotak-kotak dalam aneka kecenderungan, baik kabilah, paham keagamaan, ataupun visi sosial politik. Segala masalah yang muncul segera teratasi dengan turunnya wahyu dan disertai dengan pengarahan dari Rasullulah SAW. Walaupun tradisi kaum muslimin yang cukup dinamis dan terkendali pada waktu itu. Konon Rasulullah SAW sering memfrediksi “kondisi nyaman” ini akan segera pudar sepeninggal beliau. Prediksi Rasullulah SAW itu terungkap dalam beberapa hadits, yang biasanya diawali dengan kata-kata “saya’ti ala ummati Zaman” (umatku akan sampai pada suatu masa), “sataf tariqu ummati” (umatku akan terpecah) dan seterusnya.

Berdasarkan hadits “model Prediksi” itulah istilah Ahlusunnah Wal Jamaah ditemukan. Rasulullah SAW.bersabda :”Umatku akan terpecah menjadi 73 golongan, hanya satu golongan yang selamat dan yang lain binasa”. Ditanyakan :Siapakah golongan yang selamat itu ? Rasulullah menjawab Ahlussunnah Wal Jamaah. Ditanyakan: apa Ahlussunnah Wal Jamaah itu ?. Rasulullah menjawab: “apa yang aku dan sahabat-sahabatku lakukan saat ini”

Hadits “iftiraqul ummah” diatas seperti yang dikatakan Abdul Qahir, mempunyai banyak isnad dan banyak sahabat yang meriwayatkannya. Namun demikian, ulama berbeda pendapat tentang keshahihan hadits tersebut.

Yang pertama: berpendapat dhaif dengan hujjah tak satu pun dari sekian isnad yang tidak mengandung perawi dhaif . Yang kedua: berpendapat muhtajju bihi dengan alasan: meskipun tidak satu pun isnad yang tidak mengandung perawi dhaif tapi banyaknya isnad dan sahabat yang meriwayatkan, memperkuat dugaan adanya hadits tersebut.(lihat :Al-Baghdady, Al-farqu Bainal firaq,Hal 7 catatan kaki).

Jadi, jika hadits itu shahih Aswaja sebagai informasi yang akan muncul kemudian, sudah dikenal sejak masa Rasulullah SAW,.tetapi Aswaja sebagai realitas komunitas muslim belum ada pada masa itu. Atau dengan kata lain kaum muslimin pada masa Rasulullah itulah Aswaja; berdasarkan hadits tadi “ma ana alaihi al-yauma wa ashhabi” bahwa aswaja adalah sikap dan amalan yang kulakukan sekarang bersama sahabat-sahabatku. Jadi amalan (Sunnah) Rasul yang bersama para sahabat itulah yang disebut Aswaja. Yaitu ketika kaum muslimin tidak terkotak-kotak dalam kecenderungan misi politik. Ternyata setelah beliau wafat, para sahabat sudah terkotak dalam kecenderungan politik tertentu. Dengan mengikuti logika “asap dan api”, isu “iftiragul ummah” dari prediksi Rasul menjadi kenyataan dan adanya satu firqah (golongan) yang selamat, sudah dikenal pada masa sahabat. Akan tetapi klaim sebagai Aswaja belum ada pada masa sahabat. Dengan demikian pada masa khulafaurrasyidin pun masih dipertanyakan apakah masuk dalam kriteria ma ana ‘alaihi al-yauma wa ashhabi ?

Setelah beliau wafat, kecenderungan politik dengan segala frediksinya mulai tampak ke permukaan, antara golongan Anshar, Muhajirin, dan Ahlul Bait. Tetapi .frediksi itu segera teratasi, setelah mayoritas umat sepakat membaiat Abu Bakar, kemudian Umar, Usman, dan Ali sebagai pimpinan tertinggi kaum muslimin (khalifah-Khulafa). Tetapi itu bukan berarti frediksi kecenderungan politik pudar pada masa yang dikenal dengan era Khulafa al-.Rasyidin itu. Frediksi itu terus berkembang dan menunggu waktu yang kondusif untuk muncul.

Usman yang tewas secara tragis dan naiknya Ali sebagai khalifah dianggap oleh para sejarawan sebagai titik kulminasi munculnya friksi politik yang terpendam pada masa Abu Bakar dan Umar. Kejadian ini dikenal dengan Fitnah Kubra yang pertama. Dan dari sinilah visi politik kaum muslimin sulit dipadamkan bahkan mengarah pada konfrontasi yang terus menerus.

Berangkat dari konfrontasi fitnah kubra I yang segera diikuti perang shiffin sebagai fitnah kubra II, visi dan friksi politik kaum muslimin sudah sulit untuk disatukan kembali. Semua golongan yakin akan “kebenaran” visi politiknya. Atas dasar keyakinan itulah semua golongan membangun tradisi intelektual dari semua lini disiplin ilmu keislaman yang berkembang. Masing- masing golongan sibuk meligitiasi Qur’an, hadits dan atsar para sahabat sesuai dengan kecenderungan politik mereka masing-masing.

Landasan tradisi intelektual diatas, akhirnya semakin kokoh, setelah kaum muslimin berinteraksi dengan ragam budaya lokal, seperti Parsi, India, Asyuri, Finiqi, Zoroaster Masehi, Yahudi, dan yang paling menonjol adalah tradisi Hellenisme Yunani.

Kapan Klaim Aswaja pada Suatu Golongan Tertentu Muncul ?

Pendapat pertama: Sejak akhir Khulafatur-Rasyidin sampai tumbangnya Dinasti Umayah, komunitas aswaja sebetulnya belum muncul. Istilah ini juga tidak dikenal dalam pengajian (halaqah-halaqah) Hasan al-Basri (22-110 H). Komunitas yang paling menonjol pada masa Dinasti Umayah adalah:Umayah. Alawiyyin yang berkoalisi dengan Abbasiyyin menjadi Hasyimiyyin, Mu’tazilah, Hasyawiyah, Khawarij, dan Ahlul Hadits.

Kemudian pada awal Dinasti Abbasiyah komunitas Ahlul-Hadits mulai nampak eksistensinya. Ini berawal sejak digulirkannya mihnah khuluqul Al-Quran oleh imam Ahmad bin Hanbal sebagai tokoh sentralnya.

Dari paparan diatas, diskursus pemikiran yang paling menonjol dan berpengaruh pada tatanan sosial dan politik pada abad kedua dan ketiga Hijriyah (masa Abbasiyah I) adalah rasional Mu’tazilah yang berhadapan dengan golongan tektualis Ahlus Hadits Hanabilah. Golongan terakhir inilah kemudian mengklaim diri mereka sebagai aswaja

Pendapat kedua; Menurut Abu Hatim Ar-Razi, seorang penganut Syiah Ismailiyah (wafat 322 H), tema Aswaja mulai populer dikalangan bani Umayyah setelah padamnya pemberontakan Hasan, Husein dan Ibnu Zubair. Pendukung Bani Umayyah berkata,“kami adalah ahlul Jamaah Siapa menentang kami berarti menentang umat dan meninggalkan sunnah.Kami adalah ahlusunnah wal Jamaah”. Ar-Razi mengomentari peristiwa itu dengan mengatakan, “maksud mereka adalah menyepakati satu pemimpin meskipun berbeda pendapat dan mazhab” (lihat Ibrahim Hâkat, Assiyâsah wa Al-Mujtamâ’fi ‘Ashri Al-Umawy, hal .295) Dengan mengacu pada pendapat Ar.-Razi, berarti klaim aswaja pertama kali dimunculkan oleh bani umayyah untuk menunjuk pada golongan politik dan bukan aqidah.

Pendapat ketiga; Muhammad Abduh dalam Risalat at tauhid menjelaskan bahwa aswaja adalah klaim pendukung dan pengikut Al-Asy’ari (wafat 303 H) seperti Imam Haramain, Al- Isfiayny dan Abu Bakar Al-Baqilany untuk pendapat beliau. (lihat Muhammad Abduh, Risâlatut Tauhid, hal 11).Secara implisit Abduh mengatakan bahwa tema aswaja baru muncul pada awal abad empat, dan untuk menunjuk golongan aqidah. Dari pendapat kedua dan ketiga dapat disimpulkan bahwa istilah aswaja belum ada pada masa pemulaan Islam. Sebab pada waktu itu umat Islam masih dalam kondisi Ummatun Wahidah.

Perpecahan umat Islam akibat perbedaan haluan politik pada masa sahabat memang melahirkan kelompok-kelompok. Akan tetapi tak satu pun kelompok diberi nama Aswaja. Baru pada masa pemerintahan dinasti Umayyah, kelompok itu mengklaim dirinya sebagai kelompok Aswaja. Begitu juga ketika Ma’bad Al-Juhany, Ghoylan Ad-Dimasyqy dan Yunus Al-Asway pada masa akhir sahabat mempermasalahkan qadla dan qadar (lihat Syahrasyatany, Milal wan Nihal,hal.22), lahir kelompok-kelompok dengan aqidah masing-masing. Namun tak satu pun kelompok yang dijuluki sebagai Aswaja. Baru setelah Asy’ari memodernisasi ekstrem aqal dan ekstrem naql dalam aqidahnya, para pengikutnya memproklamirkan diri sebagai Aswaja. Dari fakta diatas ada indikasi bahwa munculnya klaim Aswaja merupakan upaya mendapatkan kemenangan psikologis bagi suatu golongan.

Siapakah Ahlussunnah Wal Jamaah ?

Hadits prediksi Rasul tentang iftiraqul ummah tidak menunjuk dengan sharih orang-orang yang termasuk dalam golongan Aswaja. Ia hanya memberikan petunjuk secara global bahwa Aswaja adalah orang-orang yang mengikuti “jejak Nabi dan Sahabat” bisa berbeda antara satu orang dengan yang lain atau satu golongan dengan golongan lain.

Secara etimologis Ahlussunnah Wal Jamaah terdiri dari tiga kata, yaitu: ahl; keluarga, kelompok, golongan, dan komunitas, al-sunnah; tradisi, jalan, kebiasaan dan perbuatan sedang al-jamaah; kebersamaan, kolektifitas, komunitas, mayoritas dan lain-lain. Tiga rangkaian kata diatas, kemudian berkembang menjadi istilah bagi sebuah komunitas muslim yang secara konsisten bepegang teguh kepada tradisi (sunnah) Nabi Muhammad Saw dan sebagai landasan normatif setelah Al-Qur.’an, dan selalu mengikuti alur pemikiran dan sikap mayoritas kaum muslimin. Dengan kata lain Ahlussunnah adalah golongan mayoritas. Bila bani Umayyah mengklaim sebagai kelompok mayoritas maka Syiah pun membalasnya dengan klaim yang sama. Bahkan mereka mengatakan bahwa bani Umayyah adalah kelompok separatis. (Ibahim Haokat,As-Siyasah wal Mujtama’ i Ashil Umawy, hal 318)

Jadi pendefenisian Aswaja oleh bani Umayyah tidak mereduksi globalitas konsep Aswaja dalam hadits. Aswaja masih saja tidak mempunyai ciri dan karakteristik tertentu yang bisa menunjuk pada kelompok tertentu

Konsepsi Aswaja baru mendapatkan karakteristik politis dan theologis ketika para pendukung Asy’ari memproklamasi kan diri sebagai Aswaja. Meskipun Asy’ari dikenal sebagai theolog,wa bittalii mazhab yang didirikan adalah mazhab theologi, akan tetapi perbedaan umat Islam dalam aqidah pada waktu itu interen dengan perbedaan politis. Sehingga mazhab theologi Asya’ri juga mencakup pendapat beliau tentang khilafah .

Al-Baqdhadi (wafat29 H) dalam alfarqu bainal firaq, mengembangkan cakupan Aswaja dan Beliau tidak memasukkan merumuskan konsepnya dengan karakteristik yang lebih jelas. Menurutnya ada lima belas pokok aqidah yang harus diketahui oang mukallaf. Dan orang yang mempunyai pendapat berbeda dengan 15 aqidah tersebut maka orang itu tersesat.Beliau juga membagi kelas kelas Aswaja menjadi delapan yaitu: mutakallimin, fuqaha, muhaditsin,mufassirin,ulamaahl lughah, mutashawwifin, orang-orang yang berjihad dan orang-orang yang mengikuti pendapat ulama Aswaja.

Beliau tidak memasukkan Khawarij, Qadariyyah, Syi’ah dan lain-lain dalam kelompok Aswaja karena menurutnya mereka adalah orang-orang yang mencela, mengfasikkan para sahabat bahkan mengkafirkannya. Padahal Aswaja adalah orang yang mengikuti jejak sahabat.

Ada beberapa catatan yang perlu disampaikan bahwa:

1. Dalam menafsirkan Aswaja ,Al-Bagdâdy tidak menyebut-nyebut dalil naqli. Penafsirannya hanya didukung pemahaman aqal terhadap lafadz ashhaby.
2. Al-Bagdady memasukkan kelompok mutasawwifin dalam kelompok aswaja, padahal fuqaha menentang keras aliran tersebut.
3. kelima belas kelompok yang ditetapkan Al-Bagdady adalah masalah-masalah yang sedang diperdebatkan.

Jadi dari pembahasan diatas bisa disimpulkan bahwa perumusan Aswaja yang kemudian dibakukan adalah pengintian masalah-masalah aqidah yang sedang diperdebatkan dan penetapan salah satu pendapat yang dianggap sesuai dengan pendapat mayoritas sahabat.

Konsep Aswaja Versi NU

“Hai para ulama dan pemimpin yang takut kepada Allah dari kalangan Ahlussunnah Wal Jamaah dan pengikut mazhab imam empat! Kalian sudah menuntut ilmu agama dari orang-orang yang hidup sebelum kalian,begitu pula generasi sebelumnya dengan bersambung sanadnya sampai pada kalian. Begitu juga kalian harus melihat dari siapa kalian menuntut ilmu agama Islam. Karena dengan cara menuntut ilmu pengetahuan seperti itu maka kalian menjadi pemegang kuncinya, bahkan menjadi pintu gerbangnya ilmu agama Islam. Oleh karenanya janganlah memasuki satu rumah kecuali melalui pintunya. Barang siapa yang memasuki satu rumah tidak melalui pintunya maka ia adalah pencuri”. (Einar,opcit,hal 69).

Demikian Hadatus Syekh Hasyim Asy’ari mulanya merumuskan aswaja.

Yang menarik dari perumusan diatas adalah disebutkannya Pengikut Imam Mazhab Empat. Ini satu indikasi bahwa penekanan aswaja mulanya pada permasalahan figh yang dalam hal ini adalah masalah taqlid terhadap imam empat. Hal ini bisa dimengerti karena perbedaan esensial yamg terjadi antara kelompok pembaharu dengan kelompok tradisional adalah masalah taqlid dan ijtihad.

Tetapi mengapa hanya pendapat imam yang empat dianut? Jawaban yang sering terdengar adalah hanya imam empat itulah yang mazhabnya terkodifikasi lengkap sehingga sampai ke tangan kita dengan selamat. Adapun mazhab lainnya belum terkodifikasi secara lengkap sehingga pendapatnya tidak utuh sampai ke tangan kita. Kalau benar ini alasannya, maka ada satu kejanggalan, mengapa madzhab Ad-Dzahiri dengan mengacu kitab al-Muhallâ Ibnu Hazm tidak diikuti. Padahal Ibnu Hazm juga disebut oleh Al-Baghdadi sebagai ulama Ahlussunnah.

Jika NU merumuskan Aswaja dengan menyebut para tokoh bersama rumusannya sebagai panutan yang harus diikuti dapat diartikan bahwa NU ingin memadukan pemahaman ajaran islam yang mengandung unsur-unsur yang terjadi pada abad II, III, IV, V, dan VI Hijriyah.

Definisi yang dirumuskan (hasil penjabaran KH.Bisyri Mustafa) adalah sebagai berikut : satu, menganut ajaran-ajaran imam madzhab dari salah satu empat madzhab dalam bidang fiqih. Kedua, menganut ajaran Imam Abu Hasan al-Asy’ari dan Imam Abu Mansur al-Maturidi dalam bidang tauhid. Ketiga, menganut dasar-dasar ajaran Imam Abu Qasim Al-Junaidy dan Ghazali dalam bidang tasawwuf

Rumusan pada point kedua menegaskan corak ke-Aswaja-an NU dan sikap kaum tradisional terhadap gerakan pembaruan, sedang pada point ketiga merupakan sikap penerimaan NU terhadap paktek tasawuf dengan menyeleksi tasawuf yang benar.

Bila kita bandingkan dengan konsepsi Aswaja Al-Baghdadi, setidaknya ada dua hal yang berbeda ; Pertama, Aswaja versi NU tidak menyebutkan pandangannya tehadap masalah khilafah. Hal ini bisa dimengerti, karena Islam yang masuk di Indonesia bukan Islam Syiah juga bukan Khawarij oleh karenanya perbedaan umat Islam di Indonesia tidak berkisar pada masalah itu. Kedua, Aswaja model NU langsung dengan jelas menunjuk pada aliran tasawuf tertentu, yang itu tidak masuk dalam konsepsi Aswaja Al-Baghdadi. Jadi mengacu pada hal diatas bisa disimpulkan bahwa Aswaja model NU di satu sisi merupakan reaksi terhadap gerakan pembaruan dan di sisi lain merupakan pengakuan tehadap praktek keagamaan yang berkembang saat itu.

Jika rumusan NU diatas dimaksudkan mendefinisikan Aswaja, maka definisi itu mengandung beberapa kelemahan; pertama, para imam madzhab fiqih tidak mungkin secara teologis mengikuti rumusan al-Asy’ari dan al-Maturidi, karena masa hidup imam madzhab itu jauh lebih awal sebelum Al-Asy’ari lahir malah yang terjadi Al-Asy’ari dalam fiqih mengikuti Imam Syafi’i, dan al-Maturidi mengikuti madzhab Hanafi. Kedua, Imam Junaidi tidak mungkin mengikuti teologi al-Asy’ari dan Al-Maturidi, karena yang pertama hidup satu abad sebelum tokoh kedua dan ketiga lahir. Junaidi juga tidak dikenal sebagai pengikut salah satu mazhab fiqih. Ketiga, Al-Ghazali walau pun sebagai pelanjut teologi al-Asy’ari dan pengikut madzhab Syafi’i dalam kategori tasawuf, ia bisa dikategorikan sebagai pengembang teori tasawuf liberal, seperti yang dikembangkan al-Hallaj. Keempat, rumusan teologi al-Asya’ri sampai saat ini masih simpang siur. Dalam kitab al-Ibanah, ia secara gamblang mengecam Mu’tazilah karena sering mentakwil ayat-ayat mutasyabihat, seraya memuji Ahmad bin Hambal yang tak mau mentakwil. Ia sendiri menisbatkan diri sebagai pelanjut perjuangan Ahmad bin Hambal. Tetapi dalam kitab Al-Luma’ dan Istihsan, ia mentakwil ayat-ayat mutasyabihat, dan memuji Mu’tazilah sebagai golongan Islam yang cerdas dan berjasa membentengi aqidah Islam dari serangan teologi Masehi, Yahudi, Hellenisme, dan lain-lain. Dalam dua kitab itu, ia menuduh kelompok Hambali , sebagai “bodoh” dan jumud.

Dilain pihak, golongan Al-Asya’ari dan al-Maturidi dituduh sebagai zindiq yang menyesatkan kaum muslimin. bahkan Ibnu Taimiyah dalam beberapa kitabnya mengkafir-kan Al-Asy’ari, jadi studi terhadap pemikiran teologi Al-Asy’ari masih perlu diungkap secara tuntas.

Buku-buku yang terbit di Saudi Arabia cenderung untuk mengatakan bahwa teologi Asy’ari tidak berbeda dengan teologi yang dikembangkan oleh Ahmad bin Hambal dan Ibnu Taimiyah. Studi komprehensif tentang Al-Asy’ari ditulis oleh Dr. Hamudah Gharabah menyimpulkan bahwa al-Asy’ari merupakan pemikir yang mampu mengambil jalan tengah antara kecenderungan filosofis dan tektualis dalam menganalisa sifat-sifat dan kekuasaan Tuhan. Kiranya pendapat terakhir inilah yang dianut oleh warga NU.

Penutup: Agenda Aswaja di Era Modern

Rumusan NU diatas, walaupun mengandung beberapa kelemahan, harus dipahami sebagai upaya dini untuk meresponi perkembangan pemikiran yang tak akan keluar dari bingkai pemaduan secara seimbang antara landasan normatif Qur’an dan Hadits, dan pengembangan penalaran. Rumusan ini juga harus dipahami sebagai metode untuk menyeleksi budaya lokal dan budaya asing yang masuk ke dunia Islam yang selalu berkembang.

Karena rumusan itu kita anggap mengikuti metode berpikir pada tokoh, maka harus ada terobosan untuk merenovasi dalam berbagai bidang pemikiran, dengan tujuan kemaslahatan kaum muslimin secara menyeluruh dan melindungi hak-hak asasi manusia, sebagai realisasi Islam yang membawa rahmat bagi alam semesta.

Hal yang paling mendesak untuk dirumuskan pada era modern ini adalah sebagai berikut, pertama, hubungan Islam dan negara yang sudah terkotak dalam nation state. Kedua, hubungan Syari’ah Islam dengan hukum publik baik nasional maupun internasional. Ketiga, konsep pemberdayaan rakyat menuju masyarakat yang musyawarah dan terbebas dari belenggu penghambaan. Keempat, konsep keadilan ekonomi, politik dan hukum.

Ketika perdebatan aqidah makin marak dengan munculnya aliran Qadariyah dan Jabariyah, lahirlah al-Asy’ari seorang teolog yang ingin mengembalikan pemahaman aqidah seperti pemahaman kaum salaf dengan memoderasi eksterm aqal dan ekstrem naql. Oleh pengikut dan pendukung nya, pendapat-pendapat beliau diklaim sebagai Aswaja. Awalnya pengertian Aswaja hanya sebatas pada kelompok aqidah, namun kemudian berkembang dan mencakup kelompok dalam mazhab fiqih.

Konsep Aswaja baru mempunyai ciri dan karakteristik tertentu setelah al-Baghdady merumuskan beberapa aqidah yang menjadi ciri khas Aswaja. Akan tetapi perumusan Al- Baghdady lebih banyak didasarkan pada pelacakan terhadap kelompok mayoritas pada setiap era.

Perumusan berikutnya dilakukan NU yang intinya merupakan penyempitan terhadap konsep Aswaja Al-Baghdady. Hal itu terjadi karena dasar keberdirian NU dari satu sisi merupakan reaksi terhadap gerakan pembaruan dan sisi lain merupakan pengakuan terhadap praktek keagamaan yang berlaku saat itu. Oleh karena itu Aswaja model NU tidak bersifat mutlak dan universal. Dan bisa juga Aswaja NU direvisi mengingat perkembangan keislaman yang terjadi. Bahkan boleh jadi konsep Aswaja ditiadakan karena akan mempersempit cakupan Aswaja itu sendiri. Wal- Lâhu al musta’ân

sumber : http://pcinu-mesir.tripod.com/ilmiah/jurnal/isjurnal/nuansa/Apr97/4.htm

MEMAHAMI ASWAJA H.Abdurrahman Navis, Lc. MHI*

I. Definisi dan Historis

ASWAJA adalah kepanjangan kata dari “ Ahlussunnah waljamaah”. Ahlussunnah berarti orang-orang yang menganut atau mengikuti sunnah Nabi Muhammad SAW, dan waljamaah berarti mayoritas umat atau mayoritas sahabat Nabi Muhammad SAW. Jadi definisi Ahlussunnah waljamaah yaitu; “ Orang-orang yang mengikuti sunnah Nabi Muhammad SAW dan mayoritas sahabat ( maa ana alaihi wa ashhabi ), baik di dalam syariat (hukum Islam) maupun akidah dan tasawuf”.

Istilah ahlussunnah waljamaah tidak dikenal di zaman Nabi Muhammad SAW maupun di masa pemerintahan al-khulafa’ al-rasyidin, bahkan tidak dikenal di zaman pemerintahan Bani Umayah ( 41 – 133 H. / 611 – 750 M. ). Istilah ini untuk pertama kalinya di pakai pada masa pemerintahan khalifah Abu Ja’far al-Manshur (137-159H./754-775M) dan khalifah Harun Al-Rasyid (170-194H/785-809M), keduanya dari dinasti Abbasiyah (750-1258). Istilah ahlussunnah waljamaah semakin tampak ke permukaan pada zaman pemerintahan khalifah al-Ma’mun (198-218H/813-833M).

Pada zamannya, al-Ma’mun menjadikan Muktazilah ( aliran yang mendasarkan ajaran Islam pada al-Qur’an dan akal) sebagai madzhab resmi negara, dan ia memaksa para pejabat dan tokoh-tokoh agama agar mengikuti faham ini, terutama yang berkaitan denga kemakhlukan al-qur’an. untuk itu, ia melakukan mihnah (inquisition), yaitu ujian akidah terhadap para pejabat dan ulama. Materi pokok yang di ujikan adalah masalah al-quran. Bagi muktazilah, al-quran adalah makhluk (diciptakan oleh Allah SWT), tidak qadim ( ada sejak awal dari segala permulaan), sebab tidak ada yang qadim selain Allah SWT. Orang yang berpendapat bahwa al-quran itu qadim berarti syirik dan syirik merupakan dosa besar yang tak terampuni. Untuk membebaskan manusia dari syirik, al-Ma’mun melakukan mihnah. Ada beberapa ulama yang terkena mihnah dari al-Ma’mun, diantaranya, Imam Ahmad Ibn Hanbal ( 164-241H).

Penggunaan istilah ahlussunnah waljamaah semakin popular setelah munculnya Abu Hasan Al-Asy’ari (260-324H/873-935M) dan Abu Manshur Al-Maturidi (w. 944 M), yang melahirkan aliran “Al-Asy’aryah dan Al-Maturidyah” di bidang teologi. Sebagai ‘perlawanan’ terhadap aliran muktazilah yang menjadi aliran resmi pemerintah waktu itu. Teori Asy’ariyah lebih mendahulukan naql ( teks qu’an hadits) daripada aql ( penalaran rasional). Dengan demikian bila dikatakan ahlussunnah waljamaah pada waktu itu, maka yang dimaksudkan adalah penganut paham asy’ariyah atau al-Maturidyah dibidang teologi. Dalam hubungan ini ahlussunnah waljamaah dibedakan dari Muktazilah, Qadariyah, Syiah, Khawarij, dan aliran-aliran lain. Dari aliran ahlussunnah waljamaah atau disebut aliran sunni dibidang teologi kemudian juga berkembang dalam bidang lain yang menjadi cirri khas aliran ini, baik dibidang fiqh dan tasawuf. sehingga menjadi istilah, jika disebut akidah sunni (ahlussunnah waljamaah) yang dimaksud adalah pengikut Asy’aryah dan Maturidyah. Atau Fiqh Sunni, yaitu pengikut madzhab yang empat ( Hanafi, Maliki, Syafi’I dan Hanbali). Yang menggunakan rujukan alqur’an, al-hadits, ijma’ dan qiyas. Atau juga Tasawuf Sunni, yang dimaksud adalah pengikut metode tasawuf Abu Qashim Abdul Karim al-Qusyairi, Imam Al-Hawi, Imam Al-Ghazali dan Imam Junaid al-Baghdadi. Yang memadukan antara syari’at, hakikat dan makrifaat.

II. Memahami Hadits Firqah

Ada beberapa riwayat hadits tentang firqah atau millah ( golongan atau aliran) yang kemudian dijadikan landasan bagi firqah ahlussunnah waljamaah. Sedikitnya ada 6 riwayat hadits tentang firqah/millah yang semuanya sanadnya dapat dijadikan hujjah karena tidak ada yang dloif tetapi hadits shahih dan hasan. Dari hadits yang kesimpulannya menjelaskan bahwa umat Rasulullah akan menjadi 73 firqah, semua di neraka kecuali satu yang di surga. itulah yang disebut firqah yang selamat الفرقة الناجية)). Dari beberpa riwayat itu ada yang secara tegas menyebutkan; ( أهل الســنة والجمــاعة“) ahlussunnah waljamaah”. ataub “aljamaah”. (الجماعة Tetapi yang paling banyak dengan kalimat; “ maa ana alaihi wa ashhabi” (( ماأنا عليه وأصحا . baiklah penulis kutipkan sebagian hadits tentang firqah atau millah:.

عن عبد الله بن عمرو قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ” لبأتين على أمتي ما أتى على بني اســــرائيل حذو النعل بالنعل حتى ان كان منهم من بأتي أمه علانية لكان في أمتي من يصنع ذالك , وان بني اســـرائيل تفرقت على ثنتين وســبعين ملة, وتفترق أمتي على ثلاث وســبعين ملة كلهم فى النار الا واحدة قالوا ومن هي يا رسول الله ؟ قال : ” مـــا أنا عليه وأصـــحابي”. ( الترمذي و الآجري واللا لكائي وغيرهم. حـــسن بشــواهد كثيرة )

Artinya: Dari Abillah Bin ‘Amr berkata, Rasulullah SAW bersabda: “ Akan datang kepada umatku sebagaimana yang terjadi kepada Bani Israil. Mereka meniru perilakuan seseorang dengan sepadannya, walaupun diantara mereka ada yang menggauli ibunya terang-terangan niscaya akan ada diantara umatku yang melakukan seperti mereka. Sesungguhnya bani Israil berkelompok menjadi 72 golongan. Dan umatku akan berkelompok menjadi 73 golongan, semua di neraka kecuali satu. Sahabat bertanya; siapa mereka itu Rasulullah? Rasulullah menjawab: “ Apa yang ada padaku dan sahabat-sahabatku “ ( HR. At-Tirmidzi, Al-Ajiri, Al-lalkai. Hadits hasan )

عن أنس بن مــالك قال : قال رســول الله صــلى الله عليه وســلم : ” ان بني اســرائيل افترقت على احدى وســبعين فرقة , وان أمتي ستفترق على ثنــتين وسبعين فرقــة كلها في النار الا واحدة, وهي الجمــاعة ” ( ابن ماجه وأحمد واللا لكائي وغيرهم. هذا اســـناد جيد )

Artinysa: Dari Anas bin Malik berkata, rasulullah SAW bersabda; “ Sesungguhnya bani Israil akan berkelompok menjadi 71 golongan dan sesungguhnya umatku akan berkelompok menjadi 72 golongan, semua di neraka kecuali 1 yaitu al-jamaah”. ( HR.Ibn Majah, Ahmad, al-lakai dan lain. Hadits sanad baik )

Dari pengertian hadits diatas dapat difahami dan disipulkan sebagai berikut:

Penganut suatu agama sejak sebelum Nabi Muhammad (Bani Israil) sudah banyak yang ‘menyimpang’ dari ajaran aslinya, sehingga terjadi banyak interpretasi yang kemudian terakumulasi menjadi firqah-firqah.

Umat Nabi Muhammad juga akan menjadi beberpa firqah.namun berapa jumlahnya? Bilangan 73 apakah sebagai angka pasti atau menunjukkan banyak, sebagaimana kebiasaan budaya arab waktu itu?.

Bermacam-macam firqah itu masih diakui oleh Nabi Muhammad SAW sebagai umatnya, berarti apapun nama firqah mereka dan apaun produk pemikiran dan pendapat mereka asal masih mengakui Allah sebagai Tuhan, Muhammad sebagi Nabi dan ka’bah sebagai kiblatnya tetap diakui muslim. Tidak boleh di cap sebagai kafir. ‘lahu ma lana wa alaihi ma alainaa.’

Pengertian semua di nereka kecuali satu, yaitu mereka yang tidak persis sesuai dengan sunnah Nabi dan para sahabatnya akan masuk neraka dahulu tapi tidak kekal didalmnya yang nantinya akan diangkat ke surga kalau masih ada secuil iman dalam hatinya. Sedangkan yang satu akan langsung ke surga tanpa mampir di neraka dahulu.

الفرقة النـاجية (kelompok yang selamat) adalah mereka yang mengikuti sesuai apa yang dicontohkan Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya ماأناعليه وأصحـابه ) yang mungkin berada di berbagai tempat, masa dan jamaah. tidak harus satu organisasi, satu negara, satu masa atau satu partai dan golongan

III. Ahlussunnah Waljamaah versi KH. Hasyim Asy’ari

KH. Hasyim Asy’ari, Rais Akbar Nahdlatul Ulama’ memberikan tashawur (gambaran) tentang ahlussunnah waljamaah sebagaimana ditegaskan dalam al-qanun al-asasi, bahwa faham ahlussunnah waljamaah versi Nahdlatul Ulama’ yaitu mengikuti Abu Hasan al-asy’ari dan Abu Manshur al-Maturidi secara teologis, mengikuti salah satu empat madzhab fiqh ( Hanafi, Maliki, Syafi’I dan Hanbali) secara fiqhiyah, dan bertashawuf sebagaimana yang difahami oleh Imam al-Ghazali atau Imam Junaid al-Baghdadi.

Penjelasan KH. Hasyim Asy’ari tentang ahlussunnah waljamaah versi Nahdlatul Ulama’ dapat difahami sebagai berikut:

1. Penjelasan aswaja KH Hasyim Asy’ari, jangan dilihat dari pandangan ta’rif menurut ilmu Manthiq yang harus jami’ wa mani’ (جامع مانع) tapi itu merupakan gambaran (تصــور) yang akan lebih mudah kepada masyarakat untuk bisa mendaptkan pembenaran dan pemahaman secara jelas ( تصــد يق). Karena secara definitif tentang ahlussunnah waljamaah para ulama berbeda secara redaksional tapi muaranya sama yaitu maa ana alaihi wa ashabii.

2. Penjelasan aswaja versi KH. Hasyim Asy’ari, merupakan implimentasi dari sejarah berdirinya kelompok ahlussunnah waljamaah sejak masa pemerintahan Abbasiyah yang kemudian terakumulasi menjadi firqah yang berteologi Asy’ariyah dan Maturidiyah, berfiqh madzhab yang empat dan bertashuwf al-Ghazali dan Junai al-Baghdadi

3. Merupakan “Perlawanan” terhadap gerakan ‘wahabiyah’ (islam modernis) di Indonesia waktu itu yang mengumandangkan konsep kembali kepada al-quran dan as-sunnah, dalam arti anti madzhab, anti taqlid, dan anti TBC. ( tahayyul, bid’ah dan khurafaat). Sehingga dari penjelasan aswaja versi NU dapat difahami bahwa untuk memahami al-qur’an dan As-sunnah perlu penafsiran para Ulama yang memang ahlinya. Karena sedikit sekali kaum m uslimin mampu berijtihad, bahkan kebanyakan mereka itu muqallid atau muttabi’ baik mengakui atau tidak.

IV. Kesimpulan

Dari pemaparan penulis tentang ahlussunnah waljamaah, secara historis, teks hadits dan penjelasan KH. Hasyim Asy’ari, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:

Secara historis, ahlussunnah waljamaah menjadi nama sebuah firqah pada masa pemerintahan abbasiah, akibat dari pergolakan pemikiran antara muktazilah dan kelompok lain. Dalam pandangan ini ahlussunnah waljamaah adalah sebuah “al-manhaj al-fikri”.

Pengklasifikasian firqah islam menjadi 73 adalah sebuah prediksi Rasulullah sesuai system berfikir yang akan berkembang di masa yang akan datang dalam memahami ajaran islam. Tapi semua kelompok itu masih dalam bingkai umat Nabi Muhammad dan tidak sampai keluar dari din al-islam.

Kelompok yang selamat adalah sebuah prilaku dari perorangan atau kelompok yang mengikuti sunnah Nabi dan para sahabatnya. Lintas organisasi, partai, madzhab, negara, generasi, tokoh atau lainnya

Nahdlatul Ulama’ mengaku sebagai kelompok ahlussunnah waljamaah tapi aswaja tidak hanya NU. Bias saja orang mengaku NU tapi dalam pemahamannya tentang islam tidak sesuai dengan konsep aswaja. Jadi bisa saja seorang berada di golongan yang bukan NU tapi keyakinannya sesuai dengtan konsep ASWAJA.

Reinterpretasi sebuah konsep aswaja adalah kembali kepada pemahaman as-salaf as-shaleh yang paling dekat dengan system hidup Rasulullah dan sahabatnya. Dan upaya mencari kebenaran adalah dengan menggunakan pisau analisis para mujtahidin yang diakui kemampuan dan keikhlasannya dalam memahami islam. Bukan hanya dengan sebuah wacana yang dikembangkan oleh orientalis yang berusaha membius pemikir muslim dan menghancurkan islam dari dalam. Wallahu a’lam bis-shawab.

Bahan Pustaka:

1. Al-fashl fi al-milal wa al-ahwa’ wa an-nihal. Al-Imam Ibn Hazm Ad-dzahiri Al-Andalusi.
2. Ahlussunnah waljamaah; maalim al-inthilaqah al-kubra. Muhammad Abdul Hadi Al-Mishry
3. Al-Qanun Al-Asasi. KH. Hasyim Asy’ari
4. Ensiklopedi Islam. Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA.

sumber : http://www.ikdar.com/?pilih=news&mod=yes&aksi=lihat&id=25

AHL AS SUNNAH WA AL JAMA’AH (Perdebatan Makna Dan Eksistensi)

AHL AS SUNNAH WA AL JAMA’AH

(Perdebatan Makna Dan Eksistensi)

Oleh: Suryono (Ketua Umum PMII Kota Jayapura)

1. Pendahuluan

Perdebatan eksistensi aswaja mulai mengemuka, diperkirakan pada akhir dasawarsa 1980-an dan awal 1990-an ditangan-terutama-generasi muda NU yang tergabung dalam pergerakan mahasiswa islam Indonesia (PMII). Kemudian fenomena tersebut semakin dipertajam sejak munculnya Prof. Dr. Said Aqil Siraj dengan segudang kontroversinya pada pertengahan dasa warsa 1990-an.

Gugatan said terutama tentang pemaknaan aswaja NU selama ini yang menurutnya sangat ekslusif dan begitu sederhana. Kemudian ia berkesimpulan bahwa bukanlah hal yang tepat meletakkan aswaja sebagai madzhab, karena akan terjadi pola madzhab dalam madzhab sehingga menjadilah aswaja tak lebih sebagai Manhaj Al Fikr (Metode Berpikir).

2. Perdebatan makna dan eksistensi

Selama ini, dalam masyarakat NU selalu di dengungkan-dengungkan, bahwa ahll as sunnah wa al jama’ah adalah golongan umat Islam yang dalam aqidahnya berpedoman pada Al Asy’ary dan Al-Maturdy, dalam fiqih mengikuti salah satu madzhab empat (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali) serta dalam tasawuf mengikuti Al Junaidi dan Al Ghozali.

Kemudian, akan menjadi sebuah terobosan brilian ketika misalnya PMII yang notabene adalah komunitas anak muda NU memahami aswaja sebagai metode, bukan saja sebagai madzhab. Dengan catatan, bahwa pendekatan sebagai metode itu melalui ungkapan hadist: Ma Ana Alaihi Al Yauma Wa Ashaby (metodeku adalah para sahabatku saat ini) .

Ini berarti, komunitas muda NU menjadikan hadist tentang penggolongan Muslimin, sebagai landasan legitimasi keberadaan aswaja. Memang istilah Ma Ana Alaihi Al Yauma Wa Ashaby, bukanlah satu-satunya identitas keselamatan. Yang sebanding denganya misalnya adalah: As Sawad Al A’dham , Al Jama’ah, Ahl As Sunnah Wal Jamaah. Namun kesemuanya mengarah pada identitas keselamatan yang saling menopang sebagai istilah.

Sementara itu, diluar pemaknaan diatas, prof.dr. Said Aqil Siraj yang notabene katib syuriyah PBNU kala itu, mendobrak dua pemaknaan tersebut mengidentifikasikan golongan yang selamat dari umat Islam dengan istilah ahl as sunnah wal jamaah. Menurutnya, Aswaja tidak lebih dari pernyataan semangat pendobrakan terhadap banyaknya penyimpangan-penyimpangan. Ringkasnya, ia adalah istilah sejarah, bukan muatan hadist. Kedua, Aswaja dipahami sebagai Manhaj Al Fikr, bukan sebagai Madzhab. Sebab semangatnya adalah pencaraian jalan tengah, untuk menjadi moderat dari berbagai aliran.

Agaknya, pendapat dua kubu tadi memang berbeda secara diametral. Mayoritas komunitas NU untuk melegitimasi paham Aswajanya merujuk ke hadist, yang memang jelas menggunakan istilah ahl as sunnah wal jamaah. Terutamanya riwayat At-Thabrani. Sedangkan menurut Said memahami Aswaja sebagai identitas aliran yang pernah muncul dalam kurun sejarah. Konsekwensinya Said tak terlalu terikat dengan makna kebahasaan Aswaja.

Hadits tentang sekte tersebut memang bukan hadist yang lepas dari banyak kritik. Artinya masih kontroversi. Baik di tinjau dari segi sanad maupun dari makna matan hadist tersebut. Namun dalam hal ini penulis sependapat dengan golongan yang menerima pendapat yang menerima hadits tersebut, dengan beberapa alasan. Pertama, hadist ini didukung oleh Ashab As Sunan, yakni; At-Turmudzi, Abu Daud, kemudia At-Thabrani dan Ahmad Bin Hanbal. Yang disebut terakhir ini memiliki kedudukan istimewa, karena Ibnu Hanbal adalah tokoh Aswaja versi Salafiyun, tokoh yang sangat teguh atas goncangan faham Mu’tazilah. Kedua, hadist-hadist tersebut cukup banyak, sehingga saling menguatkan. Katiga, walaupun secara tegas tak memakai istilah Ahl As Sunnah Wal Jamaah, namun dalam soal interprestasi ajaran dalam kitab Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim, menunjukan adanya indikasi perpecahan umat, dengan pemecahan agar mengikuti sunnah Nabi saw.

Sehingga, mengartikan Aswaja sebagai cerminan Ma Ana Alaihi Al Yauma Wa Ashaby adalah dapat diterima. Disisi lain pendekatan Manhaj Al Fikr dari Said Aqil Siraj juga dapat diterima, karena dalam realiatas historis, golongan umat Islam yang diberi identitas Aswaja, adalah golongan yang tidak ekstrim, moderat, toleran dan lurus. Misalnya ajaran Al-Asy’ari yang dianggap peletup Aswaja merupakan jalan tengah, antara faham Qodaraiyah dan Jabariyah, juga antara golongan liberalis (mu’tazilah) dengan golongan literalis (mujassimah). Al-Ghozali ajaranya begitu menengahi antara filosofi yang rasionalis dengan kaum battiniyah yang non-rasional. Sehingga kecendrungan untuk menggabungkan pandangan komunitas NU yang menerima hadist Ma Ana Alaihi Al Yauma Wa Ashaby dengan pendekatan Manhaj Al Fikr. Maka rumusan kyai Imam Ghozali : “komunitas muslim yang karena semangat mereka untuk menegakkan islam yang ideal seperti pada masa rosul dan masa sahabat, dan sebagai akibat dari pergumulan mereka dengan berbagai aliran pemikiran, baik internal maupun eksternal, mereka memilih bersikap dan berpola pikir moderat dan menengahi, harmonis dalam arti serasi dan seimbang, toleran, serta bertindak adil dan berani, adalah sangat disetujui.

Namun, meskipun demikian secara praktis apa yang selama ini di dengung-dengungkan sebagai Aswaja model NU, tetap saja dapat di aplikasikan, selagi melihat adanya kesesuain dan aslah.

Kita sangat fleksibel, dalam mengikuti arus pemikiran para ulama ahli tauhid dan tasawuf dengan alasan.

Pertama, dalam anggaran dasar NU ditegaskan bahwa tujuan didirakanya NU adalah menegakan faham Aswaja dan menganut salah satu dari empat madzhab. Artinya penekanan aspek amaliahnya memang tertuju pada salah satu madzhab empat, terutama Syafi’i, sehingga ijtihad dan pengambilan pendapat dari aspek tauhid dan tasawuf dapat luas lagi.

Kedua, dalam Qonun Asasi (tata institusi), yang dianggap sebagai pihak ortodoksi Aswaja, ternyata tak pernah tercantum sama sekali batasan sama sekali batasan-batasan dan defenisi Aswaja. KH. Hasyim Asy’ari hanya mengemukakan mengenaii keharusan warga NU untuk berpegang dari salah satu madzhab empat. Jadi kia Hasyim tidak pernah menyebutkan landasan teologis dan taswuf yang harus dipegang oleh pengikut Aswaja NU. Sehinmgga nam-nama Al Asy’ari, Al Mathuridy, Al Junaidy tidak disebut-sebut dalam Qonun Asasi.

Kenapa, dalam qonun tidak tercantum nama-nama tokoh dalam bidang theologi dan tasawuf. Kita tau persis. Namun, kalau kita lihat pendapat tokoh tersebut, akan terlihat, betapa misalnya, Al-Asy’ari dalam mengkaji persoalan-persoalan aqidah itu banyak yang tak terlepas dari logika filosifis. Apalagi memang memang sebelumnyal Asy’ari dikenal sebagai tokoh Mu’tazilah. Sedangkan Al Junaidy, ada pandangan theologis yang sama dengan mu’tazilah dalam hal penafsiran segala sifat Allah. Pendapat-pendapat pengikut Al Asy’ary yang mudah dipahami khalayak umum juga banyak. Jadi kita lebih leluasa untuk memilah-milah. Demikian juga kita harus lebih selektif dalam mengikuti taswuf Al Junaidy. Sedangkan tasawufnya Al-Ghozali memang banyak dikaji dan cocok bagi komunitas NU, walau dalam kitab-kitab lain, corak tasawuf falsafi juga begitu tampak.

3. penutup

Sehubungan dengan sifat ilmu yang dinamis, maka tiada patut diskusi ilmiah jika hal ini dikebiri dan dinilai subjektif sepihak. Demikian juga dalam aplikasi keilmuan, kita berusaha mengaplikasikan pendapat yang lebih layak diikuti sehingga perkembangan penafsiran, diarahkan dalam rangka mendapatkan pendapat yang lebih benar dan maslahah. Waluhu ‘alam…

sumber : http://expedisipassompa.blogspot.com/2010/03/pusat-belajar-lintas-kader_14.html

INTERNALISASI DOKTRIN DAN PEMIKIRAN ASWAJA DALAM BERAGAMA, BERBANGSA DAN BERNEGARA

I. PENDAHULUAN

Sebagai bangsa, Indonesia adalah sebuah komunitas sosial dengan letak geografis di Nusantara, di mana setiap jengkal tanahnya dihuni oleh segala keanekaragaman masyarakat yang plural dan hiterogen, baik suku, ras, agama dan tradisi-budaya yang hampir mirip dengan masyarakat Madinah di era Rasulullah saw. Kesadaran akan kesamaan “nasib sejarah” yang dialami, mengilhami putra-putra Nusantara kala itu mengikrarkan kesatuan kebhinekaannya dalam Sumpah Pemuda tahun 1928.

Sebagai sebuah negara, Indonesia lahir dari pengalaman sejarah ketertindasan penjajahan yang lebih dari 4,5 abad sejak kolonialisme Portugis, Inggris, Belanda hingga Jepang, yang kemudian memproklamirkan kemedekaannya tahun 1945. Sebuah negara kesatuan yang berdasarkan Pancasila dan UUD ’45 sebagai idiologi kompromis untuk mengayomi secara adil kenyataan rakyatnya yang plural.

Proses kehadiran dan penyebaran Islam di Indonesia, dilakukan oleh da’i-da’i terdahulu yang membawa paham ASWAJA (Ahli Sunnah wal Jama’ah) melalui pendekatan dakwah yang elegan dan permisif terhadap tradisi dan budaya lokal yang telah mengakar menjadi nilai normatif masyarakat. Realitas demikian bisa kita lihat dari sejarah awal masuknya Islam ke Indonesia yang lebih bercorak sufisme (tasawuf), dan dalam bentuk pandangan hidup dengan semangat intelektualisme dan spiritualisme, bukan sebagai gerakan politik. Dalam perjalanan sejarah selanjutnya, kita juga bisa menyaksikan perjuangan Walisanga dalam usaha islamisasi masyarakat Jawa, yang kental dengan nuansa pendekatan akulturasi, yakni penyesuaian Islam dengan kultur budaya setempat. Paham ASWAJA dengan model pendekatan dakwah yang elegan dan permisif demikian inilah kiranya yang kemudian membentuk corak keagamaan Muslim Indonesia dalam wujudnya seperti yang kita saksikan hari ini. Yaitu karakteristik keislaman yang bersedia mengerti dan menghargai nilai-nilai keIndonesiaan.

Namun belakangan, kita dikejutkan dengan isu-isu kebangsaan yang menghangat memenuhi jagad Indonesia. Mulai dari isu persengketaan Indonesia-Malaysia, gerakan sparatis lokal, hingga maraknya idiologi trans-nasional, baik yang berbau agama, politik, budaya maupun ekonomi.

Idiologi trans-nasional yang berbau agama dan politik, bisa kita lihat dari gerakan kelompok fundamentalisme Islam (ekstrim kanan) yang belakangan semakin vulgar dalam mengkampanyekan isu Khilafah Islamiyah yang proyek jangka panjangnya mengancam integritas NKRI. Masih serumpun dengan idiologi ini, adalah kelompok-kelompok ekstrimisme, radikalisme dan terorisme yang mengatasnamakan Islam.

Di pihak lain, kita juga melihat kelompok liberalisme Islam (ekstrim kiri) yang kian gencar melakukan liberalisasi agama. Idiologi kelompok kedua ini jika sebatas pemikiran dan gagasan, mungkin saja dapat dihargai sebagai bentuk pencerahan intelektual. Tetapi realitasnya, liberalisasi agama telah nyaris menjadi praktek agama yang dipertentangkan dengan kemapanan beragama selama ini.

Idiologi trans-nasional dalam ranah budaya adalah merebaknya budaya kosmopolitanisme hingga ke pelosok-pelosok. Dengan dukungan media yang ‘bebas’, idiologi ini semakin berkembang masif dan mengakibatkan pergeseran pola berpikir dan berperilaku masyarakat menjadi semakin konsumtif, instan, materialistis, hedonis dan cenderung tidak lagi menghargai khazanah budaya lokal. Sedangkan idiologi trans-nasional dalam ekonomi, bisa dilihat dari praktek ekonomi liberal melalui rezim pasar bebas.

Idiologi-idiologi tersebut telah menjadi satu gelombang ancaman yang menggempur sendi-sendi integritas bangsa dan negara, sekaligus merusak idiologi pemikiran dan gerakan ASWAJA yang selama ini telah membangun corak keagamaan masyarakat Indonesia. Di sinilah perlunya melakukan internalisasi (penghayatan) kembali doktrin-doktrin dan idiologi pemikiran ASWAJA dalam berbangsa dan bernegara, agar keIslaman umat Muslim Indonesia tidak tercerabut dari nilai-nilai keIndonesiaan itu sendiri, dan Islam bisa menjadi agama yang rahmatan lil alamien untuk membangun bangsa dan negara Indonesia madani.

II. DEFINISI DAN HISTORIS KEMUNCULAN ASWAJA

Istilah Ahlussunnah wal Jama’ah (ASWAJA), merupakan gabungan dari tiga kata, yakni Ahl, Assunnah, dan Aljamâ’ah. Secara etimologis, kata ahl (أهل) berarti golongan, kelompok atau komunitas. Etimologi kata assunah (السنّة) memiliki arti yang cukup variatif, yakni: wajah bagian atas, kening, karakter, hukum, perjalanan, jalan yang ditempuh, dll. Sedangkan kata aljamâ’ah (الجماعة) berarti perkumpulan sesuatu tiga ke atas.

Adapun terminologi Ahlussunnah wal Jama’ah, bukan merujuk kepada pengertian bahasa (lughawi) ataupun agama (syar’i), melainkan merujuk pada pengertian yang berlaku dalam kelompok tertentu (urfi). Yaitu, ASWAJA adalah kelompok yang konsisten menjalankan sunnah Nabi saw. dan mentauladani para sahabat Nabi dalam akidah (tauhîd), amaliah badâniyah (syarîah) dan akhlaq qalbiyah (tasawuf). Terminologi istilah Ahlussunnah wal Jama’ah ini didasarkan pada sebuah hadits yang menyatakan bahwa hanya kelompok inilah yang selamat dari 73 perpecahan kelompok umat nabi Muhammad saw.:

والذي نفس محمد بيده لتفترق أمتي على ثلاث وسبعين فرقة, فواحدة فى الجنة وثنتان وسبعون فى النار, قيل: من هم يا رسول الله ؟ قال: هم أهل السنة والجماعة. (رواه الطبراني)

Demi Tuhan yang jiwa Muhammad ada dalam genggamanNya, umatku akan bercerai-berai ke dalam 73 Golongan. Yang satu masuk surga dan yang 72 masuk neraka”. Ditanyakan: ”Siapakah mereka (golongan yang masuk surga) itu, wahai Rasulullah?”. Beliau menjawab: “Mereka adalah Ahlussunnah wal Jama’ah”. (HR. Thabrani)

تفترق هذه الأمة على ثلاث وسبعين فرقة الناجية منها واحدة والباقون هلكى قالوا ومن الناجية؟ قال أهل السنة والجماعة قيل وما السنة والجماعة؟ قال ما أنا عليه اليوم وأصحابي

Umat ini nantinya juga akan terpecah menjadi 73 sekte, satu yang selamat, yang lainnya dalam kerusakan. Shahabat bertanya, ”Siapa yang selamat?” Nabi menjawab: ”Ahlussunah wal Jama‘ah”. Mereka bertanya kembali: ”Siapa Ahlussunah wal Jama‘ah?” Jawab Nabi: ”Adalah apa yang aku dan sahabatku praktekkan hari ini”.

Dengan pengertian terminologis demikian, ASWAJA secara riil di tengah-tengah umat Islam terbagi menjadi tiga kelompok. Pertama, Ahl Alhadits dengan sumber kajian utamanya adalah dalil sam’iyah, yakni Alqur’an, Assunnah Ijma dan Qiyas. Kedua, para ahl alkalâm atau ahl annadhar (teologi) yang mengintegrasikan intelegensi (asshinâ’ah alfikriyyah). Mereka adalah Asyâ’irah dengan pimpinan Abu Hasan Al’asy’ari dan Hanafiyah dipimpin oleh Abu Manshur Almaturidi. Sumber penalaran mereka adalah akal dengan tetap meletakkan dalil sam’iyyah dalam porsinya. Ketiga, Ahl Alwijdân wa Alkasyf (kaum shufiyah). Sumber inspirasi mereka adalah penalaran Ahl Alhadits dan Ahl Annadhar sebagai media penghantar yang kemudian dilanjutkan melalui pola kasyf dan ilham.[1] Ketiga kelompok inilah yang paling layak disebut ASWAJA secara hakiki.

Di Indonesia, Nahdlatul Ulama merumuskan ASWAJA dengan dua pengertian. Pertama, ASWAJA sudah ada sejak zaman Nabi, sahabat nabi, tâbi’în dan tâbi’în attâbi’în yang umumnya disebut dengan assalaf ashshalih. Pendapat ini didasarkan pada pengertian bahwa ASWAJA berarti golongan yang setia pada Assunah dan Aljamâ’ah, yaitu Islam yang diajarkan dan dicontohkan oleh Rasulullah saw. bersama para sahabatnya pada zaman Nabi masih hidup dan apa yang dipraktekkan para sahabat sepeninggal beliau, terutama Khulafa‘ Arrasyidin. Dari pengertian ini, ASWAJA dirumuskan sebagai: kelompok yang senantiasa konsisten dan setia mengikuti sunnah Nabi saw. dan thariqah atau jalan para sahabatnya dalam akidah, fiqh dan tasawuf. Kelompok ini terdiri dari para teolog (mutakallimîn), ahli fiqh (fuqahâ’), ahli hadits (muhaditsîn), dan ulama tasawuf (mutashawwifîn).

Kedua, ASWAJA adalah paham keagamaan yang muncul (dimurnikan) setelah Imam Abu Alhasan Al’asy’ari dan Imam Abu Manshur Almaturidi memformulasikan akidah Islam yang sesuai dengan Alqur’an dan Assunnah. Itu sebabnya, kelompok ASWAJA juga disebut sebagai penganut paham Asy’ariyah dan Maturidiyah. Syaikh Murtadla Azzubaidi dalam kitab Al’ittihâf Assâdah Almuttaqîn, Syarah kitab Ihyâ’ Ulûmiddîn karya Imam Alghazali menyatakan:

إذا أطلق أهل السنة والجماعة فالمراد بهم الأشاعرة والماتردية

Ketika diucapkan secara mutlak istilah Ahlussunnah wal Jama’ah, maka yang dikehendaki mereka ialah kelompok penganut paham Al’asy’ari dan Almaturidi.

KH. Hasyim Asy’ari pada sambutan pembukaan deklarasi berdirinya Jam’iyah Nahdlatul Ulama menandaskan: “Ciri Ahlussunah wal Jama‘ah, adalah mereka yang di bidang tauhid mengikuti Imam Abu Alhasan Al’asy’ari atau Abu Mansur Almaturidi; di bidang fiqh mengikuti madzhab empat: Imam Abi Hanifah, Malik bin Anas, Syafi’i bin Idris atau Ahmad bin Hambal; dan di bidang tasawuf mengikuti ajaran Syaikh Junaid Albaghdadi dan Imam Alghazali.”

Dari terminologi ASWAJA seperti di atas, dapat dimengerti bahwa Ahlussunah wal Jama‘ah merupakan istilah yang terbangun melalui nalar ‘urfi, untuk mencirikan umat Muslim sebagai representasi dari sawâd al’a’dham (kelompok mayoritas) ketika kondisi perpecahan paham merajalela dan dirasa perlu merapatkan barisan dan menyepakati sebuah identititas, sebagai upaya membedakan antara yang haq dan bathil, antara mereka yang teguh mengikuti sunnah dan yang menyimpang dengan berbagai macam bid’ah, sebagaimana yang ditekankan Rasulullah saw. dalam sabdanya:

قال رسول الله g لا يجمع الله هذه الأمة على ضلالة أبدا, قال يد الله على الجماعة فاتبعوا سواد الأعظم فإنه من شذ شذ في النار

Rasulullah saw. bersabda, Allah tidak akan mengumpulkan umat ini dalam kesesatan selamanya. Kekuatan (pertolongan) Allah berada pada kelompok, maka ikutilah kelompok terbesar, karena sesungguhnya seseorang yang mimisahkan diri, ia memisahkan diri ke dalam neraka.

Sejarah kemunculan istilah ASWAJA sebagai sebuah nama firqah (sekte) Islam, sebenarnya dipengaruhi dari perpecahan dalam Islam. Sejak peristiwa pembunuhan khalifah Islam ketiga, Utsman bin Affan, sejak saat itulah episode perpecahan dalam tubuh Islam dimulai. Dari peristiwa ini muncul serangkaian perang antara para sahabat. Sayyidina Ali bin Abi Thalib yang menjadi khalifah saat itu harus berhadapan perang melawan Sayyidah Aisyah, mertuanya sendiri, yang menuntut qishas darah Utsman bin Affan. Dalam perang yang dikenal sebagai perang Jamal ini, puluhan sahabat besar dan hapal Alqur’an gugur terbunuh oleh sesama Muslim akibat provokasi da konspirasi kaum munafiq Yahudi (Abdulah ibn Saba’ dkk.). Berikutnya, pecah perang Shiffin antara pasukan Ali berhadapan dengan pasukan Muawaiyah yang kemudian memunculkan peristiwa Tahkîm (arbitrase). Ide Tahkîm dari kubu Muawiyah menjelang kekalahan pasukannya yang disetujui Ali ini, kemudian menyulut perpecahan di antara pasukan Ali, yang dari sini selanjutnya melahirkan sekte Islam Syi’ah yang mendukung kebijakan Ali dan sekte Khawarij yang menolak kebijakannya.

Sejak kematian Ali Ibn Abi Thalib pada tahun 40 H. atau 661 M., umat Islam telah terpecah setidaknya menjadi empat kelompok. Petama, Syi’ah yang fanatik kepada Ali dan keluarganya serta membenci Muawiyah Ibn Abi Sufyan. Kedua, Khawarij yang memusuhi bahkan mengkafirkan Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah. Ketiga, kelompok yang mengakui kekhalifahan Muawiyah. Dan keempat, sejumlah sahabat antara lain Ibn Umar, Ibn Abbas, Ibn Mas’ud dan lain-lain, yang menghindarkan diri dari konflik dan menekuni bidang keilmuan keagamaan. Dari aktifitas mereka inilah selanjutnya lahir sekelompok ilmuan sahabat, yang mewariskan tradisi keilmuan kepada generasi berikutnya, sehingga melahirkan tokoh-tokoh mutakallimîn, muhadditsîn, fuqahâ’, mufassirîn, dan mutashawwifîn. Kelompok ini berusaha mengakomodir semua kekuatan dan model pemikiran yang sederhana, sehingga mudah diterima oleh mayoritas umat Islam.

ASWAJA sebagai sebuah sekte Islam, eksistensinya semakin populer ketika Syaikh Abu Alhasan Al’asy’ari menyatakan keluar dari paham Mu’tazilah dan menyerang akidah paham tersebut. Sebelumnya, Abu Alhasan Al’asy’ari adalah seorang penganut Mu’tazilah dan menjadi murid Abu Ali Aljaba’i Almu’tazili, seorang tokoh Mu’tazilah yang sekaligus ayah tirinya. Dalam kutipan akhir perdebatan antara Abu Alhasan Al’asy’ari dengan gurunya, Abu Ali Aljaba’i, dalam rangka membatalkan paham Mu’tazilah, diceritakan: Abu Alhasan Al’asy’ari bertanya pada Abu Ali Aljaba’i: “Bagaimana pendapatmu tentang tiga saudara yang meninggal dunia, yang satu adalah orang yang taat, yang kedua adalah orang yang durhaka, dan yang ketiga meninggal ketika masih kecil?”

Abu Ali Aljaba’i menjawab: “yang taat diberi pahala dan masuk surga, yang durhaka disiksa dan masuk neraka, dan yang kecil berada di antara surga dan neraka (manzilah baina almanzilatain), tidak diberi pahala dan tidak disiksa”.

Abu Alhasan bertanya: “Jika yang kecil mengatakan: “Wahai Tuhanku, kenapa Engkau mencabut nyawaku ketika aku masih kecil? Jika Engkau biarkan aku hidup, aku akan taat dan masuk surga”, lalu bagaimana jawaban Allah?”.

Abu Ali Aljaba’i menjawab: “Allah akan menjawab: “Aku maha tahu, jika engkau hidup sampai dewasa, maka engkau akan durhaka sehingga masuk neraka, maka yang terbaik adalah engkau mati ketika masih kecil”.

Abu Alhasan bertanya lagi: “Jika yang mati dalam keadaan durhaka mengatakan: “Wahai Tuhanku, jika Engkau tahu aku akan durhaka, kenapa Engkau tidak mencabut nyawaku ketika aku masih kecil, sehingga Engkau tidak memasukkan aku ke dalam neraka?”, lalu apa yang akan dikatakan Allah?” Pada pertanyaan terakhir inilah Abu Ali Aljaba’i tak sanggup menjawab untuk membela pahamnya.

Setelah Abu Ali Aljaba’i gagal menjawab pertanyaannya, Abu Alhasan Al’asy’ari lalu menyatakan keluar dari paham Mu’tazilah, dan aktif menulis kitab-kitab untuk menolak akidah Mu’tazilah dan merumuskan akidah Ahlussunnah wal Jama’ah.

Dengan demikian, ASWAJA adalah aliran pemahaman keagamaan yang bercita-cita mengamalkan syari’at Islam secara murni, sesuai yang dikehendaki oleh Allah. ASWAJA meyakini wahyu bersifat ‘gaib’ dan disampaikan dalam kegaiban. Untuk itu tidak ada yang patut mengaku sebagai pengamal syari’at Islam secara mutlak benar kecuali Rasulullah saw., karena beliaulah yang menerima dan dituntun wahyu sesuai kehendak Allah. Selain Rasulullah, para sahabat yang selalu dekat dan memperoleh ajaran langsung Rasulullah adalah umat Islam yang kualitas pemahaman terhadap wahyu mendekati sempurna, karena mereka tahu persis bagaimana Nabi Muhammad memahami dan mengamalkan wahyu. Hanya dengan merujuk kepada akidah, amaliah dan akhlak mereka inilah suatu sekte Islam berhak disebut Ahlussunah wal Jama‘ah.

Apabila dewasa ini semua sekte Islam mengklaim diri sebagai ASWAJA, maka harus ditegaskan bahwa ASWAJA bukanlah klaim, melainkan paham keagamaan dengan bukti kesesuaian akidah, amaliah dan akhlaknya dengan akidah, amaliah dan akhlak Rasulullah dan yang telah disepakati para sahabat di masa Khulafa’ Arrasyidin, berdasarkan hujjah dan dalil yang bisa dipertanggungjawabkan.

III. GARIS-GARIS BESAR DOKTRIN ASWAJA

Islam, iman dan ihsan adalah trilogi agama (addîn) yang membentuk tiga dimensi keagamaan meliputi syarî’ah sebagai realitas hukum, tharîqah sebagai jembatan menuju haqîqah yang merupakan puncak kebenaran esensial. Ketiganya adalah sisi tak terpisahkan dari keutuhan risalah yang dibawa Rasulullah saw. yang menghadirkan kesatuan aspek eksoterisme (lahir) dan esoterisme (batin). Tiga dimensi agama ini (islam, iman dan ihsan), masing-masing saling melengkapi satu sama lain. Keislaman seseorang tidak akan sempurna tanpa mengintegrasikan keimanan dan keihsanan. Ketiganya harus berjalan seimbang dalam perilaku dan penghayatan keagamaan umat, seperti yang ditegaskan dalam firman Allah:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً

Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya. (QS. Albaqarah: 208)

Imam Izzuddin bin Abdissalam mengatakan, ”hakikat Islam adalah aktifitas badaniah (lahir) dalam menjalankan kewajiban agama, hakikat iman adalah aktifitas hati dalam kepasrahan, dan hakikat ihsan adalah aktifitas ruh dalam penyaksian (musyâhadah) kepada Allah”.[2]

Dalam perkembangan selanjutnya, kecenderungan ulama dalam menekuni dimensi keislaman, melahirkan disiplin ilmu yang disebut fiqh. Kecenderungan ulama dalam menekuni dimensi keimanan, melahirkan disiplin ilmu tauhid. Dan kecenderungan ulama dalam dimensi keihsanan, melahirkan disiplin ilmu tasawuf atau akhlak. Paham ASWAJA mengakomodir secara integral tiga dimensi keagamaan tersebut sebagai doktrin dan ajaran esensialnya. Karena praktek eksoterisme keagamaan tanpa disertai esoterisme, merupakan kemunafikan. Begitu juga esoterisme tanpa didukung eksoterisme adalah klenik. Semata-mata formalitas adalah tiada guna, demikian juga spiritualitas belaka adalah sia-sia. Imam Malik mengatakan:

مَنْ تَصَوَّفَ وَلَمْ يَتفَقَّهْ فَقَدْ تَزَندَقَ وَمَنْ تَفَقَّهَ وَلَمْ يَتَصَوَّفْ فَقَدْ تَفَسَّقَ وَمَنْ جَمَعَ بَيْنَهُمَا فَقَدْ تَحَقَّقَ

Barang siap menjalani tasawuf tanpa fiqh, maka dia telah zindiq, barang siapa memegang fiqh tanpa tasawuf, maka dia telah fasiq, dan barang siapa menyatukan keduanya, maka dia telah menemukan kebenaran.

a. Doktrin Keimanan

Iman adalah pembenaran (tashdîq) terhadap Allah, Rasul dan segala risalah yang dibawanya dari Allah. Dalam doktrin keimanan, yang selanjutnya termanifestasi ke dalam bidang tauhid (teologi/kalam) ini, ASWAJA berpedoman pada akidah islamiyah (ushûluddîn) yang dirumuskan oleh Abu Alhasan Al’asy’ari (260 H./874 M. – 324 H./936 M.) dan Abu Manshur Almaturidi (w. 333 H.).

Kedua tokoh ASWAJA ini nyaris sepakat dalam masalah akidah islamiyah, meliputi sifat-sifat wajib, mustahil dan ja’iz bagi Allah, para rasul dan malaikatNya, kendati keduanya berbeda dalam cara dan proses penalaran. Kedua tokoh ini hanya berbeda dalam tiga masalah yang tidak berakibat fatal. Yaitu dalam masalah istitsnâ’, takwîn, dan iman dengan taqlid.

Pertama istitsna’, atau mengatakan keimanan dengan insya’Allah, seperti “Saya beriman, insya’Allah”, menurut Maturidiyah tidak diperbolehkan, karena istitsnâ demikian mengisyaratkan sebuah keraguan, dan keimanan batal dengan adanya ragu-ragu. Menurut Asyâ’irah diperbolehkan, karena maksud istisnâ’ demikian bukan didasari keraguan atas keimanan itu sendiri, melainkan keraguan tentang akhir hidupnya dengan iman atau tidak, na’ûdzu billah min dzalik. Atau, istitsnâ’ demikian maksudnya keraguan dan spekulasi terhadap kesempurnaan imannya di hadapan Allah.

Kedua sifat takwîn (mewujudkan), menurut Asyâ’irah sifat takwîn (تكوين) tidak berbeda dengan sifat Qudrah. Sedangkan menurut Maturidiyah, takwîn adalah sifat tersendiri yang berkaitan dengan sifat Qudrah.

Dan ketiga, tentang imannya orang yang taqlid (ikut-ikutan tanpa mengetahui dalilnya). Menurut Maturidi, imannya muqallid sah dan disebut arif serta masuk surga. Sedangkan Menurut Abu Alhasan Al’asy’ari, keimanan demikian tidak cukup. Sedangkan Asyâ’irah (pengikut Abu Alhasan Al’asy’ari) berbeda pendapat tentang imannya muqallid. Sebagian menyatakan mukmin tapi berdosa karena tidak mau berusaha mengetahu melalui dalil; sebagian mengatakan mukmin dan tidak berdosa kecuali jika mampu mengetahui dalil; dan sebagian yang lain mengatakan tidak dianggap mukmin sama sekali.

Dari tingkatan tauhid ini, selanjutnya ada empat strata keimanan. Ada iman bittaqlîd, iman biddalîl, iman bil iyyân dan iman bil haqq. Pertama, iman bittaqlîd adalah keimanan melalui ungkapan orang lain tanpa mengetahui dalilnya secara langsung. Keimanan seperti ini keabsahannya masih diperselisihkan. Kedua, iman biddalîl (ilmul yaqîn) ialah keyakinan terhadap aqâ’id lima puluh dengan dalil dan alasan filosofinya. Dua strata keimanan ini masih terhalang (محجوب) dalam mengetahui Allah. Ketiga, iman bil iyyân (‘ainul yaqîn) ialah keimanan yang senantiasa hatinya muraqabah kepada Allah. Artinya, dalam kondisi apapun, Allah tidak hilang dari kesadaran hatinya. Dan keempat, iman bil haqq (haqqul yaqîn) yaitu keimanan yang telah terlepas dari segala yang hadîts dan tenggelam dalam fanâ’ billah.

Mempelajari ilmu tauhid, fiqh dan tasawuf, hanya akan menghasilkan iman biddalîl (ilmul yaqîn), dan jika keimanan ini senantiasa disertai kesadaran hati dan penghayatan amaliah, maka naik ke strata iman bil iyyân (‘ainul yaqîn) hingga puncaknya mencapai pada iman bil haqq (haqqul yaqîn).

Doktrin keimanan terhadap Allah, berarti tauhid atau mengEsakan Allah dalam af’âl, shifah dan dzât. Dengan demikian, tauhid terbagi menjadi tiga: Tauhid fi’li, yaitu fana’ dari seluruh perbuatan; tauhid washfi, yaitu fana’ dari segala sifat; dan tauhid dzati, yaitu fana’ dari segala yang maujûd. Fana’ fi’li disebut juga dengan ilmul yaqîn, fana’ washfi disebut juga dengan ‘ainul yaqîn, dan fana’ dzati juga disebut dengan haqqul yaqîn. Level tauhid demikian ini merupakan puncak prestasi dari penghayatan firman Allah:

وَاللهُ خَلَقَكُمْ وَمَا تَعْمَلُونَ

Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu. (QS. Ashshafat: 96)

Sebagian ulama ‘arif billah menyatakan:

من شهد الخلق لا فعل لهم فقد فاز ومن شهدهم لا حياة لهم فقد جاز ومن شهدهم عين العدم فقد وصل

Barang siapa dapat menyaksikan makhluk tidak memiliki perbuatan, maka ia telah beruntung, barang siapa menyaksikannya tidak hidup, maka itu diperbolehkan, dan barang siapa menyaksikannya praktis tiada, maka ia telah wushul.

Konsep tauhid ASWAJA mengenai af’âl (perbuatan) Allah, berada di tengah antara paham Jabariyah di satu pihak dan Qadariyah dan Mu’tazilah di pihak lain. Ketika Jabariyah menyatakan paham peniadaan kebebasan dan kuasa manusia atas segala kehendak dan perbuatannya secara mutlak, sementara Qadariyah dan Mu’tazilah menyatakan makhluk memiliki kebebasan dan kuasa mutlak atas kehendak dan perbuatannya, maka lahirlah ASWAJA sebagai sekte moderat di antara dua paham ektrim tersebut. ASWAJA meyakini bahwa makhluk memiliki kebebasan kehendak (ikhtiyar) namun tidak memiliki kuasa (qudrah) perbuatan selain sebatas kasb (upaya). Dalam keyakinan ASWAJA, secara dhahir manusia adalah ‘kuasa’ (memiliki qudrah), namun secara batin, manusia adalah majbûr (tidak memiliki qudrah apapun).

Dalam doktrin keimanan ASWAJA, keimanan seseorang tidak dianggap hilang dan menjadi kafir, dengan melakukan kemaksiatan. Seseorang yang melakukan maksiat ataupun bid’ah, sementara hatinya masih teguh meyakini dua kalimat syahadat, maka ASWAJA tidak akan menvonis sebagai kafir, melainkan sebagai orang yang sesat (dhalâl) dan durhaka.[3] ASWAJA sangat berhati-hati dan tidak gampang dalam sikap takfîr (mengkafirkan). Karena memvonis kafir seseorang yang sejatinya mukmin akan menjadi bumerang bagi diri sendiri. Rasulullah saw. bersabda:

إِذَا قَالَ الرَّجُلُ لأَخِيهِ يَا كَافِرُ فَقَدْ بَاءَ بِهِ أَحَدُهُمَا

Ketika seseorang berkata kepada saudaranya: ”wahai seorang yang kafir”, maka salah satunya benar-benar telah kafir. (HR. Bukhari)

Keimanan seseorang akan hilang dan menjadi kafir (murtad) apabila menafikan wujud Allah, mengandung unsur syirik yang tidak dapat dita’wil, mengingkari kenabian, mengingkari hal-hal yang lumrah diketahui dalam agama (ma’lûm bi adldlarûri), dan mengingkari hal-hal mutawâtir atau mujma’ ‘alaih yang telah lumrah diketahui. Tindakan yang menyebabkan seseorang dikategorikan kafir bisa meliputi ucapan, perbuatan atau keyakinan, yang mengandung unsur-unsur di atas ketika telah terbukti (tahaqquq) dan tidak bisa dita’wil.

b. Doktrin Keislaman

Doktrin keislaman, yang selanjutnya termanifestasi ke dalam bidang fiqh yang meliputi hukum-hukum legal-formal (ubudiyah, mu’amalah, munakahah, jinayah, siyasah dan lain-lain), ASWAJA berpedoman pada salah satu dari empat madzhab fiqh: Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah.

Ada alasan mendasar mengenai pembatasan ASWAJA hanya kepada empat madzhab ini. Di samping alasan otentisitas madzhab yang terpercaya melalui konsep-konsep madzhab yang terkodifikasi secara rapi dan sistematis, metodologi pola pikir dari empat madzhab ini relatif tawâzun (berimbang) dalam mensinergikan antara dalil aql (rasio-logis) dan dalil naql (teks-teks keagamaan). Empat madzhab ini yang dinilai paling moderat dibanding madzhab Dawud Adhdhahiri yang cenderung tekstualis dan Madzhab Mu’tazilah yang cenderung rasionalis.

Jalan tengah (tawâsuth) yang ditempuh ASWAJA di antara dua kutub ekstrim, yaitu antara rasioalis dengan tekstualis ini, karena jalan tengah atau moderat diyakini sebagai jalan paling selamat di antara yang selamat, jalan terbaik diantara yang baik, sebagaimana yang ditegaskan Nabi saw. dalam sabdanya:

خَيْرُ الأُمُورِ أَوْسَاطُهَا

Sebaik-baiknya perkara adalah tengahnya.

Dengan prinsip inilah ASWAJA mengakui bahwa empat madzhab yang memadukan dalil Alqur’an, Hadits, Ijma’ dan Qiyas (analogi), diakuinya mengandung kemungkinan lebih besar berada di jalur kebenaran dan keselamatan. Hal ini juga dapat berarti bahwa kebenaran yang diikuti dan diyakini oleh ASWAJA hanya bersifat kemungkinan dan bukan kemutlakan. Dalam arti, mungkin benar dan bukan mutlak benar. Empat dalil (Alqur’an, Hadits, Ijma’ dan Qiyas) ini dirumuskan dari ayat:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَطِيعُوا اللهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللهِ وَالرَّسُولِ.

Hai orang-orang yang beriman, ta`atilah Allah dan ta`atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya) (QS. Annisa’: 59)

Dalam ayat ini secara implisit ditegaskan, bahwa ada empat dalil yang bisa dijadikan tendensi penggalian (istinbâth) hukum, yaitu Alqur’an, Hadits, Ijma’ dan Qiyas. Perintah taat kepada Allah dan utusanNya, berarti perintah berpegang pada Alqur’an dan Hadits, perintah taat kepada ulil amri berarti perintah berpegang pada Ijma’ (konsensus) umat (mujtahidîn), dan perintah mengembalikan perselisihan kepada Allah dan RasulNya berarti perintah berpegang pada Qiyas sepanjang tidak ada nash dan ijma’. Sebab, Qiyas hakikatnya mengembalikan sesuatu yang berbeda pada hukum Allah dan utusanNya.

Disamping itu, ASWAJA juga melegalkan taqlid, bahkan mewajibkannya bagi umat yang tidak memiliki kapasitas dan kualifikasi keilmuan yang memungkinkan melakukan ijtihad. Taqlid hanya haram bagi umat yang benar-benar memiliki kapasitas dan piranti ijtihad sebagaimana yang dikaji dalam kitab Ushul Fiqh. Dengan demikian, ASWAJA tidak pernah menyatakan pintu ijtihad tertutup. Pintu ijtihad selamanya terbuka, hanya saja umat Islam yang agaknya dewasa ini ‘enggan’ memasukinya. Mewajibkan ijtihad kepada umat yang tidak memiliki kapasitas ijtihad, sama saja memaksakan susuatu di luar batas kemampuannya. Maka kepada umat seperti inilah taqlid dipahami sebagai kewajiban oleh ASWAJA berdasarkan firman Allah:

فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ

Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui. (QS. Annahl: 43)

c. Doktrin Keihsanan

Tasawuf adalah sebuah manhaj spiritual yang bisa dilewati bukan melalui teori-teori ilmiah semata melainkan dengan mengintegrasikan antara ilmu dan amal, dengan jalan melepaskan (takhallî) baju kenistaan (akhlaq madzmûmah) dan mengenakan (tahallî) jubah keagungan (akhlaq mahmûdah), sehingga Allah hadir (tajallî) dalam setiap gerak-gerik dan perilakunya, dan inilah manifestasi konkret dari ihsan dalam sabda Rasulullah saw.:

الْإِحْسَانُ أَنْ تَعْبُدَ اللهَ كأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ

Ihsan adalah engkau menyembah Allah seolah engkau melihatNya, dan jika engkau tidak melihatNya, sesungguhnya Dia melihatmu.

Doktrin keihsanan, yang selanjutnya termanifestasi ke dalam bidang tasawuf atau akhlaq ini, ASWAJA berpedoman pada konsep tasawuf akhlaqi atau amali, yang dirumuskan oleh Imam Aljunaid Albaghdadi dan Alghazali. Limitasi (pembatasan) hanya kepada kedua tokoh ini, tidak berarti manafikan tokoh-tokoh tasawuf falsafi dari kelompok ASWAJA, seperti Ibn Al’arabi, Alhallaj dan tokoh-tokoh sufi ‘kontroversial’ lainnya.

Dari uraian di atas, dapat dimengerti bahwa kelompok yang masuk kategori ASWAJA meliputi ahli tauhid (kalam), ahli fiqh (syariat), ahli tasawuf (akhlak) dan bahkan ahli hadits (muhadditsîn). Dari kelompok-kelompok ini masing-masing memiliki konsep metodologis dan tema kajian sendiri-sendiri yang tidak bisa diuraikan di makalah ringkas ini.

IV. METODOLOGI PEMIKIRAN (MANHAJ ALFIKR) ASWAJA

Jika kita mencermati doktrin-doktrin paham ASWAJA, baik dalam akidah (iman), syariat (islam) ataupun akhlak (ihsan), maka bisa kita dapati sebuah metodologi pemikiran (manhaj alfkr) yang tengah dan moderat (tawassuth), berimbang atau harmoni (tawâzun), netral atau adil (ta’âdul), dan toleran (tasâmuh). Metodologi pemikiran ASWAJA senantiasa menghidari sikap-sikap tatharruf (ekstrim), baik ekstrim kanan atau ekstrim kiri.

Inilah yang menjadi esensi identitas untuk mencirikan paham ASWAJA dengan sekte-sekte Islam lainnya. Dan dari prinsip metodologi pemikiran seperti inilah ASWAJA membangun keimanan, pemikiran, sikap, perilaku dan gerakan.

a. Tawasuth (Moderat)

Tawassuth ialah sebuah sikap tengah atau moderat yang tidak cenderung ke kanan atau ke kiri. Dalam konteks berbangsa dan bernegara, pemikiran moderat ini sangat urgen menjadi semangat dalam mengakomodir beragam kepentingan dan perselisihan, lalu berikhtiar mencari solusi yang paling ashlah (terbaik). Sikap ini didasarkan pada firman Allah:

وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا

Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. (QS. Albaqarah: 143)

b. Tawâzun (Berimbang)

Tawâzun ialah sikap berimbang dan harmonis dalam mengintegrasikan dan mensinergikan dalil-dalil (pijakan hukum) atau pertimbangan-pertimbangan untuk mencetuskan sebuah keputusan dan kebijakan. Dalam konteks pemikiran dan amaliah keagamaan, prinsip tawâzun menghindari sikap ekstrim (tatharruf) yang serba kanan sehingga melahirkan fundamentalisme, dan menghindari sikap ekstrim yang serba kiri yang melahirkan liberalisme dalam pengamalan ajaran agama. Sikap tawâzun ini didasarkan pada firman Allah:

لَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلَنَا بِالْبَيِّنَاتِ وَأَنْزَلْنَا مَعَهُمُ الْكِتَابَ وَالْمِيزَانَ لِيَقُومَ النَّاسُ بِالْقِسْطِ

Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Alkitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. (QS. Alhadid: 25)

c. Ta’âdul (Netral dan Adil)

Ta’âdul ialah sikap adil dan netral dalam melihat, menimbang, menyikapi dan menyelesaikan segala permasalahan. Adil tidak selamanya berarti sama atau setara (tamâtsul). Adil adalah sikap proporsional berdasarkan hak dan kewajiban masing-masing. Kalaupun keadilan menuntut adanya kesamaan atau kesetaraan, hal itu hanya berlaku ketika realitas individu benar-benar sama dan setara secara persis dalam segala sifat-sifatnya. Apabila dalam realitasnya terjadi tafâdlul (keunggulan), maka keadilan menuntut perbedaan dan pengutamaan (tafdlîl). Penyetaraan antara dua hal yang jelas tafâdlul, adalah tindakan aniaya yang bertentangan dengan asas keadilan itu sendiri. Sikap ta’âdul ini berdasrkan firman Allah:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلَّا تَعْدِلُوا اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى

Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. (QS. Alma’idah: 9)

d. Tasâmuh (toleran)

Tasâmuh ialah sikap toleran yang bersedia menghargai terhadap segala kenyataan perbedaan dan keanekaragaman, baik dalam pemikiran, keyakinan, sosial kemasyarakatan, suku, bangsa, agama, tradisi-budaya dan lain sebagainya. Toleransi dalam konteks agama dan keyakinan bukan berarti kompromi akidah. Bukan berarti mengakui kebenaran keyakinan dan kepercayaan orang lain. Toleransi agama juga bukan berarti mengakui kesesatan dan kebatilan sebagai sesuatu yang haq dan benar. Yang salah dan sesat tetap harus diyakini sebagai kesalahan dan kesesatan. Dan yang haq dan benar harus tetap diyakini sebagai kebenaran yang haq. Dalam kaitannya dengan toleransi agama, Allah swt. berfirman:

لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِيْنِ

Untukmulah agamamu, dan untukkulah, agamaku. (QS. Alkafirun: 6)

وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ

Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi. (QS. Ali Imran: 85)

Toleransi dalam konteks tradisi-budaya bangsa, ialah sikap permisif yang bersedia menghargai tradisi dan budaya yang telah menjadi nilai normatif masyarakat. Dalam pandangan ASWAJA, tradisi-budaya yang secara substansial tidak bertentangan dengan syariat, maka Islam akan menerimanya bahkan mengakulturasikannya dengan nilai-nilai keislaman.

Dengan demikian, tasâmuh (toleransi), berati sebuah sikap untuk menciptakan keharmonisan kehidupan sebagai sesama umat manusia. Sebuah sikap untuk membangun kerukunan antar sesama makhluk Allah di muka bumi, dan untuk menciptakan peradaban manusia yang madani. Dari sikap tasâmuh inilah selanjutnya ASWAJA merumuskan konsep persaudaraan (ukhuwwah) universal. Meliputi ukhuwwah islamiyyah (persaudaan keislaman), ukhuwwah wathaniyyah (persaudaraan kebangsaaan) dan ukhuwwah basyariyyah atau insâniyyah (persaudaraan kemanusiaan). Persaudaraan universal untuk menciptakan keharmonisan kehidupan di muka bumi ini, merupakan implementasi dari firman Allah swt.:

يَاأَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللهِ أَتْقَاكُمْ

Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. (QS. Alhujurat; 13)

وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً

Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi“. (QS. Albaqarah: 30)

V. ESENSI KHILAFAH DALAM PANDANGAN ASWAJA

Dalam pandangan ASWAJA, esensi dan hakikat dari sebuah pemerintahan atau negara (khilafah), adalah sebagai salah satu diantara instrumen (wasâ’il) untuk usaha terwujudnya aplikasi syariat secara totalitas (kâffah) dalam kehidupan umat melalui kewajiban menegakkan amar ma’ruf nahi munkar, yang menjadi cita-cita dan tujuan akhirnya (maqâshid). Karena kedudukannya yang dipandang sebagai wasîlah untuk maqâshid berupa tugas amar ma’ruf nahi munkar, maka pemerintahan atau negara tidak harus terikat dengan bentuk, sistem ataupun dasar idiologi negara tertentu. Apapun sistem, bentuk ataupun dasar idiologi yang diberlakukan, sepanjang tidak bertentangan dengan ajaran Islam, dan tidak menjadi rintangan dalam tugas dakwah islamiyah, serta tidak menghalangi umat Islam dalam menjalankan praktek keagamaannya, maka tidak ada kewajiban untuk melakukan kudeta atau merubahnya. Merubah bentuk, sistem atau dasar idiologi negara, hanya wajib dilakukan —sesuai batas kemampuan— jika nyata-nyata bertentangan dengan syariat.

Pendirian Khilafah Islamiyah bagi ASWAJA (baca: Nahdlatul Ulama) dalam konteks keIndonesiaan, bukanlah cita-cita urgen, sebab eksistensinya hanyalah sebagai wasîlah. Ada cita-cita (maqâshid) yang jauh lebih penting dan esensial dari sekedar membentuk instrumen perjuangan, yaitu menegakkan amar ma’ruf nahi munkar di tengah kehidupan masyarakat, dan tugas maqâshid ini bisa dilangsungkan tidak harus melalui pendirian Khilafah Islamiyah.

Pandangan seperti inilah yang mendasari sikap ASWAJA (baca: NU) yang tidak ambisi dan bercita-cita mendirikan Khilafah Islamiyah di Indonesia. Karena khilafah bukanlah satu-satunya instrumen yang bisa ditempuh untuk menegakkan syariat dalam kehidupan umat. Bahkan selama ini, setiap usaha merubah bentuk dan dasar hukum negara, nyata-nyata lebih banyak memunculkan ekses negatif yang justru merugikan kaum Muslimin sendiri. Gerak perjuangan ASWAJA (NU) dalam konteks Indonesia, bukan semangat perjuangan mendirikan Khilafah Islamiyah, melainkan semangat perjuangan menegakkan syariat dalam perilaku keseharian umat. Dengan kata lain, perjuangan ASWAJA (NU) tidak dikonsentrasikan pada pembentukan sebuah wadah syariat secara formal, berupa bentuk khilafah atau sistem negara Islam, melainkan lebih dikonsentrasikan pada perjuangan aplikasi syariat dalam perilaku umat sehingga menjadi ruh dan substansi perilaku kehidupan masyarakat. Perilaku umat yang berlandaskan syariat jauh lebih penting dan lebih baik dibanding sekedar formalitas bentuk dan sistem negara islami.

Hal ini logis, sebab jika kita jujur membaca fakta sejarah khilafah dalam Islam, sebenarnya yang layak dilabeli dengan ‘islamiyah’ (baca: demokratis), hanyalah khilafah era Khulafa’ Arrasyidin saja. Khilafah pasca Khulafa’ Arrasyidin, secara umum telah kehilangan label ke-islamiyah-annya, bahkan identik dengan sistem kekaisaran Romawi dan Persi. Dari sejarah ini pula bisa kita tegaskan bahwa sistem pemerintahan demokrasi sebenarnya tidak bisa diklaim sebagai produk kafir, sebab khilafah era Khulafa’ Arrasyidin adalah pemerintahan paling demokratis dari sistem demokrasi manapun.

Disamping itu, misi pendirian kembali Khilafah Islamiyah yang diusung oleh sebagian sekte dan gerakan Islam dalam konteks Indonesia dewasa ini, faktanya tidak murni hanya mengusung misi mendirikan negara Islam saja, melainkan juga mengusung paham dan idiologi aliran mereka, seperti idiologi Wahabi, Syi’ah atau lainnya. Mereka tidak akan mendirikan Khilafah Islamiyah kecuali paham dan idiologi mereka juga menjadi paham dan idiologi resmi pemerintah. Artinya, ketika khilafah berhasil didirikan, bukan mustahil mereka memberhangus kelompok ASWAJA yang bertentangan dengan paham mereka, seperti sejarah kekejaman Pemerintahan Arab Saudi dengan paham Wahhabinya.

Inilah yang menjadi alasan fundamental kenapa ASWAJA (NU) menentang setiap gerakan dan sekte yang mengusung Khilafah Islamiyah di Indonesia dan merongrong NKRI yang beridiolgi Pancasila. Dengan kenyakinan bahwa sila pertama yang mencerminkan tauhid Islam telah menjiwai sila-sila lain dalam Pancasila, dan mempertimbangkan kenyataan rakyat bangsa Indonesia yang plural dalam ras, suku dan agama, serta mempertimbangkan resiko ancaman integritas bangsa, maka ASWAJA (NU) menyatakan: bahwa NKRI dan Pancasila sebagai idiologinya, adalah final dari segala upaya membentuk negara di Indonesia. Sikap seperti ini bukan berarti ASWAJA (NU) anti khilafah, melainkan lebih demi mempertahankan eksistensi idiologi ASWAJA dan menghindarkan kekacauan umum (chaos) yang harus diprioritaskan dari sekedar mencapai kemaslahatan (mendirikan khilafah), sesuai kaidah fiqh:

دَرْءُ الْمَفَاسِدِ مُقَدَّمٌ عَلَى جَلْبِ الْمَصَالِحِ

Menghindari kekacauan lebih diprioritaskan dari mengupayakan kemaslahatan

Apabila sejauh ini dikenal tiga model hubungan agama-negara, yaitu hubungan intergasi (agama dan negara adalah satu kesatuan); hubungan sekuler (pemisahan peran agama dalam pemerintahan); dan hubungan simbiosis (agama-negara terpisah namun saling membutuhkan dan mengisi secara timbal-balik), maka model ketiga inilah yang menjadi pilihan ASWAJA dalam memandang hubungan agama dan negara. Agama tidak harus diformalkan sebagai sebuah sistem dan bentuk suatu negara, namun agama juga tidak boleh diceraikan dari intervensi peran politik.

Pandangan politik ASWAJA seperti ini, tidak bisa dipertentangkan dengan muatan surat Alma’idah ayat 44, 45 dan 47, yang memvonis kafir, dhalim dan fasiq bagi orang yang tidak memberlakukan hukum-hukum yang diturunkan Allah. Vonis kafir, dhalim dan fasiq dalam tiga ayat tersebut meski berlaku bagi umat Islam atau ahli alkitab (non Muslam), namun bila dilakukan orang mukmin, menurut Thawus: “kekafiran itu tidak mengeluarkannya dari agama“. Dan menurut Atha’; “kekafiran di bawah kekafiran, kedhaliman di bawah kedhaliman, dan kefasikan di bawah kefasikan”. Sedangkan dalam riwayat lain menurut Ibn Abbas, penguasa Muslim yang tidak memberlakukan hukum sesuai apa yang diturunkan Allah dipilah menjadi dua. Ibn Abbas mengatakan: “Orang yang mengingkari apa yang diturunkan Allah, maka dia adalah kafir, dan orang yang membenarkannya namun tidak menerapkannya, maka dia dhalim atau fasiq”.

Dari sini bisa dipahami bahwa, apabila tidak memberlakukan hukum-hukum yang diturunkan Allah lantaran ketidaksanggupan, atau karena justeru akan menimbulkan bahaya dan kerusakan (mafâsid), seperti ancaman disintegrasi bangsa, tekanan internasional dll., maka vonis kafir, dhalim dan fasiq tidak bisa dijatuhkan kepada umat Islam.

VI. PRINSIP AMAR MA’RUF NAHI MUNKAR ASWAJA

Amar ma’ruf nahi munkar adalah satu paket istimewa dari agama untuk umat Muhammad saw. guna menegakkan panji-panji ketuhanan dan melenyapkan segala kemunkaran di muka bumi, serta menjaga keberlangsungan tatanan kehidupan. Keberadaannya menjadi tugas pokok yang tak terpisahkan dari kewajiban agama. Allah swt. berfirman:

كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللهِ

Kalian adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. (QS. Ali Imran: 110)

Amar ma’ruf nahi munkar adalah tugas agung yang diwajibkan agama untuk umat Islam, karena tanpa ada kewajiban ini, niscaya dunia hanya akan menjadi episode angkara murka dan berada di bawah ancaman adzab Allah. Rasulullah saw. bersabda:

إنَّ النَّاسَ إذَا رَأَوْا الْمُنْكَرَ فلَمْ يُغَيِّرُوهُ يُوشِكُ أَنْ يَعُمَّهُمْ اللهُ بِعِقَابٍ

Sesungguhnya manusia di saat mereka melihat perkara munkar kemudian mereka tidak mau merubahnya, maka dekat kemungkinan Allah akan meratakan mereka dengan siksa.

Dalam tataran praktis, ASWAJA merumuskan konsep tahapan atau fase-fase amar ma’ruf nahi munkar sebagai pola aplikasinya, yang meliputi ta’rîf (memberi tahu), wa’dh (menasehati), takhsyîn fî alqaul (dengan nada keras), dan man’u bi alqahri (mencegah paksa). Konsep fase-fase amar ma’ruf nahi munkar ini berdasarkan sabda Nabi saw.:

مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَليُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الِإيْمَانِ.

Barang siapa di antara kamu melihat kemunkaran maka hendaklah menghilangkannya dengan kemampuannya (tangannya), apabila tidak mampu maka dengan perkataan (lisan), apabila tidak mampu maka dengan mengingkari di dalam dan yang demikian itu adalah paling lemah-lemahnya keimanan. (HR. Muslim)

Dua fase yang pertama (ta’rîf dan wa’dh), legal dilakukan oleh setiap individu. Sedangkan dua fase yang terakhir, (takhsyîn fî alqaul dan man’u bi alqahri), hanya menjadi wewenang pihak yang memiliki kekuasaan (pemerintah). Hal ini dikarenakan kedua fase terakhir ini sangat berpotensi menimbulkan fitnah jika dilakukan secara individual, dan amar ma’ruf nahi munkar haram dilakukan jika justeru akan menimbulkan kemungkaran (fitnah) yang jauh lebih besar.

Secara periodik, kemunkaran diklasifikasikan menjadi tiga. Kemunkaran yang telah berlangsung, kemunkaran yang sedang berlangsung, dan kemunkaran yang akan berlangsung. Bentuk tindakan amar ma’ruf nahi munkar terhadap kemunkaran yang telah dilakukan adalah uqûbah (hukuman), dan untuk kemunkaran yang akan terjadi adalah zajr (menjerakan atau menggagalkan), sedangkan untuk kemunkaran yang sedang berlangsung adalah daf’u (menghentikan). Dari tiga bentuk tindakan amar ma’ruf nahi munkar tersebut, hanya tindakan daf’u (menghentikan) kemunkaran yang sedang berlangsung yang legal dilakukan oleh individu. Sedangkan tindakan uqûbah dan zajr atas kemunkaran yang telah atau akan terjadi, hanya menjadi wewenang pihak pemerintah atau pihak-pihak yang memiliki kekuasaan.[4]

Pengerusakan, pembakaran dan pengeboman terhadap tempat-tempat maksiat dalam skala besar, atau tindakan-tindakan kekerasan (anarkhisme, radikalisme, ekstrimisme dan terorisme) dengan mengatasnamakan sebagai aktifitas amar ma’ruf nahi munkar, merupakan tindakan yang sudah di luar wilayah kewajiban individu atau kelompok, karena tindakan demikian sangat riskan justeru mengundang fitnah yang jauh lebih besar. Bahkan tindakan-tindakan destruktif demikian termasuk cara-cara ilegal dalam agama.

Sederhananya, cara-cara santun, humanis dan penuh hikmah serta tidak destruktif, adalah prinsip-prinsip amar ma’ruf nahi munkar yang menjadi ajaran ASWAJA. Prinsi-prinsip demikian didasarkan pada firman Allah swt.:

ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ

Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. (QS. Annahl: 125)

وَأَحْسِنْ كَمَا أَحْسَنَ اللهُ إِلَيْكَ وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِي الْأَرْضِ إِنَّ اللهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ

Dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan. (QS. Alqashah: 77)

VII. KRITERIA BID’AH DALAM PANDANGAN ASWAJA

Sejauh ini, pembicaraan seputar bid’ah tidak lepas dari dua definisi bid’ah dalam wacana Islam. Pertama, definisi bid’ah yang ditawarkan oleh Asysyathibi, bahwa bid’ah adalah segala perbuatan baru dan secara tinjauan hukum seluruhnya muharramah (madzmûmah). Dan kedua, definisi bid’ah versi mayoritas ulama, bahwa bid’ah adalah segala hal yang baru yang tidak di dikenal di masa hidup Rasulullah saw. namun secara tinjauan hukum dibagi menjadi lima kategori sesuai klasifikasi hukum taklifi (wajib, haram, sunah, makruh dan mubah). Perbedaan definitif ini hanya bersifat redaksional (lafdhi), sebab kedua versi bertemu dalam satu kesepakan, bahwa bid’ah yang muharramah adalah bid’ah yang dlalâlah. Sedangkan bid’ah mahmûdah menurut versi kedua, tidak dikategorikan sebagai bid’ah haqîqatan menurut versi pertama.

Dari sini kemudian secara global bid’ah dikategorikan menjadi dua. Bid’ah madzmûmah (dlalâlah: haram dan makruh), dan bid’ah mahmûdah (hasanah: wajib, sunnah dan mubah). Bid’ah madzmûmah adalah segala amaliah keagamaan yang baru dan bertentangan dengan dalil-dalil agama baik secara ‘âm atau khâs, meliputi Alqur’an, hadits, ijma’, qiyas dan atsâr. Sedangkan bid’ah mahmûdah ialah segala amaliah keagamaan baru yang tidak memiliki tendensi dalil agama baik secara ‘âm atau khâs dan bertentangan dengan Alqur’an, hadits, ijma’, qiyas dan atsâr.[5]

Konsep bid’ah demikian berdasarkan sebuah hadits Rasulullah saw.:

من سن في الإسلام سنة حسنة فله أجره وأجر من عمل بعده لا ينقص من أجورهم شئ, ومن سن في الإسلام سنة سيئة فعليه وزرها ووزر من عمل بعده ولا ينقص من أوزارهم شئ.

Barang siapa membuat sunnah baru di dalam Islam, baginya mendapat pahala dan pahala orang yang melakukan setelahnya tanpa berkurang sedikitpun. Dan barang siapa membuat sunnah buruk, baginya mendapat dosa dan dosa orang yang melakukan setelahnya tanpa berkurang sedikitpun. (HR. Muslim)

Dalam pandangan ASWAJA, kehadiran Islam bukanlah untuk menolak segala tradisi yang telah mapan dan mengakar menjadi kultur budaya masyarakat, melainkan sekedar untuk melakukan pembenahan-pembenahan dan pelurusan-pelurusan terhadap tradisi dan budaya yang tidak sesuai dengan risalah Rasulullah saw. Budaya yang telah mapan menjadi nilai normatif masyarakat dan tidak bertentangan dengan ajaran Islam, maka Islam akan mengakulturasikannya bahkan mengakuinya sebagai bagian dari budaya dan tradisi Islam itu sendiri. Dalam hal ini, Rasulullah saw. bersabda:

مَا رَآهُ الْمُسْلِمُوْنَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللهِ حَسَنٌ.

Apa yang dilihat orang Muslim baik, maka hal itu baik di sisi Allah. (HR. Malik)

قَالَ رَسُوْلُ اللهِ g اْلكَلِمَةُ الْحِكْمَةُ ضَالَةُ الْمُؤْمِنِ فَحَيْثُ وَجَدَهَا فَهُوَ أَحَقُّ بِهَا

Rasulullah saw. bersabda, “Kalimat hikmah (kebaikan) adalah kekayaan orang Mukmin yang hilang, sekira ia menemukannya maka ia paling berhak dengannya. (HR. At-Turmudzi)

Dengan demikian, amaliah dan ritual-ritual keagamaan ASWAJA (NU), seperti ritual tahlilan, peringatan Maulid Nabi, istighatsah, pembacaan barzanji, manaqib, ziarah kubur dan amaliah lainnya, tidak bisa divonis sebagai praktek bid’ah bahkan syirik. Sebab sekalipun terdapat kaidah fiqh yang menyatakan:

الْأَصْلُ فِي اْلعِبَادَةِ التَّحْرِيْمُ

“Hukum asal ritual ibadah adalah haram”

Namun perlu ditegaskan di sini, bahwa kaidah itu tidak berlaku mutlak tanpa pengecualian. Ritual ibadah yang tidak ada dalil khâsh (khusus) yang melegalkannya namun tidak bertentangan dengan dalil-dalil ‘âm (umum) dan tidak ada dalil sharîh (tegas) yang melarangnya, maka termasuk pengecualian yang tidak bisa diharamkan dengan dasar kaidah ini. Ritual-ritual ibadah seperti ini juga tidak bisa dikatakan sebagai bid’ah, karena masih memiliki dasar legalitas hukum berupa dalil-dalil ‘âm. Dan memang seperti inilah ghalibnya amaliah dan ritualitas kelompak ASWAJA (NU) yang senantiasa dilestarikan. Sekalipun sebagian diantaranya tidak terdapat dalil-dalil khusus yang melegalkannya, namun semuanya tidak ada yang keluar dan bertentangan dengan dalil-dalil umum yang melegalkannya. Adapun hadits yang menyatakan:

ألآ وإياكم ومحدثات الأمور فإن شر الأمور محدثها وكل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة

Ingatlah, takutlah kalian kepada pembuat bid’ah, karena seburuk-buruknya perkara adalah perkara yang baru, dan sebagian hal yang baru adalah bid’ah, dan sebagian bid’ah adalah sesat. (HR. Ibn Majah)

Maka hadits ini harus dibaca dan diproporsikan hanya dalam konteks ritual ibadah yang sama sekali tidak memiliki dasar hukum, baik berupa dalil khusus ataupun dalil umum. Karena kata كل dalam redaksi hadits di atas, tidak bermakna “setiap” atau “seluruh”, melainkan “sebagian”. Sebab, kalau kata كل diartikan “setiap” atau “seluruh”, bagaimana mungkin sahabat Umar bin Khattab mengatakan: نِعْمَتِ الْبِدْعَةُ هَذِهِ (sebaik-baiknya bid’ah adalah (jama’ah tarawih) ini) pada saat beliau memiliki ide bid’ah melaksankan shalat tarawih secara berjamaah yang tidak dikenal di masa hidup Rasulullah saw.

VIII. PENUTUP

Dengan mencermati sejarah kemunculan ASWAJA, memahami doktrin ajarannya yang mencakup trilogi keagamaan (islam, iman dan ihsan) serta menghayati metodologi pemikirannya (manhaj alfikr), kita bisa maklum bahwa paham ASWAJA merefleksikan perilaku keagamaan yang kâffah (holistis dan totalitas), yang melibatkan aspek eksoteris dan esoteris (lahir dan batin).

Paham ASWAJA meyakini bahwa yang tahu persis tentang bentuk dan sirri syari’ah hanyalah Allah swt., yang selanjutnya diberitahukan kepada Rasulullah melalui wahyu secara sirri pula. Kemudian Rasulullah mempraktekkan syari’ah tersebut diikuti oleh para sahabat, diteruskan kepada tâbi’în dan tâbi’ attâbi’in (salaf ashshâlih) dengan cara yang sama, sampai kepada para ulama dan umat secara keseluruhan, sambung-sinambung sampai hari ini. Hanya dengan jalan merujuk kepada generasi awal (salaf ashshâlih) itulah ajaran Islam dapat dijamin otentisitasnya. Hanya paham yang memiliki akidah, amaliah dan akhlaq sesuai dengan akidah, amaliah dan akhlaq salaf ashshâlih itulah yang berhak mengaku sebagai sekte ASWAJA.

Hakikat kebenaran menurut ASWAJA adalah kebenaran yang bersumber pada wahyu. Kebenaran wahyu bersifat mutlak, sedangkan kebenaran yang dihasilkan akal pikiran bersifat nisbi dan relatif. Mengintegrasikan antara aql (rasionalitas) dan naql (wahyu), berarti dalam memahami dan mengamalkan agama harus menggunakan segala sumber dan potensi, baik berupa wahyu maupun akal. Keduanya harus digunakan secara seimbang dan proporsional (tawâzun). Sebab wahyu tanpa akal mustahil dapat dimengerti, demikian juga akal tanpa wahyu mustahil mengetahui syari’ah sesuai yang dikehendaki Allah.

Dalam konteks berbangsa dan bernegara, jelas bahwa metodologi pemikiran (manhaj alfikr) paham ASWAJA yang moderat, berimbang, adil, netral dan toleran, merupakan nilai-nilai ideal dan luhur untuk menciptakan kehidupan berbangsa dan bernegara yang damai, adil dan sentosa, yang menghindari sikap dan tindakan-tindakan destruktif yang merusak dan mengancam tatanan kehidupan dan kedaulatan Indonesia sebagai bangsa dan negara.

Persaudaraan universal dalam manhaj alfikr ASWAJA yang meliputi persaudaraan sesama umat Islam, persaudaraan sesama anak bangsa, persaudaraan sesama manusia, merupakan nilai-nilai humanis untuk memungkinkan umat Islam menjalankan tugas sebagai khalifah dalam membangun peradaban madani di muka bumi. Wa Allahu A’lam.|KD

_________________

Disampaikan Oleh:

Muda’imullah Azza

Dalam Seminar Peresmian Jam’iyah Halaqah Pendidikan Tinggi Program Khusus Ma’had Aly Hidayatul Mubtadi-ien PP. Lirboyo di PP. Sumbersari Kencong, Pare, Kediri, Pada Tanggal 22 September 2010.

_________________

[1] Syaikh Abi Al-Fadlal, Syarh Alkawâkib Allamâ’ah hlm. 24-25
[2] Alfiqh Alwâdlih min Alkitab wa Assunnah, hlm. 2
[3] Yusuf bin Ismail Annabhani, Syawahid Alhaqq, hlm. 19
[4] Alghazâly, Ihyâ’ Ulûmiddîn, bab: amar ma’rûf nahi munkar, vol. II
[5] Muhyiddin Abdushshamad, Alhujah Alqath’iyyah fi Shihhah Almu’taqidat wa Al’amaliyat Annahdliyyah.

sumber : http://mullahazza.blogspot.com/2010/09/internalisasi-doktrin-dan-pemikiran.html

« Older entries